“Ya Oloh ... ngglundhung ...“ Umur saya masih 12 tahun. Kelas 6 SD.
Kok, ada yang menggelinding? Iya, lantaran boring menunggu ibu yang waktu itu masih guru kesenian (kemudian jadi kepala sekolah) nggak juga selesai acaranya, saya ajak adik perempuan dan anak pak bon (tukang kebun) untuk lomba balap lari. Nggak balap karung sekalian?
Kami, masih berpakaian ala Kartini, sandal berhak 3 cm dan pakai jarik aka kain batik. Weleh ... nggak kehilangan akal, kain diangkat sedikit agar larinya lebih kencang. Untung nggak ada yang robek. Cuma tadi, ada yang ngglundhung. Gelung atau sanggul yang lepas seperti bola yang habis ditendang.
Begitulah. Masa kecil di kampung, yang nggak serba ada tapi begitu sederhana dan bahagia. Salah satu yang berkesan adalah saat Kartinian. Habis sholat Shubuh sudah bangun didandani oleh ibu, lalu gantian adik. Kami memakai kebaya yang dibeli dari pasar Djohar gaya lama yang masih utuh belum terbakar. Mengapa kami tidak seperti teman-teman yang lain, berbondong-bondong ke salon? Karena ibu tidak punya dana lebih untuk meminjam baju dan membayar perias. Mending untuk kebutuhan yang lain. Maklum, orang tua PNS (jaman itu, masih Pegawai Ngeri Sekali). Makan masih pakai beras jatah yang berkutu jalan-jalan sendiri. Oh, memori indah.
Eh, ibu pinter dandan kok. Dari menyasak rambut, make up sampai melilitkan kain batik di badan. Kehebatan ibu yang membuat saya bangga. Ibu benar-benar seorang perempuan! Ia tak hanya bekerja mencari uang, merawat anak dan rumah tapi juga mampu merawat diri. Keturunan Kartini Indonesia.
Ada lho, perempuan yang tidak suka dandan atau tidak bisa dandan meski mau. Ada juga perempuan yang tidak memperhatikan penampilan. Mulai dari rambut, tubuh sampai kaki. Nah, Kompasianer wanita semoga selalu smart and beautipul.
Oh, ya. Suami saya pernah nanya:
“Semua saudaramu nggak ada yang cantik, kamu kok cantik?“
“Weleh ... ngrayu ... ibuk juga cantik waktu mudanya. Kalau adik, karena dia tidak suka dandan kayak aku mungkin beda ya. Kelima saudara laki-laki tentu saja tidak cantik karena mereka bukan perempuan.“ Ngakak together.
Lalu, suami menjuluki saya seperti dongeng anak-anak di Jerman “Die hässliche Ente“ atau “Bebek jelek.“ Ceritanya, waktu kecil si bebek juelek banget. Sudah warnanya paling kelam, buruk rupa pula. Sampai ia merasa frustasi di antara saudara-saudaranya yang bening. Diledekin. Sampai suatu hari ketika dewasa, ia seperti larva yang jadi kupu-kupu. Sangat cantik. Cie.... Terbang!