Mohon tunggu...
Ga Law
Ga Law Mohon Tunggu... profesional -

Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Putusan MK tentang Sengketa Pilkada Layakkah Dieksaminasi?

9 Oktober 2013   17:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:46 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tertangkapnya Ketua MK dalam kasus korupsi (dugaan suap) oleh KPK membuat gempar dunia demokrasi di Indonesia. Karena dugaan suap itu menyangkut sengketa Pilkada. Padahal secara normatif, Putusan MK tidak bisa diganggu gugat lagi, final dan mengikat, ultra petita, untuk menjamin kepastian hukum. Tidak kurang dari Machfud MD dan Gamawan Fauzi tegas menyatakan hal itu.

Dalam keadaan normal, ketentuan itu sangat benar. MK adalah benteng demokrasi yang memberi peluang rakyat mengajukan pengujian untuk membatalkan Undang undang, seluruhnya atau sebagian, yang diyakini bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi masalahnya menjadi lain ketika kita bicara Pemilukada.

Pemilukada adalah produk reformasi untuk mengembalikan hak rakyat seutuhnya dalam memilih Kepala Daerah melalui pemilihan langsung. Penghargaan atas suara rakyat ini sesuatu yang sangat mahal dan diperjuangkan sejak lama. Sekarang pengembalian hak rakyat ini akan diredusir oleh suara yang menyatakan biayanya sangat besar. Mendagri Gamawan Fauzi paling vokal menyuarakan hal ini. Pantaskah mahalnya biaya Pemilukada ini dijadikan faktor penting untuk mengkebiri hak rakyat? Bisakah diselenggarakan Pemilukada murah?

Menghilangkan hak rakyat dengan melimpahkan pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD adalah pelecehan demokrasi yang serius. Kehormatan rakyat adalah segala galanya kalau Indonesia masih mau mengaku negara demokrasi. Sehingga pemberian seutuhnya hak rakyat adalah sebuah keniscayaan, at all cost. Sebuah keharusan, berapapun biayanya. Sama padanannya dengan kewajiban menyekolahkan anak atau mengirim kerumah sakit keluarga yang menderita sakit. Kalau perlu menjual rumahpun dijabanin.

Pemilukada menjadi mahal karena ambisi menang yang overdosis. Menghalalkan segala cara. memanfaatkan keterbelakangan sebagian rakyat kita, dengan menukar hak konstitusinya dengan sekantong sembako atau beberapa ratus ribu rupiah. Ini perbuatan hina yang melecehkan demokrasi. Belum lagi begitu semangatnya tim marketing memasang iklan di media termasuk televisi, menyebar sticker, pamflet, spanduk sampai baliho segede gaban dimana mana, merusak keindahan kota. Pemenang Pemilukada macam ini tentu programnya sepanjang masa jabatannya mengembalikan (pinjaman) modal, memberi konsesi alias kongkalikong dengan para cukong pendukung kampanye, dan mengeruk keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Tidak heran kalau ratusan Kepala Daerah berakhir hidupnya dibalik jeruji penjara. Itukah demokrasi yang kita uinginkan?

Di Jakarta, Jokowi-Ahok tanpa banyak bicara memberi contoh pelaksanaan Pemilukada murah, didaerah 'paling mahal' di Indonesia. Tidak ada pengerahan massa, tidak ada iklan, spanduk apalagi baliho. Tidak ada sembako dan uang serangan fajar. Sangat membalik paradigma dibandingkan 'lawannya' Foke-Nahrowi yang begitu 'murah hati'nya menebar dana hibah, melakukan penggalangan massa termasuk mengerahkan artis top Rhoma Irama dan para ambiya-aulia-usttadz-ustadzah, memenuhi setiap sudut kota dengan spanduk dan baliho foto kerennya ukuran raksasa, iklan massive 'pelayanan masyarakat' di televisi untuk membuat masyarakat Jakarta bener2 well informed tentang pasangan hebat yang didukung hampir semua parpol ini. Jelas saja biayanya besar sekali.

Sementara Jokowi Ahok 'melawan' dengan paradigma yang sangat kontras. Kampanyenya hanya blusukan ke-kampung2 kumuh, paling tinggi membagi kartu nama (trade mark kampanye Ahok sejak di Belitung Timur) dan mendengar keluhan warga. Program yang dijualnya terutama memperbaiki kualitas pelayanan umum, KJS (membebaskan biaya kesehatan) dan KJP (membebaskan biaya pendidikan). Selain itu standard saja, mengatasi kemacetan (Move the people not Cars: membangun angkutan umum massive dan rusunawa disentra bisnis dan industri), mengatasi banjir (mengeksekusi program lama), mengatasi kampung kumuh (dengan membangun kampung deret), memperbanyak taman kota dan sebagainya.

Hasilnya sudah sama sama kita ketahui, pasangan Jokowi-Ahok memenangkan putaran 1 dan 2, sekalipun di putaran 2, PKS yang pernah menjadi pemenang Pemilu di Jakarta ikut bergabung mendukung Foke-Nahrowi, setelah Hidayat Nurwahid-Didi tumbang diputaran pertama. Ada anekdot, di Jakarta  PKS kalah 2 kali dalam 1 Pemilukada.

Cerita belum berakhir. Setelah dilantik, ternyata Jokowi-Ahok terus melakukan kampanye untuk masa jabatan kedua, 5 tahun yang akan datang. Ibarat tim sepakbola, Jokowi menggalang penyerangan, Ahok menggalang pertahanan. Jokowi terus menerus blusukan mengunjungi masyarakat, Ahok menjaga tertib administrasi di kantor. Bedanya kampanye ini didanai APBD sebesar 50 triliun per tahun, tanpa bisa dikomplain siapapun. Siapa yang mau komplain Gubernur membangun daerahnya?

Dengan sigap Jokowi-Ahok merealisasi janji kampanyenya. Melalui sidak pagi hari, pegawai kelurahan, kecamatan, puskesmas dan pelayanan publik lainnya dibuat mati kutu untuk 'terpaksa' mematuhi jam kerja dan standard pelayanan yang berlaku. Pungli dan kelemotan berakhir dengan sendirinya seketika. Karena Jokowi sangat tegas kalau harus menggusur orang. Tidak kurang dari Kepala Dinas PU dan Walikota Jakarta Selatan yang tadinya dipersepsi tak tergeserkan, diganti tanpa babibu. Data APBD ditransparankan, dapat diakses siapa saja. BPK dan BPKP digandeng untuk melakukan pengawasan setiap hari secara permanen seluruh kegiatan yang menggunakan uang APBD. KPK diberi lampu hijau untuk silahkan masuk kapan saja. Disadap semua juga boleh saja.

Pelayanan publik langsung mencuat. KJS dan KJP langsung disebar kurang dari 3 bulan pertama. Bus besar sekelas busway transjakarta langsung dipesan, bukan 10-20 biji, tetapi 1000 unit. Almarhum proyek MRT dan Monorel dihidupkan kembali. kampung deret dan rumah susun dibangun secara massive. Setelah sukses membangun 1 kampung deret di Tanah Tinggi, langsung diikuti 28 lokasi lainnya tersebar diseluruh Jakarta. Rusunawa yang diterbengkalaikan Gubernur sebelumnya  langsung didistribusikan kepada ribuan keluarga masyarakat miskin yang membutuhkan. Gratis, full furnished plus dikasih lapangan kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun