Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pendeta Vihara Budha Ini Masukkan Kompasiana dalam Kartu Namanya

8 September 2015   19:51 Diperbarui: 8 September 2015   20:31 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"Mbak, nanti malam kita naek becak hias di Simpang Lima yuk, terus ke Tugu Muda, Lawang Sewu, Sam Poo Kong" ajakan saya sebagai tuan rumah (selagi mudik) kepada mbak Wawa, terlempar. Kompasianer Wang dan Lis mengiyakan. Kalau tidak sekarang kapan lagi?

  Dan kami pun janji 18.30 di Depan masjid Baiturahman. Dengan mbak Wawa, Wardah Fajri si admin Kompasiana yang hadir pada acara pameran foto Jerman yang saya adakan bertajuk "Herzlich willkommen in Deutschland" tanggal 2-3 September 2015.     "Aduuuhh kayaknya telat, 18.30 masih sampai Bangkong, berarti 5 menit lagi baru sampai. Telaaaat" whatsapp saya kirim ke Wang. "No problem mbakyu. Apa saya jemput di Bangkong?" kata pria penyabar yang suka jadi "supir" pribadi itu. Haha. Baek banget.    Setelah ketemu Wang, saya celingak-celinguk gak nemu mbak Wawa. Akhirnya, ketemu lagi di warung jamuuuu. "Saya tunggu di mobil Wang, warna merah deket taksi putih itu ya?" Saya bercerai dengan mbak Wawa cs. Menunggu,  ngadem di mobil Wang yang sudah balik merah lagi setelah dari Brown canyon. Ya ampun, deh. Pemandangan coklatnya asyik tapiii sampai dari ujung rambut ke ujung kaki semua berubah warna, coklat! Ya. Setelah kami semua masuk mobil, HP saya pencet keyboardnya, menelpon kompasianer pak Basuki. Beliau ini adalah pandita D. henry Basuki. Pendeta majelis agama Buddha Theravada Indonesia atau Watugong Semarang itu memang orang penting dan pimpinan di vihara. Kami pengen ke sana tapi waktunya gak ada.    "Sugeng dalu" Suara beliau menyapa. Dengan bahasa Jawa, yang artinya, "Selamat malam.""Sugeng dalu, pak Basuki punika Gana putrinipun pak Setyadji" Agar beliau mengenal saya, saya jelaskan saya ini siapa."Ohhh mbak Gana, kados pundi mbak?" pak Bas menanyakan apa maksud saya menelpon."Bapak taksih repot nggih?" Seolah takut mengganggu orang yang saya telpon, bertanya apakah pak Basuki masih repot."Nggih mbak nembe mawon wangsul." Ternyata memang si bapak baru saja pulang dari Watugong."Kula badhe kempalan kaliyan kanca-kanca Kompasianer, wonten admin Kompasiana mbak Wawa saking Jakarta. Kita badhe jalan-jalan, bapak saged nindaki?" Penjelasan bahwa ada mbak Wawa dan hendak mengajak beliau jalan-jalan, bersama kompasianer, mengalir."Waduh, mbak, mboten saged kula wonten acara." Sayang sekali, pak Basuki sudah ada rencana."Oh, mboten punapa-punapa. Sanes medal. Nuwun" Kalau tidak hari itu, mungkin lain kali bisa, ya pak? Telepon saya tutup.    Murid bapak saya di kursus pranatacara dan medarsabda dan teman saya di Kompasiana itu memang orang sibuk. Gimana gak sibuk, sudah pendeta buddha, Vihara Watugong pula. Besaaaar. Yang ibu rumah tangga seperti saya saja banyak acaraaaa ... (Icon tengak-tengok). Haha.    Oh, ya. Pria yang ramah, suka guyon dan bersahaja itu punya banyak kegiatan sosial dan budaya yang memang senada dengan jiwa beliau dan tugasnya sebagai pendita. Beliau banyak membina golongan ekonomi lemah di desa-desa dengan memberikan dana untuk modal demi membuat batik, hasilnya dibeli pak Bas.    Yang mengesankan adalah dalam kartu nama yang beliau punya, yang diberikan kepada Sultan Demak beberapa waktu yang lalu, ada nama kompasiana; URL: www.kompasiana.com/dhenry Basuki. Wihhh!    Senang sekali bahwa sebagai kompasianer, teman kita itu sangat bangga mencantumkan "sekolah" menulis keroyokan kompasiana.com pada kartu nama beliau.    Meskipun pernah suatu hari sebelumnya ....   "Sugeng injang, pak." Tangan saya ulurkan setelah memasuki pintu rumah bapak saya. Mengucap selamat pagi kepada pak Basuki. Sang pandita Budha yang sedang sowan keng Rama."Sae mbak." Kompasianer yang kerap menulis tentang agama Budha itu mengatakan bahwa dirinya sehat."Taksih nyerat dhateng kompasiana?" Karena sudah lama tidak ngompasiana selama di tanah air, saya bertanya kepada beliau apakah masih sering menulis di K."Alaaah kula keset mbak, nulise arang" Ternyata, sama. Beliau juga jarang menulis. Bahkan mengaku cenderung malas karena banyaknya kegiatan."Nyerat malih nggih pak, sae kok, lan eman-eman manawi mboten diterasaken." Seperti biasa, pak Bas hanya nyengenges, tertawa kecil menunjukkan senyum dan gigi yang indah. Sungguh, orang yang ramah dengan jabatan tinggi, pandita. Sebagai sesama kompasianer, saya semangati beliau untuk terus menulis di K. Tulisan beliau berisi, bermanfaat dan menginspirasi. Jarang yang menulis tentang Budha.    Nah, bagaimana, pendeta Budha tokoh nomor satu vihara Watugong Semarang saja sebegitu bangganya mencantumkan blog keroyokan dalam kartu namanya ... Bagaimana dengan kita? Pandita Basuki menginspirasi, ya. Merekomendasikan Kompasiana.com sebagai web site yang ada di kartu nama pribadi dan atau bisnis.    Ohhhh, lupa ... saya belum punya kartu nama! Haha. Jadinya, mencantumkan K dalam CV di beberapa buku yang saya tulis saja dulu. Juga ikut bangga lho, yaaaa.    Selamat pagi.    Semarang, 2 september 2015

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun