Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Saya Masih Warga Negara Indonesia, Belum Ganti Kewarganegaraan

26 Maret 2015   15:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:58 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427359263519216391

Pagi-pagi sekali, ada pesan WA dari Kompasianer Cici, “Bulik Gana terkenaaaal ....“ Walah, opo tho ya. Tambah kaget lagi dengan ekstra sisipan potongan berita dari brilio.net. Di sana tertulis; “Ganti kewarganegaraan tak hentikan Gana lestarikan budaya Indonesia.“

[caption id="attachment_405460" align="aligncenter" width="437" caption="Isu ganti kewarganegaraan saya (dok.Cici)"][/caption]

Saya cerna judul itu. Wow, ada bad news dan good news. Good news karena ada orang yang sangat memperhatikan saya secara detil, bahwa apa yang saya lakukan (berkenaan dengan budaya Indonesia) dihargai. Terima kasih sudah memberitakan tentang saya (weleeeeh kayak artis). Bagaimanapun, saya bukan satu-satunya orang Indonesia di luar negeri yang melakukannya, saya tidak sendirian. Namun setidaknya, ini jadi angin segar ketika mulai banyak bule ke Indonesia melestarikan budaya negeri rayuan pulau kelapa, bukan? Jangan sampai kalah sama bule kalau sama pakle, silakan.

Bad news-nya tentu saja saya tak enak hati tapi tak langsung marah lah yaow. Suami saya bilang, "Hati-hati, bu ... " Eh, sejak kapan saya ganti kewarganegaraan? Saya khawatir sekali kalau saya ini benar amnesia.

Setelah anak-anak ke sekolah, saya baca berita itu. Meluncur. Yahhh ... “sejak kepindahan ke Jerman tahun 2006,“ katanya. Waduuuuh, saya bisa dijewer KJRI Frankfurt kalau begini, ganti kewarganegaraan tak pakai acara klarifikasi. Acara bukan balang suruh bisa jadi balang tomat. Haha.

Baiklah. Saya pikir, saya menulis klarifikasinya di sini saja apalagi saya yakin berita itu bersumber dari tulisan terdahulu saya di Kompasiana. Kompasiana jadi rujukan, nih.Jadi, saya masih warga negara Indonesia dan belum ganti kewarganegaraan.

Memang sudah ada tawaran dari Rathaus Rietheim-Weilheim tahun 2007 dan dan Seitingen-Oberflacht pada tahun-tahun berikutnya, dan tentunya dorongan dari suami saya setiap tahun. Setiap tahun?! Coba, bayangkan, betapa provokasi itu sangat kuat. Tapi tetap saja, saya belum ganti kewarganegaraan. Selain belum mantap, saya ingin selalu pergi ke Indonesia. Barangkali kalau saya sudah tua tak kuat lagi ke Indonesia, who knows?

Ingat sekali pengalaman saya di bandara. Saya disapa seorang mantan mahasiswa yang tinggal di Nürnberg. Dia itu sudah ganti kewarganegaraan dengan alasan sudah mantap di Jerman. Pekerjaan dan kehidupan yang layak di negeri sosis ini sudah membuatnya nyaman. Ganti paspor mempermudah kehidupannya. Bagaimanapun, pulang ke tanah air ia lakukan setahun sekali. Namanya tanah tumpah darah, kangen pasti ada lah yaaaa .... Saya mengangguk tanda mengerti. Berganti kewarganegaraan jadi hak setiap warganenegara di dunia belahan manapun. Mangga ....

Atau ketika Kompasianer ingat kisahnya Anggun Cipta Sasmi yang dulu menikah dengan warga negara Perancis lalu ganti kewarganegaraan? Saya masih menganggap Anggun orang Indonesia, masih ada beberapa ciri khas keindonesiaan yang saya temukan padanya, kunjungan ke Indonesia dan keterlibatannya dengan aktivitas di tanah air juga masih terbilang bagus. Jadi, ganti kewarganegaraan bukan berarti ganti karakter atau merubah diri jadi seperti orang lain. Ini hanya formalitas, saya kira. Aslinya tuh di sini ....

Setelah ganti paspor atau kewarganegaraan lantas? Ada manfaat positif sebenarnya kalau saya ganti paspor merah hati Jerman; bisa keliling dunia sesukanya tanpa pusing seperti selama ini saya alami. Apalagi kami sekeluarga suka jalan-jalan. Dan masih banyak keuntungan lainnya.

Oh, ya. Ingat peristiwa saya ditahan imigrasi di Istambul tahun 2011? Atau ketika saya bersama seorang bos, gagal terbang ke Rumania pada hari pertama tahun 2013 dan baru bisa terbang sehari sebelumnya setelah silat lidah sengit antara maskapai Swiss dan petugas bandara (imigrasi) Zürich? Drama tanpa babak!

Betul. Begitu kenyataannya yang terjadi di lapangan. Paspor Indonesia. Meski belum dihargai seperti paspor negara tetangga dekat; Singapura atau Malaysia misalnya, apalagi dibanding Jerman ... jauh! Sampai hari ini masih saya gondheli. Garuda ada di sini (nunjuk dada karena di dinding rumah kami gak ada figura bergambar burung Garuda kayak jaman SD). Syukur-syukur kalau diplomasi pemerintah kita tambah ciamik sehingga setidaknya bisa sejajar dengan mereka. Suatu hari nanti, pasti ....

Ya, sudah, begitu saja klarifikasi hari ini. Intinya saya masih berpaspor hijau, belum ganti merah punya Bundesrepublik Deutschland. Kalau saya ganti, nanti saya kabari lagi. Dan akun ini asli bukan palsu, otentik dan masih terjamin. Nggosok dulu ya, sudah mau mbledhos gunungan cucian saya, tuh. Selamat pagi Jerman, selamat sore Indonesia. (G76)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun