Lagunya Shakira atau Katty Perry pasti banyak orang Indonesia tahu dan hafal. Bagaimana dengan tembang macapat? Nembang atau menyanyi lagu macapat memang asli bakalan kalah ngetrend dibanding sama lagu-lagu pop. Lah iya, yang tradisional kebanyakan ditinggalkan generasi baru bahkan generasi lama sekalipun.
Seingat saya, nembang pernah diajarkan saat SD dan diasah waktu SMP. Pernah ikut lomba di tingkat kodya Semarang. Lumayan juara harapan I atau juara IV, daripada juara mengharap? Hayoooo ...
Nah, kalau dulu memperhatikan pelajaran bahasa daerah yang entah sekarang masih ada enggak, pasti ingat dong ... apa saja tembang macapat itu?
Ya, betul. Ada:
- Asmaradana (lagu kasmaran)
- Dhandanggula (lagu manis/baik)
- Durma (lagu marah/serem)
- Gambuh (lagu yang pasti/tak ada keraguan)
- Kinanthi (lagu mesra)
- Maskumambang (lagu kasihan, bermantra).
- Mijil (lagu muncul)
- Pangkur (lagu sarat pesan/isyarat).
- Pocung (lagu suasana santai/lucu-lucuan)
- Sinom (lagu anak muda).
- Megatruh (lagu prihatin).
Masih bisa rengeng-rengeng atau senandung “nana-nanana“? Atau masih hafal liriknya? Oh, nö. Jelas saya nggak hafal semua. Yang seneng saja yang masih diingat. Lainnya lunturrrr seperti bedak yang kepanasan mentari.
Nah, dari kesebelas tembang macapat tadi, ada empat yang saya pilih untuk dipamerkan ke publik Jerman pada acara pesta kuliner Indonesia (Indonesien; Kulinarises Fest) di Konstanz tanggal 26 September yang lalu yakni; Gambuh, Mijil, Pangkur dan Pocung.
Weleh nggaya. Opo isa. Beneran nggak bohong! Bisa. Saya benar menyanyikannya setelah acara pamer mbatik selesai.
Pertama Pangkur:
Sekar Pangkur kang winarna
(nasihat dibalut dengan tembang pangkur)
lelabuhan kang kanggo wong aurip