Membuntuti tulisan pak Mukti Ali http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/13/tips-menghadapi-hantu-bandara-soekarno-hatta/ tertanggal 13 Januari 2012, saya ingin juga berbagi pengalaman yang cukup mengejutkan saat tiba di bandara SH. Tulisan mbak Christi dan Aulia tambah menyemangati saya untuk menulis ini. Thanks, folk ... you inspire me.
***
“Ya, sini-sini … pasportnya mana?” dua orang bapak menghadang saya
„Maksudnya?“ saya bingung. Pasport sudah saya serahkan pada imigrasi tadi, saya pikir tak perlu lagi.
„Paspornya kasih lihat?“ seorang petugas diantaranya menekankan pertanyaan senada.
„Loh bukannya di kedatangan barusan diperiksa, dikasih stempel segala? Ini kan cuma masukin luggage yang saya ambil dari sana?“ tangan saya menunjuk pada komedi putar berisi tas-tas penumpang yang belum terambil, “Saya bukan TKW, juga tidak bekerja di luar negeri … hanya ikut seminar LSM. Saya juga punya kartu pers“ saya tunjukkan jimat, kartu pers dari radio tempat saya mencangkul waktu itu (yang itu asli bukan kartu pers Kompasiana loh, xixixi jangan dicekal). Si petugas agak masam, bersungut-sungut dan membiarkan saya melewati screening luggage tanpa ditunda. Udara berpolusi tercampur tamparan angin panas terhirup sudah. Backpack saya panggul menuju bis DA*RI. Dadaaaa …
He he he … itu waktu single … saat sudah long set (red: menikah) lain lagi:
„Suaminya mana, Bu?“
„Cari duit karena saya buang duit“, tawa kamipun menggema. Lalu petugas bandara berseragam coklat itu memberi kartu kedatangan dan mengisikannya, sementara saya dan kedua anak sabar menunggu.
Sebelum keluar dari pintu exit, saya harus membayarkan VoA. Sekonyong-konyong seorang anak muda menghampiri saya. Wah, saya deg-degan jangan-jangan ada yang kurang atau salah pada kami. Keringat kami bertiga mulai bercucuran, ini menandakan betapa hawa Jerman-Indonesia njegleg (red: amat jauh berbeda waktu itu) …
„Wah, anaknya cantik-cantik. Kalau sudah besar seperti Bunga Citra Lestari, tuh … bapaknya mana nih?“ Pria berlogat Betawi itu membantu mendorong hand baggage saya menuju loket.
„Hahaha Bunga Citra Lestari saya nggak kenal … suami kerja, jaga anak dan rumah, Mas“ sekali lagi saya harus meledakkan tawa membayangkan anak gadis saya bisa sehebat BCL suatu hari nanti. Ngimpiiii ….
Wajah saya tampilkan semanis dan se-PD mungkin agar urusan lancar. Benarlah, beberapa menit visa sudah ditangan lantaran anak muda tadi mengurus di loket dengan rekannya yang jaga. Uang saya berikan padanya pas @25 USDx2. Lunas!!!
Sebelum berpisah, petugas itu kembali mendatangi saya dan memanggilkan porter agar tidak repot dengan barang segunung. Matur nuwun, mas … sering-sering yah?
***
Dari awal keberangkatan, hati sudah kecut menciut. Terbang ke Indonesia dengan perjalanan minimal 16 jam plus-plus sampai Jakarta dengan dua anak kecil (3 tahun dan 6 bulan waktu itu) dan 70 kg dalam 3 koper dan 2 tas tangan??? Maju tak gentar, kalau sudah homesick tak lari kemana. Jika kesusahan di jalan pasti ada yang bantu. Allah itu ada dan adil.
Dan memang … jederrrr!!!! Kerepotan membawa anak-anak mudik (bosan, berat, rewel dan capek) sirna. Tak hanya di Frankfurt, Jerman, ketika seorang lelaki Jepang mendorongkan kereta berisi tiga koper besar milik kami (di Jerman tak ada porter?!) … sementara anak ragil saya gendong depan ala Kanguru, gadis kecil satunya lenggang kangkung bersama trolley isi mainannya. Arigatou gozaimasu ... Kai san.
Begitu pula setiba di Cengkareng, Indonesia. Beberapa petugas bandara membantu saya, mulai dari mengambilkan kereta dorong, mengisikan data-data kedatangan hingga antrian VoA dan porter. Those were FUNtastic.
So … Gusti Allah ora sare (red: Tuhan tidak pernah tidur) … hantu-pun menjelma menjadi angel.
P.s: Ini bukan pencitraan melainkan berbagi cerita mengulas keajaiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H