Betapa memalukannya Indonesia di mata dunia Internasional pagi ini. Belum sampai 24 Jam dilantik para Legislatif kita di gedung Yang Terhormat di Senayan telah melakukan Saling Menghujat dan saling menyalahkan. Salah dimana?
Betul bahwa gedung DPR memang tempatnya para politisi beradu pendapat. Tapi beradu pendapat demi kebaikan bangsa dan sama sekali bukan karena memperebutkan kursi pimpinan dan kursi-kursi wakil pimpinan!
Satu hal penyebabnya yaitu UU MD3 yang baru disahkan oleh Koalisi Merah Putih dan diperkuat legalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi.
UU ini pada saat pembuatan dan pengesahannya di DPR sangat kontroversial. Koalisi Merah Putih mengakal-akali Koalisi PDIP dan anggota DPD yang ada untuk tidak ikut serta dalam pengesahan UU MD3 ini. Jelas-jelas berpotensi menimbulkan konflik. Sangat jelas UU ini disahkan dengan suatu niat buruk dari Koalisi Merah Putih.
Mahkamah Konstitusi kembali mencoreng namanya sendiri. MK menolak gugatan PDIP untuk UU MD3 tanpa pertimbangan yang betul-betul matang. MK hanya menilai legalitas luarnya. Secara pasal-pasal UU MD3 ini memang tidak bertentangan dengan Konstitusi, tetapi prasyarat-prasyarat pembentukan Pimpinan DPR lah yang beraroma kencang dengan potensi Oligarki. MK tidak perdulikan hal tersebut.
Sekali lagi terbukti bahwa MK telah tercemar oleh kepentingan partai-partai politik. 2 Hakim Konstitusi berasal dari Partai pendukung Koalisi Merah Putih. Siapa yang bisa menjamin tidak ada intervensi dari KMP?
Sebuah UU seharusnya mempunyai relevansi yang kuat atas alasan dan kajian tertentu bila memang harus dirubah. Apa alasan UU MD3 merubah Tata Cara Pemilihan Ketua DPR dan seluruh Pimpinan Perlengkapan DPR?Adakah alasan yang sangat kuat ataupun suatu kajian yang dapat membuat Mahkamah Konstitusi yakin UU sebelumnya harus dilakukan perubahan?
Dan apakah MK tidak tahu bahwa jumlah partai yang ada hanyalah 10 partai, sedangkan konfigurasi untuk mengajukan Pimpinan DPR dalam UU MD3 yang baru mensyaratkan dukungan 5 Fraksi. Disini sangat jelas akan ada satu pihak yang menang dan satu pihak yang kalah. Satu pihak akan mendominasi danpihak lainnya akan selalu menjadi minoritas. Ini bisa berjalan selama 5 tahun kedepan.
Lain halnya kalau prasyarat pengajuan pimpinan DPR minimal 3 partai dimana akan terjadi saling melakukan lobi sehingga tercipta sebuah keseimbangan dari maksimal 3 kubu yang ada. Dan kalau terjadi pertarungan, tetap kubu yang kalah akan dapat di akomodir di jajaran pimpinan DPR juga sebagai wakil-wakilnya.
Yang terjadi semalam ya seperti itulah. Prasyarat pengajuan 1 Ketua DPR dan 4 Wakil Ketua DPR dilakukan oleh minimal 5 Fraksi. Dan bila ada koalisi fraksi yang dominan maka koalisi tersebut benar-benar akan menguasai Parlemen hingga 5 tahun kedepan tanpa menyisakan kesempatan Koalisi minoritas menduduki jajaran pimpinan. Tidak terpikir oleh MK hal yang seperti itu?
Dan lihatlah yang terjadi semalam, dimana sejak awal Ketua sementara DPR berasal dari Koalisi Merah Putih. Dan dengan gaya Diktator yang sama dengan Sidang Paripurna DPR Periode sebelumnya yang juga dipimpin anggota Koalisi Merah Putih melakukan Sidang yang menimbulkan kericuhan.
Mic koalisi minoritas sengaja dimatikan, kesempatan berbicara koalisi minoritas dikurangi dan lain-lain sebagainya sehingga memancing ketidakpuasan koalisi minoritas.
Mau sampai kapan kondisi ini terjadi terus di gedung Parlemen Yang Terhormat?
Tidakkah MK terketuk hatinya menyaksikan betapa memalukannya para legislative Indonesia di mata Internasional?
Salam Blogger.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H