Dok: Kompasianer Semarang itu dari ki-ka adalah Gana, Wang dan Baskoro Hendrawan
Tukang komen. Itu kesan dari awal sampai akhir padanya. Saking sering komennya mengisi semua lapak kompasianer yang sempat saya baca, sampai saya sering gemes dan bilang ke dia,"Ayo, nulissss..." Barangkali saya yang kejam dengan pemaksaan menulis posting daripada hanya menulis komen.
Padahal motif saya adalah ingin tahu banyak apa yang terjadi di Semarang, kota yang sama-sama berarti bagi kami. Jadi biar Wang yang kabari di Kompasiana, gituuu.
Arghhh. Ia, terlahir sebagai komentator. Sampai didorong pantatnya tak mau juga maju. Wanggg ... nulis thoooo. Yang dicablek, cuma haha-hihi, seperti komennya di Kompasiana. Tulisan sama orangnya, samaaa ... lucu!
Betul, kompasianer Semarang yang saya maksud itu namanya Wang Eddy. Pria berkacamata yang lebih banyak komen omongan orang dengan terkekeh “haha-hihi“. Hiiiiih, tambah gemes, "Ayo ceritaaaa, Wang. Ditulis. Jangan ngumpulin duit sajaa.“
Pertemuan yang direncana
Masih ingat sekali pertemuan pertama kami di Gramedia Pandanaran. Itu waktu ada acara talkshow tentang buku kami "Bertahan di Ujung Pointe" tanggal 22 Agustus. Dia mendaftar di postingan undangan. Meskipun yang datang ada Bunda Selsa, Dinda Pertiwi aka Sri Subekti, Ida Moerthi, Listhia HR, Romdhonah, Baskoro Hendrawan... Profil Wang ini paling nyenengin memang. Duitnya banyakkkk! Hahaha.
Betapa tidak. Kalau jajan dia yang mbayari. Tipikal orang Jawa, yang kalau dibayari malah nggak enak dan memilih mbayari. Piye jal? Selama di Jerman saya dibiasakan untuk yarwe, bayar dhewe alias getrennt, sendiri-sendiri bayarnya.
Pertemuan kedua, waktu ke Brown Canyon tanggal 30 Agustus 2015, dibayari tiket lagi!
Pertemuan ketiga, saat saya undang dia di pameran foto Jerman yang saya gelar bersama UPGRIS, Koteka dan Fiksiana Community, 2 September 2015.