Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Badai Janji dalam Secangkir Kopi Koalisi

11 Juli 2019   16:44 Diperbarui: 11 Juli 2019   16:49 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari-hari ini media riuh dengan berita soal bagi-bagi kursi. Sebuah hal yang dianggap lumrah, setelah sekian tenaga dan keringat tercucur untuk memenangkan Pak Jokowi dan Pak Maruf. Lantas timbul pertanyaan, untuk apakah sebenarnya deretan kursi menteri itu diperebutkan?

Kalau sudah begini, semua orang yang terlibat mendukung Pak Jokowi pasti mengklaim bahwa dirinya paling berkeringat. Seolah keringat itu akan berbanding lurus dengan nilai atau jumlah kursi yang diperoleh. Bicara soal keringat dan kursi, jadi ingat peristiwa 26 Oktober 2014. Barangkali publik lupa, tulisan ini mengajak kita untuk Jasmerah alias jangan melupakan sejarah.

26 Oktober 2914 pukul 17.00. Tiba-tiba muncul sosok Pak Jokowi. Dia mengantarkan tamunya waktu itu. Nama tamunya adalah Ara, atau lengkapnya Maruar Sirait. Pak Jokowi beberapa menit diam sambil celingukan. Ia nampaknya mencari awak media yang tersisa. Kemudian, dipanggilah beberapa awak yang nampak duduk-duduk santai di bawah rindangnya pohon istana. Pak Jokowi kemudian bilang begini;

"Ara kawan baik saya. Dia akan tetap membantu saya di pemerintahan,"

Sang tamu bernama Ara itu hanya tersenyum. Ia waktu itu menggunakan baju putih, khas dresscode calon menteri.

Esok harinya, Ara bertandang ke kediaman Ibu Mega. Konon media mengatakan bahwa ia sedang meminta restu utnuk menjadi menteri. Sang empunya rumah, dikabarkan berkenan menemuinya. Tapi harapan lagi-lagi bertepuk sebelah tangan. Meskin Pak Jokowi melalukan buying time, tetap saja sang sahabat yang menemaninya sejak maju di Pilgub DKI itu ditolak oleh Bu Mega. Bu Mega menggunakan vetonya untuk mencoret nama Ara. Mau apalagi, Pak Jokowi tak bisa menolak.

Penggalan kisah ini dituturkan oleh sahabat Burhanudin Muhtadi, seorang konsultan politik kenamaan negeri ini. Ia jebolan Lembaga Survei Indonesia dan kini menjadi direktur di sebuah lembaga yang dirintisnya. Menurutnya, Pak Jokowi sebenarnya sudah melawan veto itu. Setidaknya dengan penyebutan bahwa Ara ini sohibnya. Wong Jawa anggone semu, sinamun samudana, sesadone ing adu manis. Manusia Jawa cenderung terselubung, Pak Jokowi lebih dari sekedar melawan dalam diam.

Kisah soal Ara ini barangkali adalah bagian terkecil dari lika-liku kursi menteri dan perebutannya. Tetapi dari sepenggal ini kita bisa tahu, Bahwa pak Jokowi bukan veto player. Ia tidak memiliki saham yang signifikan dalam tubuh partainya sendiri, yakni PDIP. Permasalahan muncul kemudian. Rekrutmen pejabat via partai juga tak bisa memberi garansi meristokrasi. Masalahnya bukan terletak pada kualitas dan jumlah kader yang mumpuni. Tetapi lebih dari itu, sistem meritrokasi harus berbenturan dengan tembok patronase yang tangguh.

Permasalahan soal kursi dan bagi-bagi jabatan belum berhenti disini saja. Persoalan wow effect juga muncul paska pengumuman nama-nama kabinet. Keinginan publik yang mengidam-idamkan janji koalisi tanpa bagi-bagi kursi musnah sudah. Nyatanya kabinet diisi oleh orang itu-itu lagi. Apalagi 12 dari 16 menteri dari partai-partai pendukung, mengisi portofolio kementerian yang tidak pas dengan kompetensi dan pengalamannya,

Permasalahan soal waktu juga susah dihilangkan dari ingatan publik. Dulu janjinya Pak Jokowi, kabinet akan diumumkan dua hari setelah pelantikan. Nyatanya, janji tinggal janji. Penundaan sekian hari sedikit mencoreng kredibilitas kabinet Pak Jokowi. Protokoler istana sepertinya memelukan manajemen krisis. Publik disuguhkan dengan drama dan kekacauan informasi terkait tarik menarik distribusi kekuasaan itu. Kabunet ramping dan tanpa syarat terbukti sekedar retorika daripada sebuah kenyataan.

Di tahun 2019, Pak Jokowi harus menegaskan harga dirinya. Desain konstitusi kita memberikan surplus kekuasaan pada tangan  Presiden. Janji Pak Jokowi soal kabinetnya bersih dari jabatan ganda masih terngiang di telinga publik. Di kabinet yang sekarang, ada beberapa nama yang masih rangkap jabatan. Seperti Pak Airlangga, yang menjadi menteri sekaligus menjadi Ketua Umum Partai pemenang kedua pada Pemilu 2019. Kemudian ada lagi nama Ibu Puan. Duh, soal Ibu Puan jadi ingat sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun