Mohon tunggu...
Donny Renaldy
Donny Renaldy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa dengan minat lebih pada pemerintahan dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi RUU Mahkamah Konstitusi: Alat Politik yang Mengancam Kemandirian Hakim Konstitusi

21 Mei 2024   08:08 Diperbarui: 21 Mei 2024   08:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru telah menimbulkan kontroversi dan kritikan dari berbagai kalangan. Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinet serta pimpinan DPR, termasuk Puan Maharani, mengkritik revisi UU MK sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan hakim konstitusi dengan tujuan politik. 

Feri Amsari, seorang pakar HTN dari Universitas Andalas, mengatakan bahwa revisi UU MK selalu memuat persoalan, dengan substansi yang menjadi alasan utama perubahan bukan membenahi lembaga pengadilan atau penguatan kelembagaan MK tapi kepentingan politik. Feri juga mencurigai bahwa revisi tersebut hanyalah alat sandera untuk kepentingan politik, dengan aturan mengenai masa jabatan hakim yang diatur dalam draf revisi UU MK tersebut yang menurutnya tidak logis dan mencurigai. 

Perubahan yang dilakukan dalam revisi UU MK, seperti mengubah masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, syarat usia hakim konstitusi, dan masa pensiun, telah dikritik karena tidak memperkuat MK secara substansial dan lebih seperti upaya untuk memenuhi kepentingan politik. Selain itu, mekanisme evaluasi atau penarikan hakim konstitusi (recall) melalui konfirmasi kepada lembaga pengusul juga telah dikritik karena dapat digunakan untuk mengabaikan ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan 

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan UU MK telah beberapa kali dilakukan. Tercatat perubahan UU No.24 Tahun 2003 tentang MK menjadi UU No.8 Tahun 2011 mengubah beberapa ketentuan seperti masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK selama 3 tahun diubah menjadi 2 (dua) tahun 6 bulan. Perubahan UU MK ketiga sebagaimana UU 7/2020 mengubah masa jabatan itu menjadi 5 tahun. Syarat usia hakim konstitusi juga berubah dari 40, 47, dan terakhir 55 tahun. Masa pensiun yang berubah dari 67 menjadi 70 tahun. 

Namun, kritik terhadap revisi UU MK terus berlanjut, dengan beberapa pakar dan ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara menolak perubahan tersebut dan menganggapnya sebagai upaya untuk mempengaruhi keputusan hakim konstitusi dengan tujuan politik. Mereka berpendapat bahwa revisi UU MK tidak hanya mempengaruhi masa jabatan hakim konstitusi, tetapi juga dapat mempengaruhi independensi mereka dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, revisi UU MK haruslah dilakukan dengan hati-hati dan transparan, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, serta kemandirian dan independensi lembaga Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, jika revisi tersebut digunakan sebagai alat untuk mengendalikan atau menyandera hakim konstitusi demi kepentingan politik tertentu, maka hal tersebut akan merusak integritas dan otonomi lembaga tersebut serta melemahkan fondasi demokrasi sebuah negara.

Penulis: Galang cakra buana 

STB: 4913 

Prodi: Manajemen Pemasyarakatan B

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun