[caption id="attachment_383860" align="aligncenter" width="622" caption="Pakistan dari udara (dok.B69)"][/caption]
Senin, 15 Desember 2014
Senang menyambut suami datang ke rumah. Home sweet home, hunny! Kecupan lembut untuk kekasih hati. Sebelumnya, saya selalu berdoa agar ia diberi kesehatan dan keselamatan. Maklum, jika orang mendengar kata “Pakistan“ pasti horor saja image-nya bukan? Begitu pula dengan saya dan orang tua saya.
“Nek iso ora usah mangkat ...“ begitu pesan ibu saya agar suami kalau bisa, tidak berangkat saja. Tapi namanya tugas, harus dijalankan. Suami saya tetap berangkat.
Sejak single, suami saya sudah terbiasa di sana. Awal-awal keberangkatan ke negeri itu, semua muka tampangnya serem. I know him. Suami saya akan tetap pasang wajah manis dan ramah sembari menyapa, “Hallo, good morning, how are you?“ Dan setelah berpuluh-puluh kali ke sana, semua orang di bandara yang kecil dan orangnya itu-itu saja mengenalnya. Saya kira, kuncinya hanya satu, kalau niat datang baik pasti akan disambut baik. Ia juga banyak belajar dari saya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam. Bayangkan bagaimana wajah orang Pakistan ketika suami saya mengucapkan “Assalamu’alaikum ...“, “Alhamdulillah“ dan “Inshaallah“? Terkejut? Pasti! Lalu wajah-wajah orang Pakistan itu akan sumringah padanya. Berubah!
Makanya, kini, ketika melangkahkan kaki di bagian imigrasi, suami saya akan disambut hangat. Bukan paspornya dulu yang akan diterima si bapak petugas, justru mereka berjabat tangan dan ngobrol:
“You love Pakistan very much, huh? You’ve been here for 70 times already “ Tanya bapak petugas sembari membuka halaman visa. Stempel arrived di Pakistan banyak ditemukan di sana, sampai dihitung oleh sang bapak.
Atau keheranan lain yang terjadi, ketika seorang tamu hotel yang selalu berenang bareng suami mengatakan:
“I’m the best swimmer in Pakistan.“ Dadanyaditepuk, merekapun berlomba. Suami saya tersenyum lalu berenang seperti ikan di dalam segara. Si pria, baru dua kali PP sudah KO dan bertanya “How did you do that, Man?“ Ingin tahu apa rahasianya sejam berenang tanpa putus.
Kekesalan si orang Pakistan bertambah setelah ngobrol usai berenang, soal kehidupan.
“Hey, Man, I don’t believe you! I am sure you have a second wife here, that’s why you always come to Pakistan and never give up!“ Pakistan memang bukan tempat tujuan wisata, tidak untuk warga lokal bukan pula untuk orang asing seperti suami saya, bahkan untuk saya juga tidak. Pakistan hanya tempat pabrik-pabrik besar yang mempekerjakan ratusan karyawan dengan bea SDM murah, teramat murah. Pakistan juga dikenal dengan sarang Taliban, dekat Lahor atau daerah perbatasan sana.
Pernah suatu kali saya ngotot ikut. Si bos besar melarang dan mengalokasikan saya ke Dubai, di mana ada gudang pabrik mereka di sana. Padahal saya ingin tahu seperti apa sebenarnya kondisi kesehariaan di Pakistan. Mungkin mereka takut saya bawa ransel dan ucul, jalan-jalan di Pakistan sendirian pas suami di kantor. Pemeriksaan keamanan di sana sangat ketat. Militer di mana-mana.
Selasa, 16 Desember 2014
Saat sarapan, kami ngobrol tentang pengalamannya di Pakistan. Soal insomnia, gak bisa tidur. Bab dinginnya Pakistan kalau malam hari, padahal siang hari puanasss. Dan pernah ada anjing melolong lalu tiba-tiba diam setelah ada bunyi senapan. “DORRR“
Atau kritikannya pada menu di hotel. Ayam, ayam dan ayam lagi. Chicken masala, ada masalah? Tak heran kalau setiba di Jerman, ia tak bisa lihat daging ayam lagi. “Aduh, Buuuuk, kenapa isi kulkas banyak daging ayamnyaaaa?“Kulkas ditutup dan memilih makan roti buatan sendiri.
Begitu pula dengan pola dan cara kerja orang Pakistan. Sangat jauh dengan standar Jerman yang sudah melekat pada kepala suami saya. Seringkali ia tepok jidat sendiri. Sudah dikirim barang dari Jerman ASAP, sampai di Pakistan masuk gudang, tak bisa ketemu lagi. Menyublim! Kurang koordinasi. Belum lagi soal merasa jadi orang pintar dan penting ketika diberi training orang asing, lalu ingin naik gaji terus pada perusahaan. Perusahaan pun pusing.
Ceritanya tentang standar gaji di Pakistan juga membuat saya ikut prihatin. Kasihan. Standarnya masih 60€ untuk pekerja rendahan, manager 300€, tukang masak hotel paling tinggi (400€). Itu 30 hari full sebulan. Untuk meminta naik gaji, surat harus dilayangkan dalam bahasa Inggris (disertai alasannya). Pakistan memang sederhana, banyak potret kemiskinan terlihat di sana-sini. Untuk mendapatkan daging salmon saja, si bos besar harus beli di Dubai. Suami saya bersyukur bisa makan salmon tiap hari, mudah didapat dan murahharganya di Jerman. Beli di ALDI.
Belum lagi soal child labour. Kalau kecil-kecil tidak kerja, keluarganya makan apa? Mengandalkan bapak kerja, tidak seberapa!
Hanya satu yang suami saya suka:
“Buuu, aku aman di Pakistan. Tidak ada perempuan. Semua laki-laki.“ Kepalanya manggut-manggut, tangannya sibuk menunjukkan foto-foto di pabrik dan jalanan raya Pakistan.
“Lah iya, kalau di Indonesia, ditinggal ke toilet 5 menit, sudah ada 5 perempuan nyamperin.“ Saya ledek suami saya. Pahit memang, tapi kenyataannya begitu.
Tak berapa lama, sebuah pesan dari bos besar di Whatsapp suami:
“Are you OK?“
“Yes, of course!“ Suami saya cepat membalas, ketak-ketik.
“Today is a massacre by Taliban. 145 people dead, mostly children. Many injured. Thanks God, you’re already in Germany. Regards to your family.“ Tempat kejadian, di sebuah sekolah milik militer Pakistan di kota Peshawar, 300 km dari tempat suami saya berada saat di Pakistan. Si bosbersyukur bahwa kerusuhan itu terjadi setelah suami saya kembali ke kampung halaman. Aman.
Setelah kejadian di Cafe Lindt, Australia, kisah masaka ala Taliban di Pakistan ini memang sungguh memprihatinkan. Teror dimulai pagi-pagi dengan peledakan sebuah mobil korban yang ada di kisaran umur 12- 16 tahun itu menjadi korban kebiadaban kelompok yang banyak dikutuk dunia karena tindakannya yang mengancam keselamatan.
Bahkan Malala Yousafzai, penerima Nobel dari Pakistan mengatakan "heartbroken by this (latest) senseless and cold blooded act of terror in Peshawar,"gadis yang pernah tertembak Taliban itu ikut mengutuk teror yang baru saja terjadi di sekolah Peshawar.
Tak salah kalau militer Pakistan marah dan balik melancarkan serangan kepada Taliban. Dengan meminta bantuan negara tetangga dan entah apa lagi.
Kemarin, Rabu, 17 Desember 2014 adalah pemakaman para korban di Peshwara. Semoga para korban tenang di sisi-Nya dan keluarga korban diberikan kekuatan batin untuk menerima kenyataan yang sulit dielakkan.
Sebentar lagi tahun baru tiba. Berharap teror di bumi, berhenti.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H