No. 49 - Gaganawati
Genap 35 usiaku. Meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Jaka.
Kutulis sebuah pesan lewat Whatsapp “Terima kasih telah mengenalkanku pada dua kata.“ Terkirim, terbaca tapi tak pernah terjawab. Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Mengira-ira apa saja isi kepala Jaka. Berderai air mataku.
***
Ya. Pindah. Aku sudah pindah. Lembaran baru kubuka di sini. Enyahkan dua kata yang pernah ada.
Kupikir, aku setengah berhasil. Bangun pagi, berangkat kerja, pulang sore, makan, tidur. Itu-itu saja yang kukerjakan. Akhir pekan? Malasan di sofa. Baca, baca, baca.
Robot? Oh. Bukan, aku bukan robot. Tetaplah manusia yang punya hati dan jiwa. Sedikit mampu melupakan resiko jatuh cinta. Dua kata yang pernah hampir hilang, sayang tak berlangsung sempurna.
Itu sejak setangkai bunga mawar menghiasi meja kerjaku. Fahmi, pria keturunan Turki itu pengirimnya. Pria yang kukencani hanya semalam di café C di Berlin. Kencan tanpa rencana ....
***
“Aku ingin bicara!?“ Kugeret tangannya keluar dari ruang produksi menuju toilet. Batang mawar kulemparkan padanya, “Ini maksudnya apa?!“
“Aku kira kamu orangnya menarik. Sejak ketemu di café Chagall ....“ Suaranya lembut menyambut sentakanku. Dijumputnya bunga mawar besar “Nostalgie“ dari lantai. Ia ulurkan padaku.
“Kencan kita ... kencan kita tidak disengaja. Tolong lupakan apa saja yang pernah terjadi di sana.“ Gugup. Aku tak ingin merendahkan posisi operator mesin pabrik dengan aku, yang manager. Itu lebih karena apa yang dia lakukan berlebihan. Dan pertemuandengannya waktu itu adalah angin lalu. Kupatahkan sedikit tangkainya. Mawar masuk ke saku baju kerjanya.
“Aku ingin membahagiakanmu.“ Fahmi gagal paham. Ia makin mendekat. Bau wangi Maxx menusuk hidung, seakan mencoba menembus jantungku. Kuusir kegusaranku. Aku mual. Tapi, oh, entah bagaimana caranya tangan Fahmi berhasil menyelipkan mawar di telingaku.
“Biarkan aku sendiri!“ Kubuang mawar ke tempat sampah. Lalu cepat-cepat meninggalkannya dan membanting pintu.
***
Jera? Tidak. Fahmi tidak pernah jera. Setangkai mawar oranye tetap menyapaku setiap pagi. Jika kukumpulkan kartu mini yang menyertainya, bisa saja aku tulis sebuah roman, menumpahkan apa saja yang dia tulis di sana. Aku muak, tapi aneh, aku membiarkannya!
Begitulah jadinya. Setangkai mawar selalu hadir di meja. Tak pernah sekalipun Fahmi mengubah kebiasaannya. Pun ketika ia yakin, bunga itu belum kuasa mengubah benci menjadi cinta.
Aneh, pria berkulit putih bersih dan ganteng itu memang aneh! Kenapa dia tetap suka padaku?
***
Sebulan sudah aku lupa atas dua kata yang ada di kepala. Sebulan sudah Fahmi meletakkan mawar di atas meja. Mustahil kalau Fahmi berdusta. Pria itu benar-benar sedang jatuh cinta. Tapi hey ... hari ini ada yang beda!
Tak ada bunga mawar yang tergeletak hari ini. Tak ada pesan dalam kartu yang biasa menggantung di tangkainya. Tanpa aba-aba, ada kekuatan aneh yang membawaku menuju ruang produksi.
“Kamu lihat Fahmi, Heidi?“ Setengah berbisik, kudekati Heidi. Anak training dari sebuah sekolah. Kepalaku celingukan. Aku takut ada yang mendengar pertanyaanku. Malu.
“Fahmi? Pagi-pagi sekali dia sudah datang tapi tiba-tiba pamit, mau ke SPBU sebelah, ada yang lupa katanya. Maunya sebentar, tapi sudah sore, kok nggak balik-balik ....“ Cerocos Heidi. Astaga! Mukaku pucat seperti zombie. Sungguh aku cemas ada apa-apa dengan Fahmi. Aku bergegas meninggalkan Heidi. Hatiku gundah-gulana .....
Pulang kerja, aku mampir ke SPBU sebelah yang ada tokonya. Di kulkas sudah tak ada lagi telur dan susu lagi. Di depan pintu, mataku tertuju pada setangkai mawar warna oranye “Nostalgie“ di sebuah ember. Kuambil satu.
“Anda suka mawar oranye, ya? Untung masih sisa satu. Tadi pagi ada seorang pria yang juga membeli mawar yang sama. Nampaknya ia terburu-buru. Waktu keluar dari SPBU, ia tak lihat ada mobil yang melaju kencang dari arah yang sama. Saya ikut kaget. Mobilnya ringsek! Pria itulah yang selalu membeli bunga yang sama di sini setiap pagi. Saya sampai hafal. OK, selamat jalan, hati-hati, ya ....“ Kasir mengulurkan bon dan kembalian.
Deg! Jantungku seperti berhenti berdegup. Kini kutahu mengapa Fahmi tidak ada di ruang produksi. Pasti ia bangun kesiangan sampai cepat-cepat ke kantor tapi lupa membeli bunga, lalu ke SPBU. Mawar untuk Putri. Dan itu adalah namaku!
***
Kakiku sudah menjejaki lantai ruang ICU. Suasana lengangnya makin mencekamku. Kupandangi mesin-mesin yang dipasangi banyak kabel dan selang, menuju tubuh Fahmi.
Wajahnya masih tetap tampan. Bedanya, matanya tertutup, tak bisa bicara dan jahitan luka di sana-sini. Suster bilang, ia koma. Entah untuk berapa lama.
Kuletakkan bunga mawar oranye itu di meja sebelahnya. Kubisikkan sesuatu di telinganya, “Fahmi, maafkan aku. Beri aku kesempatan untuk menerima bunga mawar darimu lagi seperti dulu. Beri aku waktu belajar mencintaimu. Pasti aku bisa. Rasa kehilangan dirimu menyergapku hari ini. Kubawa bunga mawar yang sama, yang selalu kau letakkan di mejaku. Aku akan setia menunggumu. Cepat sembuh, ya?“ Kukecup keningnya. Kuremas tangannya yang lemah tak berdaya. Butiran-butiran bening menetesi pipiku. Hidungku tersumbat. Dadaku serasa sesak memandangi Fahmi.
Lalu aku hanya bisa pergi tapi aku janji akan kembali. Besok, lagi dan lagi. Aku harus menunggu. Sampai Fahmi bangun. Sampai mengirimiku bunga mawar ke mejaku lagi, seperti dulu. “Aku kangen kamu, Fahmi. Tuhan, ampuni dosaku. Tolong bangunkan Fahmi untukku.“(G76)
NB : Selamat untuk pernikahan Admin FC, Fahmi Idris (Ghumi) dan Putri Gerry. Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community. Bergabung di group FB Fiksiana Community? Siapa takut ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H