Mohon tunggu...
Gals Prata
Gals Prata Mohon Tunggu... Foto/Videografer - MANUSIAWI

I have experience in the fields of videography, photography, broadcasting, live streaming, journalism, and creative production, specifically as a videographer/photographer. I am constantly striving to improve my skills and knowledge in the field of videography and photography. I am also open to working with various parties to produce high-quality and beneficial videos and photos for companies and communities.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Ketika Aib Itu Ada

23 Oktober 2014   18:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:59 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Galang AP

Aku yang merasa harus membunuh si pengarang sepuh itu hingga mati dan sejarah aib orang-orang suci tidak terbukti.

Mirna tidak percaya bahwa pengarang ini telah menulis sejarah yang konyol, yang akan merusak kesucian, dan bahkan nanti akan merusak namanya sebagai pengarang. “Memangnya tidak cukup menulis aib-aib yang kau tulis di negara orang?” kata seorang editor muda.

“Mirna, kau harus tau, semua tulisan yang aku buat dengan berlatarkan negara asing, itu kurang puas bagiku”, seorang yang menyandang tiga nama nabi sekaligus, membalas percakapan tersebut.

Mirna seorang editor yang seksi, muda dan berbakat dalam bidangnya mengolah kata, kalimat demi kalimat, hingga pengarang yang kerap bekerja sama dengannya merasa nyaman dan senang dengan kerja profesionalnya. Tetapi dia sangat keras dalam menghadapi pengarang-pengarang yang akan mengajaknya bekerja sama.

Di balik pintu kaca tebal nan-transparan itu, terlihat dua orang sedang bercakap serius bahkan gerak tubuhnya sampai terasa lunglai. Ruang yang begitu bermakna bagi pengarang-pengarang itu memang sangat terasa seperti sedang memasuki ruang sauna.

“Eemmm.. Apa yang mereka bicarakan di ruangan itu?”, pemuda yang hijrah dari tepi tanjung ke kota, sambil merautkan wajah berfikir.

Lelaki itu memang sangat mencurigakan. Semenjak aku kenal di tanjung sampai akhirnya aku bisa bekerja di sini dan bertemu, selalu bertemu dia lagi. Seakan-akan dia ingin menguasai daerah tanjung yang menjadi tanah kelahiranku. Aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan, walaupun aku tahu pasti tulisan yang mereka bahas, tapi tulisan tentang apa yang dibahasnya.

Entah mereka merasa sedang diintai. Pengarang itu melihat ke arahku dan beranjak dari kursi yang dia duduki.

“Loh, kenapa dia keluar, sial! Apakah dia mencurigaiku?”, dengan raut wajah cemas, aku langsung berpura-pura sibuk.

Beranjaknya dia dari kursi dan keluar dari ruangan, dia langsung menghampiriku dan berjalan pelan-pelan, sambil menoleh ke editor muda itu.

Tanpa sungkan, dia menepuk pundak ku sampai membuatku kaget dan juga sedikit cemas. Aku langsung memutar kursiku sampai berhadapan ke lelaki yang menepuk pundakku.

“Hai Mad, gimana dengan kerjaan barumu di sini?” Tegur sipengarang kepadanya. Tanpa banyak basa-basi, aku menjawabnya pelan sambil berhati-hati dalam mengucapkan kata-kata. “Baik Pak, ya.. lancar dan enak kerja di sini”, sambil senyum dan menahan rasa takut, aku membalas tegurnya. “Bapak pasti sedang menyetor tulisan lagi yaa..?” Ahmad melontarkan pertanyaan kepada si pengarang. “Iya nih Mad, ya.. sebenarnya melanjutkan tulisan yang belum kunjung selesai”, jawab pengarang yang juga kenalan Ahmad pada waktu berjumpa di Tanjungkluwung itu.

“Memangnya bapak sedang melanjutkan tulisan tentang apa?”, sambil sok sibuk Ahmad mengotak-atik pekerjaannya sebagai pegawai di perusahaan penerbitan buku.

Lelaki yang menyandang tiga nama nabi itu, langsung merasa tercengang dan seakan mendapat wahyu yang di turunkan oleh pemuda bernama Ahmad si penghuni Tanjungkluwung.

“Kau memang pemuda yang sangat tajam dalam hal pendengaran dan penciuman.”

“Memangnya kau sedang mengendus apa Ahmad?, peng..hu..ni tanjungkluwung yang sekarang duduk di kursi bukan di tepi tanjung dan jauh dari ombak rakus itu, ya.. kau Ahmad”, pembicaraan pelan, tetapi menusuk telinga Ahmad untuk mendengarnya. Entah angin AC atau angin-angin nakal yang mengendap-endap dari sela-sela jendela terbuka yang membuatku menggigil.

“Tidak! Aku tidak mengendus apa-apa, aku hanya...”

“Hanya apa Ahmad?” Sambil merangkul lelaki penghuni Tanjungkluwung.

“Jawab.. jawab saja, tidak ada yang marah dan kau bebas dalam mengutarakannya.”

“Tidak pak, aku hanya ingin tahu saja apa yang bapak tulis”, sambil menatap si pengarang.

“Apa Bapak sedang menulis cerita pendek?”

“Mungkin saja. Mengapa tidak?”

“Iya pasti mungkin. Bapakkan pengarang.”

“Tapi kenapa Bapak tidak menulis sebuah novel?”

“Kau memang seorang pengendus yang jitu Ahmad.”

“Sampai-sampai kau hampir tepat dalam perkataanmu tadi...”

Sedang asik kedua laki-laki itu berbicara, seorang wanita cantik menghampirinya keluar dari ruangannya.

“Hai Mohamad Isa Daud”, tegur dari dekat pintu ruangannya.

“Ayo kita lanjutkan lagi, saya masih banyak kerjaan, tidak hanya mengurusimu saja”, sambil memasang wajah tidak enak, wanita itu masuk lagi keruangannya.

“Ia sebentar Mirna.” Membalas panggilan editor kesayangannya.

Asal kau tahu Mad. Semua cerita yang aku tulis dari tahun 1990an itu kurang memuaskan hatiku dalam menulis cerita-cerita pendek. Aku telah keliling empat benua. Aku pun telah berjumpa dengan tokoh-tokoh aneh di luar sana. Tetapi, kenapa rasa dalam aku menulis belum juga puas. “Mungkin, bapak masih ingin keliling luar negeri?” “Bukan itu yang saya inginkan Ahmad.”

Memasang raut wajah, seakan menahan lelah dan memendam keinginan yang (mungkin) memuaskan batin sipengarang. Ahmad yang duduk di depan hadapannya merasakan ketegangan yang di transfer melalui udara, mulai menggerogoti jiwa dan pikirannya sehingga ketegangan memerkosa tubuhnya.

“Kau masih ingat dengan kisah-kisah Tanjung itu?” “Tanjung yang menjadi tanah kelahiranmu, yang menyimpan banyak sekali cerita-cerita kelam.” “Apakah kau ingat Ahmad?.”

Tanpa berfikir panjang dan ingatanku tentang hal-hal di Tanjungkluwung merasa memberontak keluar dari otakku. “Kenapa bapak membicarakan hal yang terjadi di Tanjung sana?” “Sampai kapan pun, Tanjung itu akan menjadi tempat yang tak akan aku lupakan.”

Mungkin Ahmad masih merasa bingung dalam pembicaraan pendek sipengarang itu. Ahmad merasa curiga. Hal-hal tentang Tanjungkluwung diungkitnya. Sebenarnya ada apa?

“Mad, aku dan Mirna sedang membicarakan tulisanku yang tak kunjung selesai”

“Sudah hampir tiga tahun aku bolak-balik Semarang-Tanjung, hanya untuk mencatat kehidupan yang terjadi di daerah penuh bakau dan bangau.”

“Entah wahyu apa yang telah menimpa diriku, sehingga semua indraku bekerja untuk merekam dan menulis kisah tentang Tanjungkluwung.”

“Ahh..sudahlah, aku tidak harus bercerita panjang lebar. Nanti kau tunggu saja cerita novel pendekku yang akan terbit.” “Biar semua orang tahu, bahwa di Tanjung sana banyak hal-hal yang ajaib nan-goib.” Dengan wajah memerah dan merasa telah ditunggu mirna di ruanganya. Pengarang dengan tiga nama nabi itu meninggalkan Ahmad yang telah menjadi wadah obrolan tentang tulisannya.

Ahmad merasa bingung dan akan terus mencari tahu. Sebenarnya cerita apa yang dia tulis untuk novel pendeknya itu. aku takut cerita yang tidak-tidak untuk menjadi bahan tulisannya itu. Apa, kejadian-kejadian miring tentang aib yang dia tulis.

Dengan mengeluarkan sedikit suara keras, Ahmad melontarkan kalimat untuk pengarang yang sedang menuju ruangan editor cantik itu.

“Pak, akan saya tunggu cerita itu sampai tuntas dan mungkin waktu sampai cerita itu terbit.”

Hanya lambaiyan tangan kanan, pengarang itu membalas perkataan Ahmad.

Aku harus menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dan tak disangka, daerah yang menjadi wadah darahku hingga aku bisa lahir di dunia ini, ada yang mengangkat ke dalam tulisan dan mungkin akan diterbitkan.

Kalau sampai dia menulis hal yang tidak-tidak tentang Tanjung itu, aku tidak akan segan menghujam dengan tindakan tidak enak. Malah bahkan, kalau sampai terjadi apa-apa tentang pengangkatan cerita di Tanjung dan terjadi masalah. Aku bahkan tidak akan segan untuk melenyapkan si pengarang sok bernama nabi itu. Agar cerita-cerita kelam tentang Tanjung itu tidak dapat orang ketahui.

Dengan hati yang masih bertanya-tanya tentang obrolan tadi. Ahmad langsung meminum air mineral yang berada digelas dekatnya dan sambil membenahi raut wajah, Ahmad melanjutkan pekerjaannya yang penuh dengan batasan waktu.

Suasana yang merasa panas, seakan memudar menjadi dingin dan angin ac kembali berfungsi dan sejuk kembali.

Kerjaan lagi.

Mikir lagi.

Tetapi, jangan sampai kau mati!

Semarang-duaribuempatbelas

__________

*Cerita di atas sebuah dekontruksi dari Bab Sejara Aib dalam novel pendek Surga Sungsang karya Triyanto Triwikromo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun