Lempar batu, sembunyi tangan. Nampaknya peribahasa tersebut cocok untuk kita sematkan kepada Menteri Perindustrian kita saat ini, Agus Gumiwang, yang justru melempar kesalahan terhadap harga gas yang mahal atau harga impor murah atas merosotnya harga keramik di Tanah Air. Seolah dirinya tak mau melihat bahwa anjloknya harga keramik di Indonesia, salah satunya dan ini factor paling utama, adalah karena industri keramik itu sendiri tidak berjalan dengan baik.
Sikap yang ditampakkan oleh Menteri Perindustrian ini terkesan ingin lepas tanggungjawab dan melempar kesalahan kepada pihak lain. Tanpa perlu mengerutkan dahi, kita tahu pihak mana yang akhirnya harus mendapuk kesalahaan tersebut. Yaitu, Menteri Perekonomian, Airlangga Hartarto. Padahal kita tahu, apa pun yang terkait dengan sektor industri, ya, berada di bawah koridor Kementerian Perindustrian.
Industri keramik merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Produk keramik tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga memiliki potensi ekspor yang signifikan. Tetapi karena industrinya tidak ditopang dengan baik, maka kita saat ini harus menghadapi kondisi di mana harga keramik sangat merosot.
Tak cukup dengan melempar kesalahan yang diakibatkan oleh blunder sendiri, saat ini bahkan hadir wacana untuk memberlakukan tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk ubin dari Cina. Ini jelas argumen yang lebih ngawur lagi. Sebab bukannya memperbaiki rencana bisnis dan sektor industri di dalam negeri, segelintir pihak justru ingin menghalau produk dari luar. Seolah dengan cara demikian sektor keramik kita akan lebih maju.
Itu sesat pikir yang amat nyata. Tidak ada ceritanya jika kita menerapkan pajak sebesar 200% terhadap keramik dari Cina, kemudian akan memperbaiki keramik nasional. Mustahil. Hal paling rasional adalah dengan memperbaiki cara kerja industri dalam negeri itu sendiri. Dan ini adalah tugas Kementerian Perindustrian yang seharusnya dikerjakan sejak dahulu.
Ungkapan dari Agus Gumiwang yang menyalahkan harga gas dan harga barang impor bukan hanya keliru, tetapi menunjukkan sikap tidak bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuatnya. Harusnya dengan tegas perlu diakui bahwa faktor paling elementer yang menjadikan harga keramik merosot adalah ini: kurangnya kebijakan yang efektif untuk mendukung pertumbuhan industri keramik.
Di Kementerian Peridustrian, kebijakan-kebijakan yang ada tidak mampu memberikan solusi atas masalah-masalah fundamental yang dihadapi oleh industri ini. Misalnya, tidak ada langkah konkret untuk mengatasi tingginya biaya produksi yang disebabkan oleh mahalnya bahan baku dan energi. Selain itu, minimnya insentif fiskal dan non-fiskal juga membuat industri keramik lokal kesulitan untuk bersaing dengan produk impor.
Inilah yang menuntut perhatian lebih dari Kementerian Perindustrian kita. Terlalu banyak persoalan yang masih belum teratasi dalam konteks nasional dan ini tugas yang harus lebih didahulukan. Kita tentu ingin sektor keramik kita menjadi salah satu penopang pemasukan negara. Tetapi tanpa upaya untuk memperbaiki industri, apalagi saling lempar tanggungjawan dan tidak mau mengakui kesalahan, maka keinginan itu cukup menjadi mimpi di siang bolong saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H