Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Produksi Murah Jualnya Mahalan

23 Oktober 2014   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:57 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14140699681139834724

[caption id="attachment_368700" align="aligncenter" width="554" caption="Dari Indonesia, dibeli di Jerman, kembali ke Indonesia"][/caption]

Beberapa bulan yang lalu, seorang tamu dari Semarang menginap di rumah kami. Senang rasanya. Kami pun jalan-jalan ke danau, pusat kota ... dan tentu ... shopping!

Ia begitu gembira saya ajak shopping ke tempat belanjaan yang lumayan bagus dan murah-meriah seperti H&M, C&A, Tally Weijl dan lainnya. Mumpung lagi diskonan, barang bagus harga terjangkau sekali.

“Ah, untung kamu ajak ke sini. Sudah seminggu aku tahan mau beli di toko-toko Jerman, keluarga angkatku bilang lebih baik tidak membeli di toko-toko tujuanku itu.“

“Lho, itu kan duit-duitmu sendiri. Mau beli di mana saja terserah dong, kenapa mereka larang-larang ...“ Saya gagal paham dengan kalimatnya tadi.

“Maksudku, mereka ini pendukung rakyat negara-negara berkembang dan miskin yang memproduksi barang untuk Jerman tapi tidak dapat apa-apa. Kasihan.“ Teman saya itu tetap memilih baju yang pas. Ukuran XS atau S. Hehe ... Jerman mah ukurannya gedhe-gedheee ... kaos bisa jadi rok panjang deh. Mayan.

“Ooooh, iya ... ya ... betul, coba lihat di bagian dalam baju-baju ini, dari negara mana ya ...?“ Kami pun meneliti baju. Di sana tertera; made in Bangladesh, made in India, made in China .... made in Indonesia ...

“Ya, sudah, kalau kamu memang perlu beli saja. Lagian mumpung diskonan. Kalau tidak ya, pakai bajuku saja. Pasti pas kok. Meski ibuk-ibuk tetap langsing seperti kamu yang single.“ Saya usul. Ia terlihat bimbang dan kemudian mematut di kaca. OK, beli. Good.

***

Orang tua angkat teman saya itu bukan satu-satunya orang Jerman yang menolak membeli barang-barang yang dibuat di negara Asia. Alasannya, mereka tahu betul bahwa bea produksi yang dikeluarkan untuk mempekerjakan orang Asia itu sangat rendah. Maklum, UMR orang Jerman sama orang Asia itu seperti kepala sama kaki. Jauh bedanya, gak ketemu. Ironinya, ketika barang itu diekspor ke Jerman, nilainya menjadi sangat tinggi. Ini yang membuat kebanyakan orang Jerman yang saya kenal, tidak menyukai membeli barang khususnya baju dari negara berkembang dan miskin karena mereka pikir, yang untung orang Jerman atau perusahaan yang mengimpornya. Jerih payah itu memang dihargai para pembeli tapi bukan untuk sang pembuatnya, buruh. Mereka tahu betul orang Asia dapat sedikit atau tidak dapat apa-apa, sudah bahagia. Orang Jerman sudah dapat semuanya, belum tentu ada wajah bahagia dan senyum atau tawa di wajah mereka.

Eh ... sebentar, harga yang njomplang dan tidak adil? Bayangkan saja. Kaos misalnya dibandrol 10-20€, barangkali harga produksinya di negara luar Jerman cuma 1€ plus bea transportasi. Belum lagi yang harganya sampai ratusan euro .....

Aksi menolak membeli barang-barang dari negara berkembang dan miskin itu marak di Jerman, kini diikuti program usulan dan protes memberikan 1€ lagi untuk para pekerja. Sayangnya, ini ditolak perusahaan seperti H&M, C&A dan sebagainya yang memang mempekerjakan mereka demi menjalankan bisnis. Kita tunggu saja perkembangannya.

Oh, ya. Ada sebuah kisah mengejutkan lagi yang pernah saya tonton di TV Jerman. Seorang lelaki dari Asia kalau tidak salah dari Bangladesh, penjahit baju dari sebuah perusahaan yang mengekspor ke Jerman, menyelipkan sebuah kertas yang kira-kira bunyinya, “Tolong bantu kami dari kemiskinan ...“

Endingnya? Sepasang pasutri dari Jerman, menemukannya pada kerah baju yang dibelinya dari sebuah toko. Rasa haru muncul. Karena ada alamat di sana, mereka pun mengunjungi si bapak dan keluarganya dan menyantuni anak-anak mereka agar bisa melanjutkan sekolah. Pasangan itu sangat menyesali apa yang terjadi, tapi mereka ingat, kisah si bapak ini banyak terjadi. Banyak buruh yang kerja pekse (kerja sampai selesai) tak dapat apa-apa kecuali hidup pas-pas an bahkan kekurangan setelah bekerja seharian demi mengepulnya asap dapur.

Saya yakin, kondisi ini juga sama dengan di tanah air. Banyak perusahaan asing atau perusahaan Indonesia yang mengekspor barangnya ke luar negeri (seluruh dunia). Barang ekspor laris manis, banyak untung. Eh. Siapa yang untung? Tentu saja perusahaan. Apakah pekerjanya sejahtera? Belum tentu, apalagi yang rendahan, kerja kasar dan jadi buruh.

Situasi ini yang membuat orang-orang idealisseperti di Jerman, kemudian membentengi diri untuk tidak membeli barang-barang yang dibuat atau dijual oleh perusahaan yang tidak ramah buruh.

Bagaimana dengan opini Kompasianer? Selamat siang. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun