Mohon tunggu...
Muhammad Gaizka Kevala Kevala
Muhammad Gaizka Kevala Kevala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya adalah individu yang kreatif dan ekspresif yang menemukan kegembiraan dan kepuasan dalam menulis. Saya memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap kata-kata, bahasa, dan cerita. Menulis bagi Anda adalah cara untuk menyampaikan pikiran, ide, dan perasaan Anda dengan cara yang unik dan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pendidikan Inklusif sebagai Alat Pemersatu Bangsa

1 Februari 2024   13:20 Diperbarui: 1 Februari 2024   13:21 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumhttps://kathmandupost.com/opinion/2017/02/03/inclusive-educationber gambar

Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Salah satu tokoh paling  berpengaruh dalam perjalanan pendidikan tanah air adalah seorang pahlawan  nasional yang juga merupakan Bapak Pendidikan Indonesia. Beliau adalah Ki  Hadjar Dewantara.

Terkenal sebagai pelopor Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara  tidak hanya membawa konsep pendidikan modern ke Indonesia, tetapi juga  mendorong semangat kesetaraan dan inklusivitas. Bagi Ki Hadjar Dewantara,  pendidikan bukan hanya alat untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai  alat pemersatu bangsa yang membangun kesatuan di tengah keberagaman.

Pada awal abad ke-20, Indonesia masih dalam suasana penjajahan. Sistem  pendidikan yang ada cenderung mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan pada masa penjajahan Belanda pada awalnya hanya digunakan untuk  memenuhi kebutuhan bangsa Belanda. Pada masa itu, sistem pendidikan didesain untuk memenuhi kepentingan kolonial Belanda dan secara umum tidak memberikan akses yang adil kepada semua golongan masyarakat di  Indonesia.

Misalnya pengajaran Bahasa Belanda yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda sebagai alat kolonisasi. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengajaran dalam bahasa Belanda bertujuan untuk menciptakan kelompok yang terbatas yang bisa mengakses pengetahuan dan keahlian, sekaligus menjauhkan masyarakat pribumi dari kekuatan pendidikan formal. 

Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan digunakan sebagai alat penjajah  untuk mencetak tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang sangat  diperlukan untuk perusahaan-perusahaan Belanda. Sistem pendidikan zaman  kolonial Belanda merupakan sistem yang rumit karena penjenisannya cukup  banyak sebagai realisasi dari diskriminasi sistem pendidikannya (Heru, 2014). Tujuan dan kebijakan politik pendidikan yang dibuat dan diterapkan oleh  Belanda semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.

Ki  Hadjar Dewantara melihat bahwa pendidikan yang berbasis pada model tersebut tidak hanya memiskinkan budaya lokal tetapi juga mengabaikan potensi setiap anak bangsa, tanpa memandang latar belakang atau status sosial.  Mengusung semangat ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut  wuri handayani, Ki Hadjar Dewantara menjadikan kesetaraan sebagai landasan  utama pendidikan.

Filosofinya mencerminkan pentingnya memperlakukan setiap individu dengan adil dan memberikan akses yang sama terhadap  pendidikan. Hal ini, tentu saja membuka jalan menuju inklusivitas karena untuk mencapai kesetaraan, setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, harus diberikan tempat di dunia pendidikan.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai alat pemersatu  bangsa menjadi semakin relevan dalam konteks inklusivitas. Beliau meyakini  bahwa pendidikan harus menjadi pembentuk karakter dan jiwa bangsa.  Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang  membentuk manusia yang memiliki rasa persatuan, menghargai perbedaan, dan  mampu hidup berdampingan dalam harmoni. 

Dalam upaya mencapai inklusivitas, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kita  untuk melihat setiap siswa sebagai individu yang unik dengan potensi dan  kebutuhan masing-masing. Prinsip holistik Ki Hadjar Dewantara, yang  mencakup aspek akademis, sosial, emosional, dan spiritual, memberikan dasar  untuk pendekatan inklusif yang tidak hanya fokus pada kecerdasan intelektual  tetapi juga pada perkembangan menyeluruh siswa.

Salah satu nilai utama yang dapat kita petik dari filosofi Ki Hadjar Dewantara  adalah keterbukaan dan penerimaan terhadap perbedaan. Dalam konteks  inklusif, penerimaan terhadap keberagaman kemampuan dan kondisi siswa  menjadi kunci. Pendidikan inklusif memerlukan lingkungan yang mampu  mengakomodasi dan merangkul semua siswa, tanpa memandang latar belakang,  kondisi fisik, atau kemampuan intelektual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun