Pagi-pagi waktu mengantar anak ke sekolah, saya mendengarkan radio di dalam mobil. Topik bahasan Anneta Politi dan partnernya adalah soal “Me Time.“
Mereka membicarakan tentang suara masyarakat Jerman yang cenderung menuntut lebih banyak waktu “Feierabend“ atau “Me time“ di mana orang bisa malasan di sofa sambil nonton TV, melakukan hobi kesukaan dan lainnya. Dan saya sempat kaget waktu kedua penyiar menyebutkan bahwa Jerman adalah juara dunia soal menuntut hak “Me Time“ lebih banyak lagi, padahal dibandingkan dengan Jepang dan negara Eropa lainnya, Jerman sudah banyak mendapatkan kesempatan ini sesuai dengan ketetapan pemerintah dan perusahaan yang mempekerjakan mereka. Tarif per jamnya saja kalau tidak salah sudah naik 8,5-10€ per jam. Seminggu 40 jam kerja, 8 jam sehari. Sudah lumayan itung-itungannya. Belum lagi hak libur nasional, Sabtu-Minggu, cuti dan libur musim panas 3 minggu.
Yak. Beberapa hari yang lalu, untuk kesekian kalinya karyawan Lufthansa mogok kerja. Setidaknya 43 penerbangan dibatalkan. Bayangkan berapa ratus bahkan ribu orang penumpang yang kecewa dan acak adut jadwalnya bahkan kehilangan rejeki dalam bisnis? Berapa pula kerugian yang ditanggung oleh perusahaan penerbangan yang bersangkutan?
Entahlah. Ini bukan masalah yang mengagetkan karena jawatan kereta api DB Bahn juga selalu pusing dengan acara mogok-mogokan ini.
Lahhh acara mogok demi kenaikan gaji dan ditambah tuntutan “Me Time“ ini pasti tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kalau saya pikir, andai diberi umur panjang, “Me time“ itu akan datang sendiri di Jerman tanpa diundang. Keadaan ini bisa saya lihat dengan mata kepala, saat mengenal beberapa orang lansia yang punya anak tapi hubungannya tidak begitu baik atau berjauhan lokasinya (jarang atau tidak bisa bertemu), atau tidak punya anak sekali. Rasanya? Setiap hari sunyi, senyap, sendiri. Tidak ada yang mengganggu dan tidak ada yang diganggu. Ini juga bisa jadi “Me Time“ karena waktu hanya untuk diri sendiri. Saya rasa itu sudah cukup, masa sekarang dinikmati dengan kesibukan bersama keluarga apalagi yang anak-anaknya masih kecil dan butuh banyak perhatian. Ah, ya, pandangan orang bisa saja berbeda.
Bagi saya, “Me Time“ adalah saat saya menulis. Di situlah semua energi yang ada hanya untuk menulis. Tidak banyak memang karena mencuri waktu; saat anak-anak dan suami tidak ada, saat pekerjaan rumah tangga baru setengah kelar, ketika menunggu jemu menunggu ....
Waktu itulah, saya sendiri, tidak diganggu dan memang kepentingan itu hanya untuk diri saya sendiri. Horeeeee .... Tahu kan pekerjaan rumah tangga? Tak pernah ada habisnya dan bikin badan capek, pegal, linu, nyeri otot tapi tak pakai gatal-gatal. Meskipun menulis (buku sekalipun) belum tentu bisa dapat uang atau kaya, saya sudah merasa “This is for me, only for me.“ Menulis juga soal passion, kepuasan hati yang tak bisa diukur dengan mata uang sebuah negeri.
Bagaimana dengan “Me Time“ Kompasianer? Selamat pagi. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H