Tumpeng adalah sebuah nasi yang dibentuk kerucut. Biasanya nasi kuning yang saya pilih karena ini paling disukai orang Jerman yang bertandang di rumah saya (ketimbang nasi uduk).
Makanya, ini selalu menjadi menu andalan saat mengundang mereka. Selain mudah dan murah, ini tradisi keluarga saya kalau syukuran. Begitu pula saat saya nyelameti buku yang terbit September lalu, “Bertahan di ujungPointe“ pada hari Minggu, 23 November 2014. Bersyukur kepada Allah atas rahmat dan rejeki yang diberi selama ini, buku sudah jadi setelah empat tahun wara-wiri. Walahhhh. Thanks to mbak Nana Listyani, mbak Jetty Maika dan tentu mas Budi Maryono, atas lahirnya buku ini. Semangat dan pengorbanan kalian sungguh mantab.
Lalu, dua jam sebelum tamu datang, saya memasak tumpeng. Cara saya membuatnya amat mudah dan cepat dan memang, saya baru membuatnya ketika berada di Jerman. Di Indonesia biasa beli atau pesan. Haha.
Bahan-bahannya sudah siap:
500 gram beras (Jasmine Reis, wangi, dari Thailand)
1 kaleng santan 200 ml
Sedikit air
Sepercik garam
Sebatang daun serai
1 sendok bubuk kunyit
Caranya
1.Cuci beras, masukkan ke panci dengan sedikit air, letakkan di atas kompor dengan api sedang. Aduk-aduk.
2.Masukkan santan, serai yang sudah dimemarkan, garam, kunyit, aduk-aduk lagi.
3.Setelah agak matang, masukkan ke rice cooker, tunggu sampai matang.
4.Ambil cetakan kerucut dari aluminium.
5.Pakai sarung tangan agar tidak kepanasan waktu memegang kerucut yang diisi dengan nasi kuning panas.
6.Tekan-tekan agar kerucut padat dengan nasi.
7.Ambil tampah yang sudah diberi lembaran daun atau karena tidak ada di Jerman, saya pakai alufolie, letakkan kerucut di atasnya. Nasi tetap ditutup cetakan biar tidak dingin dan tidak ambrol.
8.Siap dihiasi sekelilingnya sesuai kreasi. Karena cepat-cepat, saya hanya kasih tomat sama ketimun Jerman saja. Kurang cantik sih. Sedangkan lauk pauk (mie goreng, ayam, oseng-oseng bebek, tahu bacem, lumpia, rendang) ada di pemanas biar tetap hangat saat disantap.
[caption id="attachment_377840" align="aligncenter" width="512" caption="Nasi kuning tanda syukur"][/caption]
[caption id="attachment_377841" align="aligncenter" width="512" caption="Lauk pauk dipanaskan ..."]

Di sebelahnya, sudah ada es Teller 76 ala mbak Gana (haha tak ada kelapa dan nangka, buah kaleng dan alpokat segar saja, jadi! Tinggal dicampur susu, santan, daun pandan, garam dan gula sudah).
Saya sambi bersih-bersih dan sedikit merapikan ruangan. Anak-anak yang gadis rajin membantu, nihhh. Duuuh, senangnya. That’s children are for.
Satu jam kemudian nasi di dalam rice cooker, matang. Saya diamkan. Setengah jam sebelum tamu datang, saya cetak.
Pukul 13.00 tepat. Bel pintu berbunyi. Satu persatu hadir. Iya, tepat waktu, no rubber time bukan jam karet. Dari 22 undangan, hanya 11 yang hadir. Sebagian besar ada acara entah naik gunung, jalan ke hutan, acara festival dan keluarga. Ya sudah, hari minggu kan hari keluarga yak?
Sebelas orang mulai memenuhi kursi di ruang tamu. Masakan sudah siap di dapur. Kompasianer Cici akhirnya membantu memasukkan ke alat pemanas di ruang makan. Thank youuu.
Sebelum makan, saya bercerita tentang hobi saya menulis meski sebagai ibu rumah tangga di Jerman biar tidak homesick, bagaimana pembuatan isi buku sampai 4 tahun dan segala sesuatu tentangnya. Bedah-bedah sedikit lah. Juga bagaimana empat orang dari 3 negara berdiskusi lewat maya untuk pembuatan sebuah buku. Editor di Jakarta, mbak Jetty kadang di Malaysia, kadang di Indonesia dan kadang di New York, mas Budi di Semarang serta saya di Jerman. Acrossed nations.
Seru. Tak terasa 30 menit berlalu. Giliran tamu yang sebagian besar adalah tetangga kanan-kiri itu bertanya-tanya tentang isi buku. Mereka berharap ada versi bahasa Inggris atau bahasa Jermannya. Saya mikir. Haha, naskah lain masih antri untuk disentuh. Entahlah.
Diskusi mengalir pada bagaimana mereka membesarkan anak-anaknya. Seperti mbak Jetty, tokoh dalam buku, yang membesarkan anak gadisnya dengan bakat yang ada, balet, kami, ibu-ibu ini juga berbagi tentang kesulitan membantu anak menemukan bakat dan menekuninya. Namanya anak, kadang 300% suka, lain waktu 0% dan seterusnya. Sebagai ibu harus kuat mendampingi agar anak sukses meraihnya. Kami pun sejenak diam, mendengarkan suara anak-anak yang sedang bermain di luar. Ah, waktunya makan lalu foto!
[caption id="attachment_377842" align="aligncenter" width="512" caption="Mejeng dulu ..."]

***
Dari tumpengan dan bedah buku ini, ada sebuah inspirasi yang diperoleh para tamu. Mereka juga ingin seperti saya, menemukan hobi yang disenangi, sebuah passion, untuk menyenangkan diri sendiri. Urusan menyenangkan anak-anak dan suami, pasti sudah lah yaaa. Giliran mengurusi diri sendiri dongggg. Seorang wanita tetap butuh sebuah pegangan untuk lepas dari rutinitas dan tak bosan menjalani hidup lho. Tetap sehat, bahagia dan semangat. Hey, itu perlu!
Nah, buntutnya, saya yakin, banyak Kompasianer yang sudah menemukan passion nya untuk selalu menulis. Selain menulis di Kompasiana, juga menulis buku-buku inspiratif dan bermanfaat. Betul? Selamat siang.(G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI