Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Repotnya Cerai di Jerman

13 Maret 2014   23:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 1772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Senin, anak kami yang nomor dua ultah, kami hanya mengundang om dan tante dan dua keluarga Indonesia yang dekat rumah, makan tumpeng nasi kuning. Kumpul-kumpul anak akan diadakan hari Sabtu, mengundang teman sekelas. Saya diprotes suami dan anak-anak karena mengundang semuanya. Padahal maunya dipilih 8 anak saja, sesuai usianya. Tapi saya pikir, mau 8 mau 20 sama saja. Sama repot, sama asyik. Ada keinginan besar saya untuk mengajari dan mengajak anak-anak itu, berbuat sesuatu (sosialisasi, hasta karya, geocaching, perlombaan, menggambar). Saya memang mencintai dunia anak-anak. Dengan mereka, dunia serasa tersenyum ceria. Kalau sudah remaja atau dewasa barangkali beda. Mumpung masih bisa digiring ....

Dari undangan yang disebar 10 anak tidak bisa hadir. Tuh, kan? Yang penting diundang, kalau masalah tak datang itu urusan belakangan. Yang penting tak ada perasaan iri anak-anak imut itu, “Kok, gak diundang?“

Ya, seorang ibu menelpon anak kami. Katanya, anaknya tak bisa datang karena giliran tinggal bersama papanya di kota sebelah.

„Wah, kalau orang tuanya tidak bercerai, ia bisa datang ke ulang tahunku ya, Ma? Tapi tidak apa-apa yang penting sahabat sejatiku bisa datang.“ Begitu kata anak kami. Saya mengangguk. Lain kali, pasti datang.

***

Ya. Salah satu sistem pengaturan perceraian yang saya acungi jempol di Jerman adalah pembagian perawatan anak oleh negara kepada kedua orang tuanya. Sama adil dan merata. Kan ada tuh, di Indonesia, kalau sudah cerai anaknya tidak boleh dibawa ibu atau sebaliknya. Bahkan parahnya, tidak diijinkan untuk berkomunikasi dengan beragam alasan. Wah, ibu mana yang bisa dilarang untuk menemui anak darah dagingnya sendiri? Padahal korbannya nanti, pasti anak, yang tertekan tak hanya karena perceraian kedua orang tuanya tetapi juga dilarang untuk bertemu/silaturahim itu.

Hanya saja, ada banyak hal yang menyebabkan orang berpesan kepada saya karena memiliki image „Jangan sampai cerai di Jerman.“ Mengapa? Karena memang super repot dan muahaaal tingkat tinggi. Betapa tidak, seorang kawan sudah 5 tahun lalu bercerai dan harus membayar setidaknya 5000 euro (pasangannya juga 5000 euro) untuk keperluan sidang, pengacara dan sebagainya. Untuk mengumpulkan uang itu sulit, hutang kawan saya baru terbayar setelah bertahun-tahun lamanya.

Baru-baru ini, seorang kawan yang lain juga sudah kena 4000 euro ditambah 1218 euro, belum kelar juga perceraiannya. Alot. Lamban. Pusing kepala. Sidang cerai baru akan digelar satu tahun setelah pengajuan.

Katanya, ini karena memang penelitian dan pembuktian banyak dilakukan. Misalnya apakah kawan saya itu memiliki uang di bank di negara asalnya? Memiliki perhiasan atau batu mulia di luar Jerman? Apa pekerjaannya dan berapa gajinya selama proses perceraian? Dan masih banyak lagi. Kalau pernyataan (tentangnya) yang ada dalam tumpukan kertas segunung itu palsu, pemerintah Jerman tak segan menjebloskannya ke penjara. Waduhhh ... sudah pusing perkara perceraian, dihantui perasaan takut masa depan berakhir di hotel rodeo?!

Ini ditambah kalau kawan saya menikah lagi, ia pun secara tidak langsung akan menanggung mantan istri pria yang akan dinikahinya. Perhitungannya adalah; gaji suami yang akan dinikahinya, ditambah gaji kawan saya lalu ditotal, sekian prosennya untuk si mantan istri sebagai bea hidup. Sedangkan perhitungan sekarang adalah si mantan istri ditanggung sekian persen hanya dari gaji mantan suami alias pacar kawan saya itu. Meskipun, pernikahan mereka nanti adalah pasca perceraian si lelaki (jadi bukan karena kawan saya sebagai WIL), tetap saja, ia harus sokong itu mantan istri. Kok, begitu ya? Padahal mantan istri itu sendiri yang selingkuh, bukankah ia yang bersalah memporak-porandakan hubungannya dengan suaminya dulu? Ah, entahlah.

Nah, itu sebabnya, banyak perceraian di Jerman yang akhirnya mangkrak alias tidak diteruskan sampai pengadilan. Hanya pisah ranjang seumur hidup dan kumpul kebo dengan pasangan lainnya untuk mencukupi kebutuhan batiniah. Tahu sama tahu. Sebabnya, selain proses cerainya berbelit, panjang ... makan uang segudang. Satu euro sudah berapa? Rp 16.000? Tinggal mengalikan saja total uang euro itu.

Waktu saya ceritakan perihal perceraian kawan saya ini kepada suami saya, apa katanya?

“Aku ora opo-opo ...“ Suami saya dengan gaya sok medhok menimpali dengan bahasa Jawa. Saya balas:

“Sing njaluk cerai ki sopo?“ Hahahhahahah ... kamipun tertawa, karena ia baru saja menggigit pipi saya atas balasan ujarannya. “Lara, mas Bagus!“ Selamat pagi. (G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun