Horor sebagai genre film telah menjadi saluran ekspresi yang kuat bagi sutradara untuk menggambarkan ketegangan, rasa takut, dan ketidakpastian. Dalam film terbaru karya Kimo Stamboel, "Sewu Dino", ketegangan dan rasa takut ini bukan hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai perangkat untuk menjelajahi lebih dalam tentang peran tradisi, kepercayaan mistis, dan dampaknya pada realitas sosial.
Sekilas pandang pada industri perfilman Indonesia menunjukkan bahwa "Sewu Dino" tidak hanya berkontribusi sebagai film horor sukses secara komersial, tetapi juga mampu menyampaikan pesan yang lebih mendalam tentang bagaimana tradisi dan kepercayaan mistis masih membentuk pola pikir dan tindakan masyarakat.Â
Genre horor melebur menjadi jendela introspeksi yang kompleks, mengupas lebih dalam tentang peran tradisi, kepercayaan mistis, dan dampaknya pada dinamika sosial. Film ini bukan sekadar hiburan seram, melainkan juga narasi yang menyuguhkan makna dalam yang mendalam.
Salah satu aspek penting yang ditekankan dalam film ini adalah kemampuan tradisi dan kepercayaan mistis dalam memberikan rasa aman dan perlindungan. Ritual mandi santet Sewu Dino, yang sangat rumit dan berbahaya, dilakukan oleh Sri sebagai perwujudan pengorbanan untuk menyembuhkan Dela Atmojo.Â
Dalam hal ini, kita melihat betapa kuatnya pengaruh tradisi dan kepercayaan mistis terhadap keputusan individu yang ingin berbuat baik untuk orang lain. Hal ini mencerminkan gagasan bahwa tradisi adalah bagian integral dari identitas masyarakat, dan mampu menjadi kekuatan yang mengikat komunitas dalam tali persatuan.
Namun, dalam konteks yang lebih luas, "Sewu Dino" juga menyoroti aspek negatif tradisi dan kepercayaan mistis. Terutama, bagaimana tradisi ini dapat memicu konflik dan kekerasan.Â
Bentuk ketidakpastian yang melekat pada kepercayaan mistis menjadi pusat perhatian di sini. Narasi kutukan santet yang merasuki Dela menggarisbawahi bahwa adakalanya tradisi dan kepercayaan mistis dapat menjadi alat penghancuran, mengancam keselamatan individu dan harmoni sosial.
Dalam konteks ini, Kimo Stamboel mengeksplorasi implikasi dari tradisi dan kepercayaan mistis terhadap relasi sosial dan konflik antar-kelompok. Kedalaman konflik dalam film ini muncul dari perbedaan keyakinan antara keluarga Atmojo dan keluarga Pak Prabu.Â
Ini adalah cerminan dari perpecahan dalam masyarakat yang dapat timbul akibat perbedaan keyakinan dan praktik tradisional. Film ini menyajikan peringatan tentang bahaya menguatnya polarisasi dalam masyarakat yang diakibatkan oleh konflik tersebut.
Namun, salah satu elemen yang paling mengesankan dalam "Sewu Dino" adalah bagaimana film ini mengusik persepsi kita terhadap hubungan antara tradisi, kepercayaan mistis, dan isu gender.Â