Mohon tunggu...
Galang Taufani
Galang Taufani Mohon Tunggu... -

Penulis dan peminat kajian hukum dan sosia masyarakat, Pemimpin redaksi LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum universitas Diponegoro.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum dan Keadilan yang Dibatasi

18 April 2011   05:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DALAM konsep kajian hukum banyak aspek-aspekyang urgen untuk dikaji. Termasuk dalam hal oreintasi hukum itu, keadilan. Meskipun,terkadang, acapkali keadilan diintepretasikan berbeda, dimonopoli, dan hal lainnya. Inilah masalah yang sedang kita hadapi.

Kini, hukum sebagi sebuah aturan formil masyarakat tak lepas dari sorotan. Itu tidak terlepas dari hukum sebagai sebuah fenomana yang berhubungan dengan orientasi penegakan keadilan ditengah masyarakat. Namun, nyatanya hukum menjadi pisau bermata dua. Tumpul dalam membasmi keadilan (baca :hak rakyat kecil), sebaliknya tajam memnuhi kepentingan-kepntingan orang besar. Sehingga, terjadilahdisorientasi terhadap keadilan.

Dalam hal ini, kira saya, permasalahan adalah bahwa pandangan hukum harus sesuai dengan yang diatur undang-undang dan harus dapat diselesiakan dengan undang-undang tersebuat. Padahal, belum tentu semua hal-hal yang ada dimasyarakat adapat ditemukan dalam produk undang-undang.

Memang, peran para praktisi dan penagak hukum—dalam hal ini—sangat berpengaruh. Dimana hal yang masih kita dapati adalah persepsi positivis-legalistik terhadap undang-undang. Dan, nyatanya pandangan positivis-legalistik masih menjadi mayoritas dinaegara ini di bandingkan dengan persepsi lainnya.

Kita tahu, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (lex du ra sed tamen scripta). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannyasebagi sebuah dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan maslah keadilan atau pencarian keadilan,maka sekarang kita dihadapkan kepada teks,pembacaan teks,pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo, 2010).

Hal ini menarik, muncul sebuah hipotesis : keadilan, sebagai orientasi, telah bergeser. Karena hukum dipahami secara formal, tanpa megindahkan fungsi darinya atau tujuan hukum tersebut. Walhasil, keadilan yang seharusnya hadir dari sebuah peradilan terhalangi oleh kepatuhan dalam bentuk formal (baca: teks undang-undang). Padahal, hal itu telah memunculkan ketidakadilan . Dan disinilah disaat undang-undang kita sudah tidak mampu mengakomodir seluruh permasalahan yang ada dalam kehidupannyata.

Hal ini dijawab lugas oleh Stjipto Rahardjo, yang mengatakan, bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme) namun terus bergerak, berubah, dan mengikuti dinimaka kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melaluiupaya-upaya progressif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dan menggapai keadilan.

Pernyataan ini pun diamini oleh Scholten yang berpendapat bahwa hukum harus selalu dibentuk dan bahwa hal itu tidak selalu bisa ditemukan dalam keadaan siap dalm undang-undang.

Harus diakui, pandangan diatas—secara tidak langsung—melegalkan pencarian nilai-nilai diluar undang-undang selama hal itu belum diatur. Dan hal ini patut diapresiasi. Meskipun, Hal ini pun kerap menimbulkan kritikan. Dimana pendekatan hal seperti ini rawan terhadap perasaan pribadi,keyakinan pribadi, politik, dan lainnya.

Walapun begitu, hal ini tidak salah. Keadilan bisa diukur dengan menggunankan perasaan keadilan (sense of justice) dan perasaan ketidakadilan (senseof justice). Berdasarkan inilah putusan hakim bisa dipertanggungjawabkan sekaligus menjawab kritkan-kritikan itu. Sekaligus sebagai pembenaran karena dalam penyelesaian hukum terdapat hal-hal yang harus diselsekan secara nonmetodologis.

Akhirnya, hukum adalah norma untuk menyelesaiakan permasalahan yang muncul dimasyarkat. Hukum sebagai norma untuk menyelesaikan permasalahn berorientasi pada keadilan. Namun, ketika keadilan itu dibatasi dengan prosedur-prosedur legal, maka keadilan tidak akan pernah bisa tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun