Saya masuk ruang kelas. Di depan saya, seorang gadis bertubuh penuh berteriak sambil mengangkat kedua tangannya:
“Horeee ... umur saya sudah delapanbelas!“
[caption id="attachment_375851" align="aligncenter" width="383" caption="Remaja Jerman ikutan karnaval (dok.Gana)"][/caption]
Murid kursus bahasa Inggris kelas 12 itu baru saja berulang tahun. Sebagai hadiah, ia dikado sebuah kunci mobil. Iya, ia mendapatkan impiannya. Mobil Mini Cooper warna coklat. Bukan mobil-mobilan lho yaaaa. Yaaaah, namanya anak tunggal. Dan tahu sekali, tidak semua anak remaja umur 18 tahun di dunia ini mendapat kejutan wujud benda dari orang tuanya. Dia, berbahagia, bapaknya dokter gigi ternama di sebuah kota. Tahu sendiri kan di Jerman, dokter gigi itu mahal tarifnya. Makanya saya wanti-wanti pada anak-anak agar tetap menjaga kesehatan gigi. Duit si bapak mungkin turah-turah, sisa. Bernasib baik.
Usil, saya tanya dia dalam sebuah conversation, sebelum memulai active writing.
“Menurutmu, apa yang paling beda, berumur 18 tahun?“
“Saya boleh ke mana saja saya suka, tanpa dikawal. Ke party, nyetir ... bahkan sekarang saya bangga; boleh mengawal anak remaja di bawah umur 18 tahun. Kalau dulu saya yang butuh, sekarang saya to be wanted.“ Renyah ia bercerita sembari memamerkan gigi yang miji timun, anak dokter gigi ....
Memang di Jerman, ada aturan, anak di bawah umur tidak boleh naik mobil sendiri meski sudah punya SIM mobil pada usia 17 tahun. Ia harus dikawal orang tuanya atau orang dewasa yang sudah punya SIM. Begitu pula dengan pesta di tempat umum. Tidak boleh sembarangan. Harus ada surat yang dibawa, menerangkan bahwa ia diantar atau dikawal oleh orang dewasa dengan keterangan yang jelas. Ini dalam bentuk kertas! Walaaaah. Rekomendasi jeng-jeng, hehe.
Pembicaraan kami mengalir pada alkohol. Ia menggelengkan kepala. Ini bukan interest-nya. Buat apa? Alkohol memang mudah didapat dan murah di Jerman dibandingkan di tanah air namun ini bukan berarti bagai magnet untuknya. Ah, salut, girl. Apik.
Makanya, ia selalu didapuk kawan-kawannya jadi supir antar-jemput kalau ada pesta lantaran minumnya selalu bebas alkohol. Begitulah di Jerman daerah saya, biasanya mereka yang tidak suka minum alkohol akan jadi supir dadakan.
Oh. Saya memang tidak menanyakan soal seks bebas padanya. Selain itu urusan pribadinya, ia memang belum punya pacar. Belum tertarik katanya. Masih ingin menuntut ilmu sampai Abitur, lalu ingin lanjut sekolah tinggi untuk menjadi komisaris. Wuiiih, polisiiiii. Pas, sih, badannya tinggi, tegap, besar, smart dan ... cantik. Good luck.
Ia bersikeras tidak mau meneruskan bisnis papanya. Pekerjaan jadi dokter gigi itu menyebalkan, rutin yang membosankan, ujarnya. Hanya berurusan dengan gigi, gigi dan gigi. Orangnya saja yang beda.
Keuntungan lain adalah dalam hal mengelola uang. Sejak dua tahunan yang lalu, ia memang dipercaya untuk mengelola sendiri, dua akun bank.Satunya untuk uang Kindergeld dari pemerintah dan satunya uang transport untuk ke sekolah. Kalau ada kebutuhan mendesak, ia ambil dari uang bantuan pemda itu. Biasanya, ia hemat sih.
Dalam manajemen keuangan, mulai 18 tahun ini ia masih akan disokong oleh ayahnya. Alasannya, ayahnya tak ingin konsentrasi belajar pecah kalau ia kerja paruh waktu, sepertihalnya teman-teman sebaya yang jadi loper koran/iklan, tukang jual roti di Bäkerei, pelayan Kafe atau restoran dan pekerjaan mini job lainnya yang hanya setengah hari, 400€ basis.
Intinya, rasanya menjadi anak remaja menginjak umur 18 tahun adalah very very exciting. Seruuuu ... heboh. Begitu, ungkapnya. Saya kira, ia tidak bohong. Ekspresi wajahnya bisa dipertanggungjawabkan. Welcome to 18, dear!
***
Waktu saya umur 18 tahun, rasanya sudah besaaar sekali. Banyak diatur karena ketakutan dan kekhawatiran orang tua terhadap banyak hal. Saya sudah mulai banyak mereka-reka rencana. Mau ini, mau itu ... halaaaah tapi masih tetap tinggal di rumah bapak ibu, sampai akhirnya menikah. Tak pernah kos seumur hidup karena tidak boleh dan memang menuntut ilmu selalu di dalam kota saja.
Mulai pacaran dan cari uang saku adalah bagian dari pengalaman melewati umur ini. Senang menyibukkan diri, aktif ini-itu. Semua serba terbatas. Hidup memang tidak mudah tapi cepat berlalu. Nostalgila.
Hmm. Saya ingat, ada orang tua yang “membuang“ remaja pria umuran 18 tahunan. Si remaja harus keluar rumah, hidup mandiri, mencukupi kebutuhan sendiri. Hanya disediakan sebuah apartemen mini untuk ditempati. Niat orang tua ini untuk kacamata orang seperti saya dari Indonesia pasti mengejutkan, tapi ternyata ada nilai-nilai yang baik di balik “pembuangan“ ini. Si remaja jadi tahu pahitnya kehidupan, tidak selalu mengandalkan orang lain, pandai mengatur uang yang didapat dari keringatnya sendiri padahal dulu entah sengaja atau tak sengaja menghambur-hamburkan dana orang tuanya dan masih banyak lagi hikmah yang terpendam. Ia memang bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Ketika menikah, ia sangat berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, ia tak lagi sendiri. Ada mulut-mulut lain yang harus disuapinya. Dapur istri harus mengepul. Kerasnya kehidupan dan kadang nasib tidak bersahabat padanya. Harus jatuh bangun.
Untuk itulah, baginya, detik melewati 18 tahun, adalah masa kemandirian yang barangkali harus sangat tinggi. Sangat bermanfaat untuk melewati masa ini. Pengalaman yang sangat berharga, guru yang terbaik.
Yang paling saya suka endingnya adalah, hubungan orang tua yang “membuang“ dan lelaki yang “terbuang“ itu tetap baik-baik saja.
Bagaimana dengan anak-anak kita? Entahlah. Anak-anak kami masih jauh dari umur 18 tahun. Tapi pasti ... waktu itu akan cepat datang, tak kan terasa seiring deru debu. Selamat siang. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H