Jumat 16 Mei 2014 pukul 18.00, alun-alun kota Tuttlingen heboh karena demonstran menuntut pemda untuk menutup pameran fotografi Nathalia Edenmont. Fotografer Ukraina-Swedia itu dituding telah melakukan pornografi anak dan tindakan tidak menyenangkan terhadap hewan.
Saya pandangi poster yang dipasang di sudut kota. Waduh. Benar. Foto anak perempuan di bawah umur yang telanjang separoh itu tentunya tidak perlu dipertontonkan di muka publik. Sedangkan satunya, foto jari dengan kepala dari tikus Pitty (yang sudah dipotong dan dikeringkan)! Skandal yang dilakukannya ini bukan pertama kali. Masih banyak foto tak pantas yang dipasang di dalam web site nya.
Karena penasaran dan tentu sebab senang fotografi, Sabtunya, kami datang ke galeri sekalian ke perpustakaan kota. Galeri yang dibuka gratis bagi pengunjungnya itu memang tak seperti biasa. Dua sekuriti berdiri di depan pintu. Weeeh, sampai begitu? Iya, barangkali ini antisipasi supaya para demonstran susulan tidak mengganggu pameran.
Pada sebuah halaman di buku tamu galeri di depan pintu, ditulis dalam bahasa Jerman bahwa "Pameran yang hebat. Banyak gambar bagus dan model yang berbakat, hanya saja hal yang berkaitan dengan hewan itu sangat menjijikkan. Sangat menyenangkan melihat hasil kerja yang penuh semangat, sayang sekali, babagan skandal yang berhubungan dengan pornografi anak dan tindakan brutal kepada hewan ini harus terjadi dan mengotori nama nyonya Edenmont. Ini buruk sekali. Demonstran, 16.5.2014."
[caption id="attachment_336914" align="aligncenter" width="444" caption="Dua sekuriti di depan galeri (dok.G76)"]
[caption id="attachment_336918" align="aligncenter" width="640" caption="Protes demonstran dalam buku tamu (dok.G76)"]
Begitu masuk, petugas yang ada di meja tampak sudah tidak bersahabat. Atau mata saya yang terlalu terbiasa dengan senyum dan tatapan ramah? Entahlah. Kami tamati gambar-gambar bagus itu. Wah, apa bisa saya motret seperti itu ya? Sepertinya masih jauh. Figura ekslusif warna hitam itu semakin menguatkan efek pemotretan yang bagus. Tapinya, saya kaget, di sebelah pintu, ada gambar perempuan telanjang memegang kelinci di bagian lehernya. Mertua saya pernah memiliki banyak sekali kelinci, kami pernah dua kali memelihara kelinci (hingga akhirnya mati), menurut pengalaman, memegang kelinci yang berperikebinatangan itu adalah dengan memegang kedua telinga dan pantat. Eh di gambar itu kok, lain ya? Dan entah mengapa gambar itu masih dipajang usai protes kemarin-kemarin.
Gambar lainnya unik. Foto model dengan baju dari kertas karton. Biasa untuk membungkus paket kirimin, ini untuk membungkus badan orang cantik. Ide yang cemerlang. Asal tidak ketemu api dan hangus saja.
Gambar di lantai dua mendapat protes dari anak-anak “Hiyyy ... saru“ gambar bugil orang di tempat tidur dan satunya gambar orang tidur dengan selimut yang kotor seperti kena oli ... Gambar-gambar yang seolah-olah membangkitkan apresiasi yang lain bagi sebagian orang dari budaya yang berbeda.
“Wah ini pasti diajari ibunya“ Timpal suami saya. Menyadari bahwa anak-anak kami reaksinya kaget dan menganggap tidak pantas, saat melihat gambar bugil atau separoh bugil.
Entah lantaran terganggu dari teriakan kedua anak kami atau memang sudah hawanya seperti itu dari kemarin-kemarin, si perempuan yang berdiri di dekat anak tangga menuju lantai bawah, marah-marah dalam bahasa Jerman beraksen yang terjemahannya;
“Jangan dekat-dekat, kacanya jangan dipegang. Kotor!“
Wih, sungguh tidak ramah. Saya pun memperingatkan anak-anak dalam bahasa Indonesia. Pasti si ibu tidak tahu, mukanya masih tampak murka.
[caption id="attachment_336917" align="aligncenter" width="410" caption="Selain foto ini, beberapa telanjang (dok.G76)"]
[caption id="attachment_336915" align="aligncenter" width="420" caption="Kepala berular (dok.G76)"]
[caption id="attachment_336916" align="aligncenter" width="228" caption="Memegang kelincinya kurang pas (dok.G76)"]
Kami pun menuju lantai atas. Lalu ke bawah.
“Apa ini? Seni? Nggak bagus.“ Suami saya tidak suka. Mukanya ditekuk seperti tikar lipat. Saya senang fotografi dan warna, hanya saja ... itu tadi, karena si Nathalia mengotorinya dengan skandal soal pornografi anak dan tindakan brutal kepada hewan lewat pemotretan yang menjadikan saya agak terganggu. Isu ini sudah banyak diangkat di berbagai media. Kami pun pulang.
***
[caption id="attachment_336921" align="aligncenter" width="477" caption="Riwayat hidup Nathalia Edenmont. (dok.G76)"]
Saat saya membaca daftar riwayat hidupnya yang dipajang di salah satu dinding, saya yakin si fotografer orang pandai dan berbakat. Talentanya betul-betul dipupuk dan disiram. Ia sudah beberapa kali mendapat beasiswa untuk belajar soal foto atau desain. Ia menuntut ilmu sembari keliling dunia. Pamerannya tak hanya di Swedia, tempat bermukim sejak 1991. Sudah ada Milan, Italia, New York, USA dan tentunya, Tuttlingen, Jerman.
Namun membaca masa lalunya, saya barangkali boleh menghubungkan sebab akibat tentang pemikirannya yang kadang agak aneh di mata orang.
Nathalia waktu kecil pernah ikut pemotretan film. Karena tidak punya baju, dipakailah baju tradisional tua Ukraina milik neneknya. Dia diantar ibunya. Tak berapa lama, ibu meninggal, di usia Nathalia yang masih belia. Hancur sudah hati Nathalia. Barangkali ia tidak bahagia? Atau sensitif? Ini saya bayangkan dalam karyanya tahun 2007 bertajuk “Self portarit (death bed).“ Di sana, seorang anak perempuan memegang tangan ibunya yang mati terbaring di atas meja. Keduanya berbaju abu-abu.
Coba saja lihat hasil karyanya tahun 2011 berjudul “Play.“ Seorang gadis perempuan dengan rambut dikepang memegang pistol yang moncongnya dimasukkan ke mulut! Bunuh diri anak di bawah umur yang diekspos dalam foto di muka publik. Atau “Prince“ tahun 2011, di mana seorang anak laki-laki, nampaknya di bawah 17 tahun, telanjang naik kuda-kudaan. Untuk kacamata negara yang sangat melindungi hak anak, ini kurang pas. Dikritik pedas.
***
Bercermin dari pengalaman Nathalia ini, saya sebagai penyuka fotografi, suka motret aspret dan senang memamerkan foto di internet, harus ikut hati-hati. Jangan hanya karena teledor, salah persepsi soal seni dan bukan seni atau parahnya ... keras kepala, karya saya tidak dihargai tapi justru diprotes keras mengarah pada pornografi anak dan tindakan brutal pada hewan (yang amat menyakiti para vegetarian dan kawan-kawan).
Saya ingat, waktu memamerkan foto Kampretos, salah satu foto dari mas Dhave Dhanang dari suku Baliem di Papua memang agak janggal. Tetapi karena masyarakat mengerti tradisi di Indonesia berbeda dengan Jerman, tidak ada yang protes ketika melihat laki-laki dan perempuan pedalaman tidak berbaju dan terlihat beberapa organ yang jarang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Memang harus lihat gambar dan tempat kalau mau pamer. Untung ada penjelasan pada mereka dan diterima.
Selamat memotret dan pamer foto tanpa melukai siapapun. Tidak mudah memang. Selamat pagi.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H