Komitmen pemerintah untuk mewujudkannya melalui kebijakan yang berpihak pada masyarakat tanpa mengingkari hak asasi manusia menjadi keniscayaan.
Sudah lewat sebulan, para anggota parlemen dan pasangan Presiden-Wakil Presiden dilantik pasca dinyatakan menang pada Pemilihan Umum 2019.Â
Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 untuk menunjang kinerja pemerintahan juga telah resmi berjalan. Berbagai kebijakan yang sempat terhenti kini kembali dibahas, baik di tataran pemerintah maupun parlemen.
Aneka rancangan undang-undang yang pernah dipersoalkan karena dinilai merugikan masyarakat siap digulirkan lagi. Salah satunya Rancangan Undang-undang Pertanahan.Â
Perjalanan RUU Pertanahan akan dilanjutkan di periode 2019-2024 ini. Setelah sempat ditunda di tengah kontroversi sejumlah RUU problematik pada periode lalu, RUU Pertanahan akan kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020.
Komisi II DPR sudah menetapkan tiga RUU yang akan diusulkan masuk Prolegnas 2020. Selain RUU Pertanahan, ada juga revisi UU Partai Politik dan UU Penyelenggaran Pemilu.
RUU Pertanahan yang diwariskan DPR periode 2014-2019 memiliki sejumlah persoalan. Setidaknya, ada persoalan yang tak sesuai perspektif hak asasi manusia sehingga RUU Pertanahan dinilai tak layak untuk disahkan.Â
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan rancangan regulasi ini belum mengatur secara jelas mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif akibat dari kebijakan pemerintah masa lalu.Â
Kemudian, sejumlah pasal dalam rancangan undang-undang itu justru melanggengkan impunitas pada korporasi yang menguasai lahan secara melebihi luasan haknya dibanding menjawab hak dan kebutuhan masyarakat akan tanah, serta justru melanggengkan konflik agraria.
Selanjutnya berkaitan dengan masyarakat adat yang kerap terdampak dari konflik agraria, ada pembiasaan dan degradasi terhadap konsep pengaturan dan pengakuan masyarakat adat.Â
Proteksi hak kepemilikan hanya dilakukan sebatas yang memiliki sertifikat. Padahal secara faktual, tanah rakyat yang juga termasuk masyarakat adat banyak yang tidak memiliki sertifikat. Kesempatan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan kembali wilayah adatnya otomatis tertutup