Sejak tanggal 15 Januari 2015 sampai tanggal 3 Mei 2015 ada 2 kata yang paling popular di berbagai kalangan dan sering diperdebatkan ataupun sering tertukar penempatannya. 2 Kata tersebut adalah Kriminalisasi danPenegakkan Hukum.
Ane sampai bingung karena begitu banyak orang yang begitu mudah menyebutkan kedua kata tersebut baik Politisi, Pengamat Politik, Ahli Hukum maupun masyarakat umum. Dan khususnya kata Kriminalisasi kebanyakan dari mereka menuduh si A atau si B telah melakukan Kriminalisasi tetapi tidak didukung dalih-dalih yang bisa dipertanggung-jawabkan ataupun fakta-fakta yang tak terbantahkan.
Defenisi Kata Kriminalisasi mungkin cukup banyak tetapi menurut ane yang paling sederhana dan sesuai dengan konteksnya, kata Kriminalisasi berarti Upaya merekayasa suatu perbuatan seseorang atau perbuatan sekelompok orang/ institusi dengan tujuan agar perbuatan orang/ sekelompok orang tersebut bisa dianggap sebagai tindakan kriminal (Kejahatan) yang melanggar Hukum. Setelah itu tentu saja orang tersebut/ kelompok orang tersebut akan dijerat dengan pasal-pasal hukum yang mengakibatkan orang tersebut di penjara atau dihukum lainnya.
Kasus BG, Kasus AS dan BW, Hingga Kasus Novel
Khususnya untuk Tahun 2015 ini kata Kriminalisasi tercetus pertama kali dari omongan para Politisi PDIP dan Polri. Ketika itu pada pertengahan bulan Januari 2015, KPK tiba-tiba menyatakan Budi Gunawan menjadi Tersangka sehingga seketika itu juga Hasto Kristianto (Sekjen PDIP) langsung menyebut KPK telah mengganjal BG yang sedang diusulkan Presiden untuk menjadi Kapolri yang baru.
Hasto Kristianto menuduh pimpinan KPK Abraham Samad membalas dendam kepada BG karena pada saat menjelang Pilpres 2014 Abraham Samad gagal menjadi Cawapres dari Jokowi. Hasto sangat yakin pada saat itu AS telah menuduh BG yang mengganjalnya jadi Cawapres Jokowi sehingga akhrinya pada Januari 2015Â AS membalas dengan mengganjal BG untuk menjadi Kapolri.
Hasto Kristianto dan seluruh anggota PDIP sangat yakin Budi Gunawan tidak punya salah dan KPK telah melakukan Kriminalisasi terhadap BG dengan mengada-ada Kasus Rekening Gendut. Dan tuduhan ini diiyakan sepenuhnya oleh internal Polri yang mayoritas memang mendukung Budi Gunawan.
Jadi semenjak KPK menetapkan BG menjadi Tersangka pada 15 Januari lalu maka sejak saat itulah Muncul Istilah Kriminalisasi. Kita fokus membahas soal ini untuk tahun 2015 saja.
Padahal di sisi lain KPK menyatakan Penyidikan Kasus Rekening Tidak Wajar Budi Gunawan sudah berlangsung sejak tahun 2013. Penyidikan ini berdasarkan laporan masyarakat yang didukung pula oleh Laporan dari PPATK.Menurut KPK kasus BG ini adalah murni Penegakkan Hukum (Kasus Korupsi/Gratifikasi), tetapi menurut PDIP, Nasdem dan Polri yang dilakukan KPK adalah Kriminalisasi.
Kemudian peristiwa selanjutnya, tiba-tiba masuk berbagai Laporan ke Bareskrim Polri tentang Kasus-kasus Kriminal yang dilakukan 4 Pimpinan KPK bertahun-tahun yang lalu. 4 Pimpinan KPK langsung terancam dijadikan Tersangka oleh Polri. Begitu juga dengan 21 Penyidik KPK yang diindikasikan memiliki Senjata Api Ilegal.
Seketika itu juga masyarakat luas, KPK dan berbagai lembaga anti korupsi menyimpulkan bahwa Polri sedang melakukan Kriminalisasi terhadap KPK. Padahal menurut Polri yang dilakukan mereka adalah Penegakkan Hukum.
Dan terjadilah Polemik Cicak Vs Buaya Jilid 3. Rakyatpun yang buta soal hukum dibikin bingung dengan kondisi ini. Polri yang didukung PDIP dan Koalisinya berikut Wapres JK (katanya)Â menuduh KPK telah melakukan Kriminalisasi sementara KPK yang didukung Pegiat Anti Korupsi dan mayoritas masyarakat juga menuduh Polri telah melakukan Kriminalisasi. Mana yang benar sebenarnya?
Situasi Sempat Kondusif Untuk Sementara
Polemik Cicak Vs Buaya Jilid 3 ini berlangsung cukup lama sekitar 2 bulan lebih dan menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Berikutnya polemic ini sempat mereda setelah BG memenangkan gugatan Praperadilannya. Tak lama setelah itu hanya 2 Pimpinan KPK yang disidik Kasusnya oleh Polri. Dan Pimpinan Polri dan Pimpinan KPK pun telah sepakat untuk menghentikan dulu pertikaian mereka.
Sayangnya kondisi yang tenang ini tiba-tiba porak poranda karena aksi Kabareskrim menangkap Penyidik KPK Novel Baswedan atas Kasus Penembakan Pencuri Sarang Burung Walet tahun 2004. Kembali lagi Polri dituduh masyarakat luas telah melakukan Kriminalisasi sementara Kabareskrim ngotot bahwa yang dilakukan itu adalah Penegakkan Hukum. Bahkan Buwas sang Kabareskrim sempat menolak Perintah Presiden untuk tidak menahan Novel Baswedan sementara menurut Wapres JK Polisi boleh melakukan Penyidikan bila ingin Menegakkan Hukum.
Akhirnya dalam 3 hari terakhir heboh lagi heboh lagi soal Kriminalisasi Vs Penegakkan Hukum. Pertanyaan selanjutnya : Mana yang harus didahulukan untuk dibuktikan, Kriminalisasi atau Penegakkan Hukum?
Jawabannya tentu saja adalah Penegakkan Hukum didahulukan agar isu tentang Kriminalisasi bisa segera dilenyapkan. Anda sepakat? Sudah pasti akan sepakat.
Penegakkan Hukum Harus Didahulukan dengan Syarat Harus Transparan dan Tidak Berstandar Ganda.
Kasus Abraham Samad memang sangat sepele. AS dituduh melakukan Pemalsuan KTP dan KK. Ini jelas-jelas kasus sepele dan jumlah kasus seperti ini kalau kita semua jujur dan transparan maka kita semua akan sepakat bahwa Kasus seperti ini jumlah ribuan hingga puluhan ribu kasus.
Jangan bertanya mengapa hanya Samad yang diproses hukum sementara yang lain tidak. Jangan beropini gara-gara Kasus abal-abal itu Abraham Samad harus dinonaktifkan dari Komisioner KPK.
Kita focus saja dengan pelanggaran hukumnya. Bahwa AS terjerat dengan (katanya) 2 alat bukti yang sudah dimiliki Polisi. Bila memang benar maka seharusnya segerakan saja diproses perkara hukumnya. Segerakan saja penyidikan, tuntutan hingga Pengadilan. Buktikan itu bahwa hal itu adalah Penegakkan Hukum. Tapi tolong lakukan dengan cara yang benar-benar transparan.
Begitu juga dengan kasus Bambang Widjojanto yang dituduh merekayasa Kesaksian Palsu. Kasus ini juga kasus sepele kok. Tidak perlu dibesar-besarkan. Kalau memang benar ingin menegakkan hukum, proses saja perkaranya dengan bijak. Lakukan penyidikan dengan benar dan bijak. Tidak perlu lakukan penahanan karena kasusnya memang sepele (bukan penjahat jalanan). Disidik segera, limpahkan ke kejaksaan dan segerakan sidang pengadilannya. Nanti pengadilan yang menentukan benar atau tidaknya.
Sebaliknya Kasus Budi Gunawan, seharusnya Kasus Budi Gunawan juga tetap di KPK. Penyidikan Kasus ini belum selesai meskipun BG sudah menang Praperadilan. Praperadilan hanya membatalkan Status Tersangka dari BG tetapi tidak membatalkan Kasusnya.
Kalau kita tidak punya standar ganda tentu saja semua pihak (termasuk Polri dan PDIP) akan mendukung KPK meneruskan kasus ini hingga sampai Pengadilan. KPK tidak mengenal SP3 sehingga sangat tidak mungkin apa yang disidik KPK tidak sampai ke Pengadilan.
Sayangnya dari Polri yang didukung PDIP dan Koalisinya berikut Wapres JK telah meminta Berkas Kasus BG dari KPK diserahkan ke Kejaksaan Agung. Alasannya untuk mendinginkan suasana. Tetapi yang terjadi malah oleh Kejagung kasus ini dikembalikan ke Bareskrim. Ini artinya membiarkan Jeruk makan Jeruk lagi. Sangat tidak bijak dan sangat menyalahi prosedur.
Bahkan Situasinya kembali tidak kondusif meskipun Berkas Kasus BG sudah ditangan Kabareskrim. Dan yang selanjutnya kita semua menyaksikan yang terjadi dalam 3 hari ini. Kabareskrim memporak-porandakan situasi yang sudah kondusif sehingga terjadi lagi Polemik soal Kriminalisasi.
Khusus Kasus Novel Baswedan Itu Kriminalisasi Bukan?
Ane tidak ingin membahas Kasus BG atau Kasus AS atau Kasus BW. Ane cuman mau mengulas Kasus Penembakan Pencuri Sarang Walet yang dituduhkan ke Novel Baswedan. Mari kita bicara tentang fakta-fakta yang kita sepakati bisa dijadikan acuan.
Fakta Pertama, Kasus itu terjadi pada bulan Februari 2004 dimana saat itu Novel Baswedan masih di Polri dan menjabat Kasatreskrim Polres Bengkulu. Diceritakan versi Bareskrim di media terakhir, suatu ketika Novel Baswedan dengan beberapa anak buahnya membawa 6 Tersangka Pencuri Walet ke Pantai. Menurut Bareskrimdari 6 orang tersebut 4 orang ditembak kakinya oleh Novel Baswedan. 1 orang terluka parah di kakinya hingga akhirnya meninggal. Sekali lagi Kejadiannya terjadi pada Februari 2004.
Fakta Kedua, Kalau memang benar itu kejadiannya seperti itu maka kita semua tidak tahu pasti bagaimana penyelesaian yang sudah dilakukan Polres Bengkulu dan Polda Bengkulu. Harus kita asumsikan bahwa apapun atau bagaimanapun peristiwa yang terjadi bulan Februari 2004 maka peristiwa itu sudah diselesaikan dengan baik oleh Polda Bengkulu. Ini harus menjadi poin dari fakta yang ada.
Fakta Ketiga, sehubungan dengan Fakta Kedua maka Karier Novel Baswedan tetap melesat jauh dan dianggap sebagai Perwira Polri berprestasi dan akhirnya dikirimkan/ditugaskan oleh Polri untuk menjadi Penyidik KPK pada tahun 2006. Fakta ini menegaskan bahwa Novel Baswedan sampai dengan tahun 2006 dianggap oleh Polri sebagai Perwira Muda berprestasi sehingga bisa ditugaskan ke KPK.
Fakta Keempat, Sejak kejadian Penembakan tersebut Februari 2004 sampai dengan Tahun 2012 tidak ada satupun peristiwa yang berkaitan dengan Kasus Penembakan tersebut. Kemungkinan besar yang terjadi adalah: Tidak ada bukti baru yang membuat kasus itu bisa hidup kembali atau Tidak ada satupun pihak yang menggugat peristiwa tersebut. Fakta Keempat bisa disimpulkan bahwa selama periode Tahun 2004 hingga tahun 2012 tidak penyidikan sama sekali yang dilakukan Polri untuk Kasus tersebut.
Fakta Kelima, secara tiba-tiba pada tanggal 1 Oktober 2012 ada laporan masyarakat di Bengkulu tentang Kasus ini lagi. Tanggal 5 Oktober 2012 Bareskrim Polri yang ada langsung bergerak mengepung gedung KPK untuk menangkap Novel Baswedan. Secara Kebetulan Novel sedang bertugas sebagai Penyidik Kasus Korupsi Stimulator SIM dengan Tersangka Irjen Polri Djoko Susilo. Kita semua harus berpikiran positif dan harus berasumsi bahwa peristiwa ini suatu Kebetulan Belaka. Kebetulan saja pada saat Irjen Djoko Susilo menjadi Tersangka KPK secara tiba-tiba ada laporan masyarakat tentang Kasus Novel Baswedan sehingga Polri harus mengepung gedung KPK. Tapi sayangnya kasus ini terputus karena dihentikan Presiden SBY.
Fakta Keenam, setelah peristiwa Pengepungan gedung KPK tahun 2012 hingga Irjen Djoko Susilo divonis bersalah situasi antara KPK dan Polri sangat kondusif. Bareskrim yang ada maupun Polri secara umum tidak ada rencana untuk menyelesaikan Kasus Novel Baswedan yang kebetulan itu. Tapi ndilalah setelah 3 tahun berlalu, tiba-tiba Kabareskrim yang baru mendapat laporan masyarakat lagi tentang Kasus Novel Baswedan. Sekali lagi terjadi Peristiwa Kebetulan. Pada saat Budi Gunawan ditetapkan jadi Tersangka oleh KPK setelah itu Kasus Novel Baswedan kembali muncul lagi. Wah kalau ini sudah tidak masuk akal kalau dibilang Kebetulan. Jelas-jelas ini suatu Kesengajaan. Setuju?
Pertanyaan besarnya, Kalau memang Penangkapan Novel Baswedan kemarin adalah Upaya Penegakkan Hukum mengapa harus selalu dilakukan pada saat Petinggi Polri sedang menjadi Tersangka KPK? Mengapa Kasus Novel harus diselesaikan setelah ada Kasus Irjen Djoko Susilo dulu atau harus ada Kasus BG lebih dahulu? Ada yang bisa menjawab dan menjelaskannya?
Akhirnya kalau saja tidak ada yang mampu menjawab dan menjelaskan pertanyaan tersebut maka mau tidak mau dengan terpaksa kita harus menyimpulkan Kasus Penangkapan Novel Baswedan ini adalah Tindakan Kriminalisasi.
Tulisan Sebelumnya :
Antara Budi Waseso dengan Novel Baswedan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H