tentang Karya
2015, Merupakan kali ke tiga belas pameran seni rupa Biennale diselenggarakan di Yogyakarta. Mengusung tema “Hacking Conflict” dengan tajuk proyeksi seni “Bertolak – bersanding”. Dari tema tersebut, diharapkan para penggiat seni dan pelakunya dapat memanggungkan timpangnya sistem social dengan melakukan kerja-kerja seni melalui metode patisipatif dan kritik sosial. Diantara karya-karya yang dipamerkan, ada sebuah instalasi yang dibuat oleh kelompok pelaku seni yang menamakan diri mereka Paguyuban Sidji (Seniman Imogiri, Dlinggo, dan Jetis).
Pada karya yang berjudul Mateni sing Mukti, Mutki sing Mateni tersebut Paguyuban Sidji membuat sebuah karya berupa instalasi atau mix media yang terbuat dari gabungan sampah-sampah dan juga limbah tanaman guna meretas masalah sampah di daerah irigasi Sriharjo, Imogiri, Bantul. Instalasi tersebut berbentuk menyerupai patung dengan tinggi kurang lebih 2 meter, dengan lingkar lebar bawah sekitar 1 meter dan mengerucut keatas dengan diameter sekitar kurang lebih 30cm. Pada bagian bawah, patung tersebut ditopang dengan 3 bilah bambu, yang juga menjulang didalam instalasi sampai ujung atas instalasi menjadi rangkanya.
Kemudian diatas penyangga, sekitar 40 cm dari dasar, terdapat kardus yang menutup bagian kerangka, berwarna coklat, yang di sayat-sayat pada bagain ujung bawah kardusnya, hingga seperti terurai. Pada sekitar kardus dikelilingi oleh potongan – potongan Koran bekas berbentuk potongan vertical dengan panjang 15 – 30 cm, dengan lebar diantara 5-10 cm dengan lekukan-lekukan yang tidak beraturan namun tetap menjuntai kebawah, yang dikaitkan melingkar menutup bagian samping kiri dan kanan juga bagian belakang. Potongan Koran bekas tersebut. Potongan Koran, juga terdapat pad bagian dalam kardus, hingga menutup sebagian bambu penyangga.disamping kanan kardus juga terdapat caping, yang tertutup rumbaian koran bekas.
Pada bagian, atas kardus, terdapat botol-botol plasti bekas air mineral , yang berupa botol, dan juga cup atau gelas. Mayoritas botol berwarna bening, dan aada beberapa botol berwaran putih, dan hijau transparan, dengan bentuknya yang sudah rusak atau ditekuk-tekuk. Sebagian botol masih ada tutupnya, namun kebanyakan tidak. Botol – botol bekas tersebut dikaitkan dan direkatkan melingkar bagian instalasi, dengan menggunakan tali rafia, dan juga kawat. Botol- botol tersebut juga disusun tidak beraturan, ada yang mengarah ke dalam, dan ada yang kepala botolnya mengarah keluar, tinggi susuan botol tesebut sekitar 50-60cm.
Setelah itu, diatas tumpukan botol-botol bekas tersebut, terdapat rumbai-rumbai Koran, yang menutup bagian kanan kiri dan belakang, dengan ember berwarna abu-abu pada ujung atas instalasi yang Nampak seperti sebuah kepala. Di sisi kanan kiri ember bekas tersebut terdpat Koran bekas yang dibentuk menyerupai bentuk tanduk berjumlah 2 (kiri dan kanan), yang agak mengarah melengkung ke bawah.
Dibagian depan atau muka ember menghadap serong kekiri agak turun yang tidak tertumpuk potongan Koran, terdapat gelas plastik bening berbentuk lingkaran yang menempel, pada bagian kiri atas ember, dan dibawahnya terdapat potongan koran yang di potong setengah longjong, menyerupai bentuk mulut, berwarna putih tulang. Diatas ember, terdapat kardus bekas berwarna putih, berbentuk segi 4 dengan aksen hijau di depannya. Dan diatas kardus tersebut terdapat tutup panci, berbahan seng alumunium yang dipasang berdiri atau terbuka mengarah kedepan.
Analisis
Dari deskripsi instalasi tersebut, terdapat beberapa bagian dari instalasi tersebut. Ada sebuah imaginasi lain jika memandang karya tersebut,, seperti teori imajinasi “THEORY OF IMAGINATION” yang diungkapkan oleh Horowitz yakni “Imaji ini tidaklah terbatas padas sesuatu yang konkret-visual (kasat mata), melainkan sesuatu yang “Tampak” dan hadir pada batin (dalam Semiotika Komunikasi, 2013:111).
Begitupun ketika melihat bentuk fisik dari karya ini, maka ada sebuah pandangan lain yang muncul dipikiran. Dimulai dari bagian bawah, terdapat penyangga berupa 3 buah bilah bambu, yang sekaligus berfungsi sebagai rangka dari instalasi tersebut. Bambu-bambu tersebut diameternya lebih kecil dari instalasinya, yang sudah dipotong menjadi bilah. Selebar kurang lebih 15cm dengan bambu yang sudah kering dan berwarna kuning. Jika melihat dari bentuk dan letaknya, ke 3 bilah bambu yang menyangga tersebut berfungsi sebagai kaki dari instalasi tersebut.
Bergerak keatas, diatas kaki instalasi, terdapat kardus yang menutup kerangka bambu, yang dikelilingi oleh rumbai-rumbai potongan Koran bekas, yang menutup bagian kiri kanan dan belakang bagian Koran, yang terdapat plastik kresek berwarna belang garis hitam-putih. Pada bagian ini dapat dianalogikan menjadi bagian paha hingga pinggul instalasi.
Diatas bagian tersebut, terdapat botol-botol bekas yang melingkari instalasi setinggi kurang lebih 60cm diatas kardus bagian bagian pinggul instalasi, dengan susunan yang tidak beraturan. Botol-botol tersebut mayoritas berwarna bening, dan bekas air mineral yang sudah tidak sesuai bentuk aslinya, melainkan sudah tertekuk, bengkok, dan kotor, yang tertata dan terkait menggunakan kawat dan raffia menjadi sebuah kesatuan, yang seolah menjadi bagian badan manusia.
Diatas tumpukan botol tersebut, terdapat persimpangan kerangka dari bilah bambu yang dikuatkan dengan ikatan menggunakan rafia berwarna hitam. Diatas simpangan kerangka tersebut, terdapat ruang kosong yang di penuhi rumbai potongan kertas, yang terlihat menyerupai leher, dan kepalanya ada ember yang ada diatasnya berwarna abu-abu kehitaman, sekitar kiri-kanan ember tersebut terdapat pula potongan Koran yang berumbai-rumbai yang terlihat seperti rambut. Pada bagian ember yang Nampak seperti muka, terdapat 1 buah lingaran dari potongan plastik bekas, yang menjadi seperti mata dari muak tersebut, dan dibawahnya terdapat potongan plastic yang bebentuk seperti mulut yang terbuka.
Diatas bagian ember, terdapat kardus putih berbentuk segi empat yang menutup ember tersebut dan tancapi tutup panci berbentuk lingkaran. Disisi kanan kiri ember, terdapat potongan Koran yang dibentuk menyerupai bentuk tanduk, dan melengkung lancip kedepan, seolah siap menyeruduk.
Pemaknaan
“Mateni sing mukti, Mukti sing mateni”
Melihat dari judul karya yang diusung oleh Paguyuban Sidji menggunakan bahasa jawa “Mateni sing Mukti, Mukti sing Mateni” yang berasal dari peribahasa jawa. Secara denotatif, mukti memiliki arti kebebasan, serta mateni berarti membunuh, sehingga jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, maka menjadi “Membunuh yang Bebas, Bebas yang Membunuh” hal tersebut sesuai dengan isu yang mereka angkat, yakni mengenai kebiasaan membuang sampah yang berakibat merusak perairan sawah, yang mengakibatkan kematian tanaman disawah, kususnya padi dan tanaman pertanian lainnya.
“Mukti” yang berarti kebebasan disini, menjadi memiliki arti yang luas, jika melihat dari isu sampah, maka jelas dapat mengarah pada kebebasan membuang sampah dimana saja, tentu bukan kebebasan sesungguhnya, melainkan kebebasan tak bertanggung jawab oleh pelakunya, dimana kebebasan tersebut mengakibatkan matinya kehidupan dihilir sungai.
Sampah bekas, yang digunakan untuk menyusun instalasi ini merupakan gambaran dari sampah-sampah yang acap kali dibuang sembarangan, dan membahayakan karena botol tidak dapat terurai sehingga mematikan kehidupan alam didalamnya, yang digambarkan dengan 3 bilah bambu yang menjadi kaki instalasi. Dimana kaki merupakan tumpuan, maka 3 bilah bambu tersebut dapat diartikan sebagai 1 kesatuan tumpuan, atau kebutuhan manusia untuk mampu hidup yakni Sandang, Pangan, Papan.
Krangka instalasi yang merupakan terusan dari kaki yang sama dari bilah bambu menggambarkan tanaman yang sering hidup disekitar arus sungai, dan simbolisasi alam, namun sekaligus bisa menjadi alat transportasi sampah itu sendiri menuju ke hilir, karena mengingat bambu merupakan bahan dasar membuat getek, atau perahu bambu yang merupakan alat transportasi air. Ketidak pedulian terhadap lingkungan, khususnya persawahan dan perairan juga terlihat dari caping yang kemudian diletakkan disamping kanan kardus. Caping yang notabene dikenal sebagai pelingdung kepala bagi petani dan nelayan dari sinar matahari, justru dikesampingkan. Hal tersebu menyiratkan dengan tidak mempedulikan pembuangan sampah dengan benar, maka akan menjadikan kehidupan para petani dengan sawahnya dan nelayan dengan perairannya menjadi tidak aman, atau terancam, karena tempat mereka mencari sandang, pangan, papan ini telah rusak dengan adanya sampah.
Melihat bentuk instalasi yang mengerucut keatas, lebar dibagian bawah dan runcing diatas, menjadi sebuah pertanyaan, mengingat instalasi tersebut disusun dari berbagai sampah, apakah bagian bawah instalasi lebih lebar dari bagian atas menggambarkan bahwa mayortitas orang yang hidup di kalangan bawah atau ekonomi rendah cenderung leih sering membuang sampah sembarangan dibanding dengan masyarakat yang hidup pada golongan atas atau ekonomi tinggi, yang dimana digambarkan dengan lingkaran yang terbuat dari panci yang seolah menyimbolkan parabola, atau pengontrol jaringan menandakan mereka yang hidup dikalangan atas sudah mau bisa mengontrol pembuangan sampahnya? Hal tersebut kemungkinan sangat bisa terjadi mengingat kebisaan orang yang hidup dengan berkecukupan harta mereka hanya membuang sampah rumah tangga sisa memasak mereka yang diwakilakn tutup panci, yang merupakan tempat memasak, kemudian 2 tanduk yang terbuat dari koran dimana mereka sering membaca berita dari surat kabar untuk mencari peluang bisnis yang merupakan senjata mereka untuk bertahan hidup, sehingga digambarakan dengan bentuk tanduk, dan ember bekas yang merupakan simbolisasi bekas pembangunan, yang sudah sering mereka pasrahkan atau pada tukang sampah kelialing yang mengurus sampah tersebut sehingga justru tidak membuang langsung kealam? Mungkin. Sedangkan orang yang hidup di kalangan bawah, mereka cenderung sering kurang kesadaran dengna membuang sampah semabrangan, apalagi yang tingga; dibantaran sungai, ada anggapan ketika membuang disungai sampah aka hanyaut, tanpa berfikir diujung hilir sampah tersebut menumpuk dan menutup 3 landasan hidup manusia yakni sandang,pangan dan papan tadi.
Melihat dari material sampah yang terdiri koran bekas dan botol bekas terdpaat sebuah perbedaan. Koran bekas, dan kardus Nampak di sobek dan di potong, namun tidak dengan botol yang meskipun telah rusak tetap tidak pecah. Diatas kerangka bambu. Hal tersebut merepresentasikan jika kertas merupan sampah yang bisa diurai lagi oleh tanah (bumi) namun tidak dengan plastik. Kemudian jika melihat lingkaran diatas yang terbuat dari tutup panci bekas, mengigatkan kita pada bentuk parabola, yang berfungsi sebagai penangkap sinyal, atau jika melihat jauh dibelakang parabola digunkaan pada robot sebagi penagkap sinyal, sehingga robot dapat dikendalikan oleh penciptanya.
Pesan yang tersimpan dan mungkin tidak terfikirkan, jika sampah instalasi tersebut ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya sampah juga dapat bermandaat dan dikendalikan dengan baik asalkan menggunakan cara yang tepat, seperti yang dilakukan oleh Paguyuban Sidji, sesungguhnya mereka menjadikan intalasi tersebut sebagai boneka mereka untuk menunjukkan pesan tentang bahaya sampah bagi kehidupan, haltersbut menunjukkan mereka memanfaatkan sampah menjadi sebuah senjata mereka untuk menyampaikan pesan.
Hal yang serupa pernah pula terjadi pada mitos Yunani kuno, yakni kita dapat melihat bentuk dari instalasinya yang menyerupai bentuk mahkluk yang mengerikan dan menjijikkan“Siklop” dari mitologi Yunani, yang bertubuh raksasa, bermata satu, dan juga bertanduk. Mitos sendiri ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada sekelompok orang” (van peursen 1988, 37 ).
Dikisahkan siklop memanglah makhluk mengerikan penyebar ancaman yang membunuh dan memakan manusia. Karena menakutkan, menjijikkan dan tak berguna, mereka dipenjarakan oleh Uranus (Dewa Yunani), namun karena dewa-dewa membutuhkan pasukan untuk berperang melawan Titan, yang hendak membinasakan seluruh langit dan dewa-dewa serta kehidupan bumi, maka siklop dilepaskan oleh Zeus, dan diperbantukan untuk membantu peperangan dan membuat senjata. Dan akhirnya mereka bisa melwan Titan, dan menjaga kelangsungan kehidupan di bumi. Hal tersebut menjadi makna tersendiri dari instalasi tersebut secara konotatif.
Mengingat Makna konotasi melibatkan symbol-simbol, historis, dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional - Arthur Asa Berger (Semiotika Komunikasi, 2013 : 263 ), maka terlintaslah cerita tersebut ketika mencari makna dibalik intalasi tersebut, mengingat tujuan pembuatan karya ini adalah menciptakan karya seni yang dapat menyadarkan para pelaku-pelaku pembuang sampah untuk memunculkan rasa “takut-takut” membuang sampah sembarang, mengingat jika melihat tinggi intalasi yang melebihi tinggi manusia dan ada simbol mulut yang terbuka pada bagian kepala instalasi, seolah memberikan wejangan atau pesan pada kita tentang kekawatiran jika suatu saat akan terjadi pembludakan jumlah sampah bahkan meninggi melebihi kuasa manusia untuk mengendalikannya. Sehingga ada sebuah pesan dari instalasi ini agar menjaga kelestarian kehidupan dihilir dengan tidak membuang sampah dengan tidak bertanggung jawab, yang melewati lahan pertanian, dan perairan yang nota bene merupakan sumber kehidupan.
Sampah yang dianggap tidak penting dan dipandang menjijikan sesungguhnya dapat digunakan sebagai media kreatif dan ciamik untuk sarane kampanye tentang bahaya sampah bagi kehidupan di hilir. Pemanfaat sampah menjadi kampanye menyadarkan kita jika sesungguhnya kitapun bisa menjadikan sampah ini bermanfaat, sebelum bahaya sampah tersebut nantinya akan Mateni (membunuh) kehidupan kita, karena sampah menjadi mukti atau bebas tak terkendali.
Daftar Pustaka
Buku
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Internet
Indah AngraIni, 2012, Monster-Monster dalam Mitologi Yunani, http://iniminikirara-inimini.blogspot.co.id/2012/05/monster-monster-dalam-mitologi-yunani.html#ixzz3rleCFpv9
Cari Nama Bayi, 2015, arti Nama http://carinamabayi.com/arti-nama/mukti.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H