Oleh Galang Taufani
BERBICARA hukum, tentu tidak lepas dari sebuah diskursus. Proses rasionalisasi yang panjang, bertukar ide, dan saling mengungkapkan gagasan. Sebuah proses inteligensi yang tinggi. Bersumber pada sebuah organ yang sentral untuk berfikir dalam sebuah kehidupan, yaitu otak.
Otak adalah bagian tak terbantahkan dalam kehidupan. Ia adalah sebuah sumber dari segala kemutakhiran dan ketakjuban manusia yang dinamis. Menciptakan keadaan dan menggambarkan sebuah masa depan dengan imajinasinya. Pendeknya, otak adalah sebuah alat yang terus merajah sebuah dunia peradaban manusia.
Sebuah Evolusi Panjang
Hakekatnya kajian evolusi mimiliki dimensi yang sangat luas bergantung pada objeknya. Namun, sebetulnya kemunculan gagasan evolusi ini sendiri sama sekali tidak asli. Gagasan tentang evolusi biologi baru diterima secara luas dikalangan di beberapa kalangan sejak 1800. Juru bicara terkemukanya adalah ahli zoologi Prancis, Lamarck.
Bukan tanpa alasan, pandangan pada saat itu, baik kalangan Gereja maupun ilmiah, doktrin Bibel mengenai kekekalan semua spesies tanaman dan binatang dipatuhi benar-benar. Setiap bentuk kehidupan binatang telah diciptakan secara terpisah sejak zaman azali. Lebih-lebih, pandangan Kristen ini dianggap selaras dengan ajaran Plato dan Aristoteles.
Teori ide Plato menyatakan bahwa semua spesies binatang itu kekal, sebab mereka dibuat oleh pola gagasan atau bentuk yang abadi. Kekelan spesies bintang tersebut juga relevan dengan salah satu dasar filsafat Aristioteles. Tapi, pada masa Darwin, ada sejumlah penyelidikan dan penemuan yang berusaha menguji kepercayaan tradisional tersebut. Akhirnya, semua hal mengenai evolusi adalah multipersepsi bagi sebagian  objek kajiannya. Karena memang banyak hal saat membicarakan Evolusi secara umum.
Mengenai evolusi otak, terhitung mengalami metamorfosis (pertumbuhan dan perkembangan) secara beransur-angsur dan perlahan-lahan. Otak terus bertansfigurasi. Ia akan berkreasi dan berlaku mengikuti tantangan dan perubahan zamannnya. Ia beradaptasi dan menemukan jalan sesuai alur keadaan.
Hasil kreasi otak pada zaman dahulu dan sekarang sangatlah berlainan. Karena memang pada zaman dahulu manusia menafsirkan keadaan dengan cara berbeda. Seperti kita tahu, kini sudah banyak bermunculan perangkat-perangkat teknologi yang mempermudah manusia dalam menjalani kehidupan. Contohnya adalah mobil, pesawat televisi, pesawat telpon, hingga alat-alat modern lainnya. Hal itu sangat kontras dengan sketsa manusia zaman purbakala yang hidup dengan perangkat-perangkat yang sangat primitif, seperti batu, tulang, dan goa untuk tempat tinggal.
Bagaimanapun ini sadalah sebuah  kemajuan. Sebuah kemajuan dari proses berfikir manusia secara berkesinambungan (continunity) dari zaman ke zaman.
Selain itu, ini adalah gambaran munculnya landasan pembabakan waktu pada zaman ke zaman hingga saat ini. Pada umumnya, masyarakat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain sejarah manusia dilihat dari sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang, dan zaman yang akan datang.
Secara definitif, pembabakan waktu itu memiliki makna yang dianggap menggambarkan peradaban didalamnya. Misalnya, zaman sejarah dianggap berbeda dengan prasejarah karena pada saat itu telah ditemukan tulisan. Tulisan inilah kemudian memunculkan peradaban baru dalam kehidupan umat manusia saat itu yang sangat kontras dengan zaman sebelumnya.
Kira-kira, otak pun mengalami hal demikian. Perkembangan otak dipisahakan oleh bilik-bilik periodisasi waktu yang terus berjalan. Bilik itu adalah deskripsi dari anggapan majunya otak. Pada zaman inilah, identifikasi terhadap perkembangan otak dapat digali dengan dalam.
Zaman pra sejarah adalah dimana ditemukannya fosil-fosil dan disitulah sebuah potret dari kreasi budaya ciptaan otak manusia. Zaman ini memang terdiri dari banyak sekali pembabakan dalam kurun waktunya. Bahkan beratus-ratus juta tahun yang lalu.
Namun, seperti yang sudah disinggung, bahwa setiap zaman adalah sebuah identitas. Memiliki ciri dan khas yang tidak sama. Contohnya adalah pada pembabakan zaman prasejarah berdasarkan arkeologi. Dalam arkeologi kita akan menemukan sebuah konsep pembabakan zaman batu. Didalamanya ada pembagian mengenai zaman batu tua (palaeolithikum), menengah (mesolithikum), dan muda (Neolithikum). Dari ketiga zaman tersebut ditemukan masing-masing penemuan. Ada kapak genggam, Kapak sumatra (Pable), dan kapak lonjong.
Dari peninggalan itu, maka dapat diketahui pula sketsa kehidupan dan kebudayaan yang terbentuk dari proses kreativitas otak manusia pada zaman itu. Â Cara hidup inilah yang menjadi rujukan bagaiman otak pada zaman itu berkreasi menakhlikkan sebuah kebudayaan.
Tidak berbeda dengan prasejarah, di zaman sejarah pun sama. Zaman ini telah mengantarkan pada sebuah kemutakhiran komunikasi, yaitu ditemuakannya tulisan. Cikal bakal muculnya garis tegas dengan membuka tabir baru sebuah zaman sebelumnya.
Tulisan telah menjadi lentera peradaban selanjutnya. Karena setelah ditemukan tulisan tersebut  kepustakaan makin lebih mudah ditelusuri. Dampaknya hampir peristiwa dan kejadian masa lalu mampu untuk digali informasinya melalui penemuan-penemuan berupa terjemahan dari naskah-naskah kuno, makam, prasasti, candi, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan penemuan.
Otak dan Akal
Dalam bahasa Arab ada ungkapan yang sangat terkenal, yakni Al insaanu hayawaanu naatiq (manusia adalah hewan yang berakal). Dengan kata lain, jika manusia tidak menggunkan akalnya akan menjadi seperti binatang.
Dalam konteks sederhana, lantas kita bisa menyimpulkan keterkaitan antara otak dengan akal. Faktanya, manusia di karuniai otak dan hewan pun sama. Akan tetapi, hewan yang jelas-jelas memiliki otak dikatakan tidak memiliki akal.
Ini adalah keunggulan yang dimiliki oleh manusia. Pada dasarnya manusia memiliki sebuah daya pikir untuk memahami dan meyimpulkan sesuatu. Intelegensi inilah yang dari masa ke masa mampu memberikan sumbangsih terhadap zamannnya. Sumbangsih itu terakomodasi menjadi kebudayaan yang memberikan corak kehidupan manusia dan peristiwa pada zamannya.
Berbeda dengan manusia, hewan tidaklah demikian. Perbedannya adalah hewan tidak mampu menciptakan kebudayaan. Hewan hidup hanya dengan kebiasaan-kebiasaannya saja. Kebiasan itu sifatnya hanyalah istinctif saja.
Artinya, memang akal inilah yang menjadi sangat menonjol. Hingga akhirnya, manusia dapat mencipatakan peradaban dari masing-masing zamannya karenanya. Hal ini merupakan sebagai sebuah kemajuan dari kecerdasan akal dan kebudayaan manusia .
Menciptakan Peradaban
Dalam kadar pergantian zaman, masing-masing pemikiran, yang bersumber dari otak dengan akalnya, telah melahirkan sebuah perdaban yang memiliki nilai dan budaya. Alhasil, perdaban itulah yang membentuk sebuah nilai-nilai dan aturan-aturan didalam masyarakat secara berkelanjutan (mantainance) sampai saat ini.
Peradaban muncul melalui sebuah proses yang panjang. Tapi, bermula dari suatu hal yang kecil, yaitu kebiasaan dari sebuah daya pikir dan penyimpulan. Itulah faktor yang membentuk sebuah peradaban.
Begitu juga dengan hukum, dia adalah output dari sebuah kebudayaan dan muncul dari suatu peradaban. Budaya  yang mencerminkan dari sebuah kecerdasan entintas-entintas bangsa. Ia hidup dan membumi bersama perilaku yang hidup secara dinamis. Bagi seseorang yang melanggarnya, akan mendapatkan sanksi dan pelanggaran.
Kini, dengan situasi yang semaikin kompleks. Sistem hukum kreasi peradaban kadang rancu dan kacau balau. Padahal, hakikatnya hukum yang mengikat adalah sebuah intrepretasi dari sebuah peradaban. Jika demikian, pasti ada yang salah dan tidak sesuai dengan peradaban tersebut.
Barangkali kita harus merustrukturisasi hakekat sebuah kehidupan. Hidup harus terus melakukan perubahan. Jika suatu kebudayaan sudah tak lagi pantas, maka sudah selayaknya berjalan menuju—mengambil istilah Hume—ke nyala api. Artinya, menuju transformasi ke arah yang lebih baik dan berubah.
Manusia adalah makhluk utama dari semua makhluk natural maupun supranatural. Manusia mempunyai jiwa bebas dan hakekat mulia. Kebebasan telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg bebas kepada alam dunia, sejarah, dan masyarakat sepenuhnya bergantung. Tidak hanya itu, jiwa itu terus menerus melakukan campur tangan pada dan bertindak atas rangkaian deterministis itu. Dua determinasi eksistensial:Â kebebasan dan pilihan.
Penyair jerman, Goethe, pernah berkata bahwa, orang yang tidak dapat belajar dari masa tigu ribu tahun lalu berarti dia tidak memanfaatkasn akalnya. Ungkapan ini tidak boleh dipahami secara parsial, namun harus dipahami secara komperhensif sebagai sebuah landasan (grund) pijakan membangun masa depan. Artinya, masa lalu selalu berguna untuk masa depan agar tidak terjatuh pada lubang kesalahan yang sama.
Proses mencari baik dianatara paling baik adalah terus menerus. Layakanya sebuah bulatan. Ia tak pernah berhenti pada satu titik. Barangkali itulah kenapa manusia diberi Otak dengan kecerdasannya. Agar terus mencari kebenaran-kebenaran baru. Akhirnya, hanya Tuhanlah yang mampu memberikan titik pada sebuah peradaban suatu saat nanti.
Ingat, Galileo pernah mati demi memegang prinsip terhadap pandangannya tentang matahari sebagai pusat tata surya. Ia menjadi tahanan rumah dan dikucilkan hingga kematiannya karena di anggap merusak iman masyarakat pada saat itu. Namun, pada akhirnya pandangannnya membuka mata ke sebuah peradaban yang benar. Begitulah seharusnya kita memaknai sebuah penciptaan peradaban, khususnya hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H