Akhirnya, setelah mendapatkan buku dari kompasianer Tjiptadinata 26 September 2013, saya berhasil menuntaskan sampai halaman terakhir, pada bulan Oktober 2014. Iya, sepulang dari Indonesia, saya borong banyak buku, memenuhi koper-koper kami. Banyak yang hadiah dari lomba, ada yang beli. Bacanya? Uantriiiiii. Biasanya saat bosan menunggu anak-anak kursus atau training di klub, banyak waktu paling tidak sejam. Membunuh jemu.
Untuk itulah, saya ingin berbagi resensi tentangnya.
Judul Buku : Enlightenment Mencapai Pencerahan Diri
Penulis : Tjiptadinata Effendi
Penerbit : Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia - Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Jumlah hal.: 186 hlm.
Jumlah bab : 19 bab
Ukuran buku : 20,5 × 28 cm
Tentang Penulis:
Siapa yang tak kenal kompasianer Tjiptadinata Effendi?Kompasianer yang bertempat tinggal di Australia dan sering pulang ke tanah air ini, kelahiran Padang, Sumatra Barat pada tanggal 21 Mei 1943. Istrinya, yang juga kompasianer, ibu Roselina atau bu Lina ini juga senang menulis sepertinya. Mereka dikarunia 2 orang putra dan satu putri. Katanya yang ragil seperti saya, kalau teriak panjang seperti saat mau makan; “Paaaaaaaaak, mau makaaaaan.“ Makanya beliau sering mengirim soto Padang atau udang balado dari Australia, meski hanya di kolom komentar. Saya orang Jawa suka juga makan makanan Padang lho, lantaran waktu siaran dulu, sering banyak yang antar-antar. Enak tenaaan.
Heee ... Saya jadi malu waktu pernah berpesan,“Bapak tulisannya bagus-bagus di Kompasiana, banyak dan berbobot. Semoga dikumpulin dan jadi buku. Pesan saya seperti menggarami lautan karena beliau sudah menerbitkan 11 buku, belum yang antologi, keroyokan. Haha. Kebalikan dengan saya ... antologinya yang banyak, singlenya yang masih sedikit. Kejaaaar ....
Saya berdoa, bapak betah di Kompasiana, jangan pindah meski kadang suasana di sini gerah. Menyejukkan para kompasianer, seperti biasa.
Ulasan Buku
Membaca judulnya saja, saya sudah bisa bilang pada diri sendiri, ilmu saya belum sampai ke sana. Enlightenmen, pencerahan diri. Umur saya belum sampai 40, pak Tjipta sudah sampai pada klub 70s, sepantaran bapak saya. Apa usia menentukan kematangan seseorang? Saya kira tidak karena banyak anak muda yang semeleh alias tahu bagaimana untuk menjadi bijak, wise. Namun kebanyakan orang seperti saya ini, kurang bisa mencerahkan diri, apalagi mencerahi orang lain. Haha, kena lagi paaaak.
Padahal menurut pak Effendi, “Tidak dibutuhkan kemampuan intelektual yang tinggi untuk meraih pencerahan.“ (Bab 2, halaman 11).
Banyak kebijakan dalam pengalaman hidup pak Tjipta yang digambarkan di sana. Sangat sederhana namun mampu memberikan pencerahan dalam hidupnya dan barangkali saya dan pembaca lainnya. Yakni ketika keinginan atau konsep pak Tjip untuk hidup di luar kota yang jauh dari kebisingan. Terbeli sudah 40 hektar tanah. Apakah ini memuaskan? Ternyata tidak karena pak Tjip berubah haluan, pindah ke Jakarta, tinggal di apartemen yang gak bisa tanam pohon. Bagaimana perasaan pak Tjip? Tetap happy. Dari sini, pak Tjip mengajarkan kita untuk belajar bersyukur. Apa yang dipunyai, ya sudah bagus, diterima seutuhnya (bab I halaman 3-5).
Ada lagi sesuatu yang betul-betul mengingatkan saya bahwa kalau sesuatu yang bagi kita berharga, belum tentu berharga untuk orang lain. Ini ditulis pak Tjip di bab III halaman 15. Menghargai orang lain adalah salah satu karakter yang dimiliki pak Tjip. Dalam setiap bukunya, selalu tercantum nama-nama yang dikenalnya. Meskipun feed back dari mereka nanti seperti angin lalu dan hanya beberapa saja yang berterima kasih namanya disebut. Sebuah apreasiasi yang bagus. Apakah setiap orang mampu melakukannya? Kalau lupa, semua orang punya ....
Sebuah kalimat yang mak nyoss ada di halaman 29 bab V “Don’t chase the happiness but creat it and find it.“ Jangan mencari kebahagiaan tetapi menciptakan dan menemukannya di dalam diri kita sendiri. Kalau saya ditanya apa bahagia tinggal di luar negeri, saya jawab tidak 100%. Ada suka dukanya, biar betah, banyak berkumpul dengan masyarakat setempat dan mengadakan kegiatan yang membuat sibuk, sibuk dan sibuk. Enjoy saja. Tidak melulu pengen pulang kampung kan? Menemukan kebahagiaan di manapun berada. Mari-mari ....
Demi mencari jati diri yang sebenarnya, silakan menyimak bab XI halaman 59. Saya seperti dihantam godam. Haha. Dahulu, saya bercita-cita ingin jadi duta besar karena asyik bisa berbahasa asing, berhubungan dengan bangsa asing dan bisa ke luar negeri terus. Sekarang jadi ibu (rumah tangga) dengan keluarga besar. Saya tak tahu bahwa suatu hari saya memiliki nasib seperti sekarang ini. Saya menikmatinya, saya mendapat hikmah dan manfaat besar. Pesan pak Tjip, “be yourself.“
Masih banyak isi buku, dengan tulisan yang berbobot. Misalnya dengan istilah SMS; Senang Melihat (orang) Senang atau Susah Melihat (orang) Susah). Pada kenyataannya, banyak orang senang melihat orang lain susah atau susah melihat orang lain senang. Kalau ada orang yang mendapat rejeki sedikit lebih saja, sudah membeberkan keburukan dari orang tersebut yang tidak relevan dengan rejeki yang didapat. Atau mencari kesalahan yang hanya setebal debu. Namanya manusia pasti tidak ada yang sempurna, ya. Saling memberi, saling menerima. Kalau hanya memberi saja atau hanya menerima saja, sepertinya kurang pas. Keseimbangan dalam hidup yang bisa dimiliki setiap orang jika mau.
Kelebihan
Sebagai pendiri dan suhu Waskita Reiki, pusat penyembuhan alami,pak Tjip merekomendasikan nama-nama berikut nomor yang bisa dihubungi untuk konsultasi. Promosi yang hebat.
Selain itu, buku ini disertai gambar menarik meskipun tidak berwarna. Itu sudah cukup menggambarkan kiprah pak Tjiptadinata dalam menyebarkan virus pencerahan diri. Bagi sebagian orang yang mengaku kepada saya, buku yang ada gambarnya, sungguh menarik untuk dibaca. Betul? Karena saya suka foto, saya jawab iya.
Pada halaman 177-186 bada tanggapan atas komentar, kritik dan saran dari pembaca setia pak Tjiptadinata. Sebuah ide yang menarik untuk dimasukkan dalam sebuah buku, mengetahui sejauh mana pikiran pembaca terhadap buku yang ditulisnya.
Buku milik pak Tjip lainnya juga dipamerkan di bagian akhir buku. Sama halnya dengan beberapa buku manajemen praktis terbitan penerbit yang sama, dan pantas direkomendasikan kepada para pembaca buku pencerahan diri pak Tjip.
Kekurangan
Saya belum menemukan kekurangan pada buku ini. Membacanya, seperti duduk di dekat pak Tjip yang menerangkannya. Bukan menggurui. Adem.
Barangkali hanya beberapa salah ketik seperti kata berkesinabungan pada halaman 13. Hal biasa yang sering terjadi pada saya kalau mengetik atau menulis dengan keyboard.
Kesimpulan
Menurut saya, buku ini memang “bertenaga dalam.“ Tidak mudah untuk mendapatkannya karena ini melalui proses hidup yang panjang, seiring bergulirnya waktu. Pencerahan diri tidak serta merta didapat begitu saja meski sebenarnya ini sudah ada di dalam diri setiap manusia. Sebabnya, mengungguli orang lain barangkali bisa dilakukan tapi sangat sulit memang untuk mengalahkan diri sendiri.
Buku ini layak dibaca oleh siapapun yang berniat untuk selalu berbuat baik dan mengamalkan kebaikan dalam hidup, terus menjadi baik, arif dan bijaksana.
Demikian, tunggu resensi buku yang sudah selesai saya baca dan ditulis kompasianer berikutnya. Siapa mereka? Rahasiaaa .... (G76)
Ps: Foto bukunya kok gak bisa dipasang yaaaa ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H