Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yang Dilakukan Para Istri Jika Para Suami Tiada

23 April 2012   07:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 6137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terinspirasi untuk menulis ini, saat salah seorang teman kami asal Thailand baru saja mendapat musibah. Suaminya yang bekerja diperusahaan Gerüstbau (red: konstruksi bangunan, gedung rumah dan sebagainya dengan kayu atau metal) tiba-tiba saja meninggal diatas sebuah Bagger (red: alat penggaruk tanah). Serangan jantung rupanya, innalillahi …

Beberapa teman yang mengetahuinya segera melayat dan memberi amplop berisi barang 20 hingga ratusan euro. Selain tradisi, ini merupakan bentuk kesetiakawanan akan pengetahuan betapa mahalnya Beerdigung (red: penguburan di Jerman) itu. Kebiasaan ini hampir mirip di Indonesia bahkan Jerman, yang menyelipkan uang didalam sebuah Trauerkarte (red: kartu ucapan belasungkawa).

Usai pembakaran mayat, suami teman kami itu telah menjadi abu dan disimpan dalam sebuah kotak dari deretan lemari batu yang ada di Friedhof (red: makam umum). Kabarnya ini lebih murah dari kontrak tanah barang sekotak untuk tanam abu atau sepetak alias mengubur jazad di dalam tanah ukuran badan.

Sementara teman kami yang masih berusia 40-an itu memutuskan untuk menenangkan diri, tak berkeinginan kembali ke Thailand. Belum tahu apa yang harus ia lakukan seorang diri di negeri rantau, kecuali kembali ke pekerjaan semula di sebuah pabrik mur baut di kota Mü.

Setelah itu kami para wanitapun bertemu dan sempat berdiskusi apa yang harus dilakukan jika tiba-tiba saja suami meninggal dunia:

1.PH, 38 tahun – mungkin menikah lagi dengan pria pesanan suami

Menjadi janda dan menikah lagi adalah hal yang dimaklumi apalagi habis masa Iddah. Beberapa ada yang siri, yang lain pakai resmi.

Sedangkan teman saya PH ini mengatakan bahwa ia tidak gelisah suaminya meninggal jika Tuhan berkehendak. Lelaki yang dinikahinya adalah seorang manager IT perusahaan alat kedokteran ternama di kota T, 64 tahun. Suaminya itu telah berjanji pada seorang teman baiknya yang juga orang Jerman untuk membolehkan istrinya yang asal Thailand ini dinikahi secara resmi jika ia telah meninggal duluan.

Sebentar lagi suaminya pensiun, sementara ini, rencana yang telah dirancang adalah keduanya tinggal di dua negara (Thailand dan Jerman). Wanita yang tak dikaruniai keturunan itu merasa hidupnya lebih mudah dan murah dengan gaji pensiun suami dan pekerjaan baru di Bangkok nanti. Let’s see what’s gonna be happened.

Warisan‘ ini nyata dan tidak sekali saja saya dengar. Di tanah air, saya kenal baik dengan seseorang yang menikahi istri sahabatnya setelah melakukan perjanjian di masa dying. Faedah dari tak mengingkari janji ini ternyata banyak, selain sang sahabat menjalankan amanat almarhum, penyelamatan keluarga sahabat telah dijalani dan menolong diri sendiri agar hidup bahagia ASAP. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

2.HH, 65 tahun – mencari Lebenspartner seatap

Untuk menikah lagi dengan lelaki lain adalah sebuah resiko yang tabu untuknya. Perempuan asli Bundesrepublik itu amat takut mendengar gosip teman-teman janda yang mengatakan bahwa jika ia menikah lagi, Rente atau uang pensiun dari suami tidak akan didapatkannya (?).

Oleh sebab itulah Witwe (red: widow) ini lebih memilih berpacaran dengan Lebenspartner (red: teman hidup atas dasar suka sama suka dan tanpa kertas). Kadang mereka tinggal berdua di rumah peninggalan almarhum suami, sesekali di akhir pekan di kota lain dimana sang kekasih tinggal.

Sementara itu anak-anak yang sudah mentas tinggal di kota lain dan hanya datang di hari libur. Katanya, tak ada masalah dengan anak-anak atas tindakan yang diambil pasca kematian sang kepala keluarga. Selain pilihan itu menghibur si mama, kesibukan mereka tak bisa mengisi kesepian yang ada, so, harap maklum.

3.PS, 28 tahun – meneruskan bisnis suami jika mampu

Wanita asal Thailand ini telah 6 tahun berada di Jerman. Selama 2 tahun terakhir ini ia terlibat bisnis di perusahaan tempat suaminya, khususnya bagian kantor.

PS tak gelisah jika sang pria yang berusia 56 tahun itu akan meninggal suatu hari nanti. Riwayat orang tua suami yang keduanya meninggal diusia 50an tahun karena kanker itu menjadi momok bagi keduanya bahwa bisa jadi si lelaki memiliki nasib yang sama.

Dari perbincangan saya dengan wanita bertubuh seksi itu, tak ada rencana pulang kampung untuk selamanya jika suatu hari umur suami pendek. Putra-putra mereka sudah terbiasa dengan kondisi Jerman, ia tak ingin membuat anak-anak mengalami shock culture kalau pindah ke Thailand.

Sebuah perusahaan yang dibeli suami adalah milik almarhum mertua. Separoh saham yang diwariskan pada saudara perempuan suaminya telah terbeli, otomatis perusahaan itu 100% milik keluarga PS. Jadi kawan saya itu ingin ikut bertanggung jawab.

Pendidikan PS yang hanya SMA dan berpengalaman sebagai kasir mall di Bangkok ini, telah mendorongnya ikut kursus Jerman, Inggris dan komputer di Volkhochschule demi meningkatkan kemampuan. Meskipun begitu hatinya tak ciut jika kemampuan memanage perusahaan bahkan human resource adalah nol besar. Ia yakin bisa menemukan seseorang yang berkompeten dibidangnya. Tapi sekali lagi itu hanya sekedar angan-angan saja, toh suaminya yang gemar tenis dan sauna itu masih segar bugar.

4.KH, 37 tahun – menjual rumah dan mobil lalu kembali ke kampung halaman

Kawan yang manis ini adalah sosok perempuan Thailand yang sederhana yang tidak matre. Pengalamannya menjadi pekerja pabrik PT Unile... di Thailand itu menjadi sebuah batu loncatan untuk bekerja di sebuah perusahaan teknik di kota Mu, Jerman.

Suami yang menikahinya 8 tahun ini belum memberikan buah hati padahal suami telah berusia 57 tahun. Apa rahasia-Nya?

Segala upaya telah dijalani mulai dari suntikan ke indung telur, hormone therapy sampai check up regular lainnya di dokter kandungan. Sudah 4 tahun uang mengalir untuk semuanya, tapi belum ada tanda-tanda ia hamil.

Akhirnya ia keceplosan mengatakan pasrah dan jika diberi rejeki seorang anak tapi tiba-tiba suami meninggal, lebih baik ia menjual rumah model Bauernhof itu dan hidup di Thailand dikelilingi sanak saudara. Tambahnya lagi, negeri rantau ini bukan pilihan hatinya. Ia bertahan karena cintanya pada suami. Tambahnya, jika tak ada suami buat apa susah-susah merantau.

5.CE, 42 tahun – membuat surat warisan

Sosok wanita Asia ini baru 2 tahun berada di Jerman dan sedang hamil tua. Suatu hari ia mengalami pendarahan hebat dan sempat turun 4 kg. Perempuan ramah itu amat takut akan kematian, apalagi kehilangan jabang bayi yang digadang-gadang sebagai masa depan perusahaan suami (56 tahun).

Seingatnya keluarga suami yang masih hidup, misalnya ibu mertua yang berusia 86 tahun, tante yang berusia 88 tahun masih memiliki kondisi fit. Tapi pati pada suaminya, siapa tahu di kisaran yang lebih pendek?

Asumsinya lagi, sebagai anggota keluarga Asia yang memiliki riwayat umur tak panjang, ia harus juga mengantisipasi agar anak-anaknya memiliki masa depan yang pasti. Keluar dari RS, diundanglah notaris untuk membuat perjanjian jika salah satu dari mereka meninggal dan hanya bisa diubah jika ditandatangani keduanya, bukan hanya salah satu. Deal.

Selain itu kekhawatirannya muncul atas imaginasi jika anak-anaknya memiliki ibu dan saudara tiri, dan hidup tak semestinya (meski ia masih hidup).

Pertanyaan saya kepadanya saya balik, bagaimana jika justru dia dulu yang meninggal, apakah Vertrag (red: perjanjian) itu menguntungkan? Perempuan berambut gelombang itu mengangguk. Setidaknya untuk anak-anak tetap terpikirkan dengan baik, begitu ujarnya.

***

Sepertibiasa, usai bertemu dan bercakap-cakap dengan kawan-kawan saya itu saya selalu laporan insert pada suami, tapinya …

„Kamu mau kawin lagi juga, ya? Rumah dan mobil ambil, lalu sama suami baruuu “ Suami saya berlagak marah sembari berkacak pinggang.

„Hiyyy, ya ampuuun … mending pulang kampung saja, Pak. Sama ibu, enakkk … Papa barangkali yang mau nikah lagi sama bu Pirang kalau saya nggak ada? Harus tanya anak-anak dulu, lho … mau enggak anaknya. Xixixixi …“ Saya cubit pipi lelaki belahan jiwa ini.

„Tidak, Buuuuuuw …“ iapun merajuk. Kami tertawa tergelak dengan perbincangan iseng beralasan nan sembarangan ini. Jaaaan … jan!

„Ya Allah, ijinkanlah kami berdua sampai kaki nini“ Bisik saya lirih pada diri sendiri, sembari menengadah pada bulan dan bintang yang menggantung dilangit hitam. Kematian, saya paling takut atas Kehendak yang ini.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun