Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pakai Jeans ke Kantor, Pantaskah?

11 Maret 2014   23:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah membaca koran lokal Jerman, Gränzbote. Di sanalah saya baru tahu kalau jeans pertama kali ditemukan tahun 1873 oleh Jacob Davis dan Levi Straus. Dari namanya, Strauss adalah nama keluarga Jerman (seperti nama tetangga kami yang jadi asisten pastor). Setelah saya klik Wikipedia, memang ia adalah orang Jerman yang migrasi ke Amerika untuk usaha bersama sang kakak. Dan jeans sendiri sebenarnya berasal dari Italia (corduray) yang diekspor ke Eropa (sampai Jerman) dan dibawa Strauss ke Amerika (hingga menjadi ikon dari USA sendiri, dipatenkan). Ada catatan sejarah juga bahwa jeans sudah dimulai/dibuat di (de) Nimes, Perancis.

Dan hasilnya? O-ooo ... Jeans digunakan oleh pekerja pertambangan, lalu tentunya ... para cowboy. Gaya Amerika sekali. Warnanyapun dahulunya coklat! Pada perkembangannya, jeans seperti pelangi. Tidak hanya biru atau disebut blue jeans, hitam, abu-abu ... bahkan mulai banyak warna genjreng seperti merah, hijau, kuning, oranye, lila dan warna lain. Beberapa tahun yang lalu, jeans warna hijau pernah ngetrend di Jerman (hingga hari ini). Namanya pasti bukan blue jeans karena warnanya green. Tidak semua jeans disebut blujin, blue jeans. Haha.Atau tidak semua celana jeans adalah celana Levis karena banyak merek lain yang mulai memarakkan persaingan bisnis celana, tentu dengan model skinny, gombrong, overall, boot cut, lurus, cut bray, hip-hop sampai bagian pantat kelihatan saking melorotnya (apalagi kalau sudah duduk) dan masih banyak lagi.

Saya amati celana jeans banyak dipakai orang di seluruh dunia. Bahkan menjadi die liebling Auftritt, penampilan yang paling banyak dipilih orang. Hingga akhirnya, jeans tidak hanya untuk kalangan kaya atau miskin, tinggal di desa atau kota, remaja atau orang dewasa saja, bahkan bayi sampai lansia juga penikmatnya.

Ditambah, jeans tetap menjadi klangenan orang-orang yang bekerja. Apakah Kompasianer suka memakai jeans ke kantor? Atau ke tempat bekerja? Kalau iya, bersyukurlah bahwa dibolehkan memakai jeans. Di Jerman sendiri, banyak orang mengenakan jeans di kantor atau saat bekerja. Tak hanya bawahan, atasan pun memakainya.

Seorang bos perusahaan alat kedokteran yang saya kenal, selalu memadu-padankan jeans (kebanyakan yang biru gelap bukan warna lain) dengan T-shirt dari kantor atau kemeja (tanpa jas dan tanpa dasi). Tentu saja ini menjadi rambu-rambu para bawahannya (dari staff sampai pekerja kasar) bahwa di wilayah tersebut bebas pakai jeans.

Banyak guru TK dan SD di kota kami tinggal yang menyukai memakai jeans dan dikawinkan dengan atasan yang pas. Belum ada komplen tentangnya baik dari murid maupun orang tua. Barangkali ini akan berbeda jika dilakukan di Indonesia. Yang kebanyakan memang masih menerapkan sistem seragam.

Seorang guru SMA di kota, selalu nyaman memakai celana jeans ketimbang dari bahan kain. Selain ia bisa merasa membaur dengan murid-muridnya, juga badan terasa lebih santai.

Sementara, seorang wanita paruh baya yang kerja di bank dekat rumah, tak pernah sekalipun memakai jeans. Hanya pakaian dari bahan kain, berjas pula. Rapi. Chic.

Dari semua orang yang saya amati itu, saya mengambil beberapa catatan seandainya saya memakai jeans saat mengajar (meski saya sekarang tidak begitu menyukai jeans):

1.Pastikan warna jeans masih bagus, bukan mbladhus alias warna telah hilang tak tahu ke mana, entah ini alamiah atau proses pabrik. Pabrik yang memroses jeans menjadi used look, ternyata juga tidak ramah lingkungan karena akan banyak menggunakan bergalon-galon air untuk menghilangkan warnaya. Dan warna itu, mengotori bumi, penyebab penyakit dan seterusnya.

2. Tidak bolong (kan ada tuh, model jeans yang sengajar disliwir-sliwir, dibolongi. Atau tidak sengaja bolong karena usang atau jatuh, tapi nekat dipakai).

3. Meminta pendapat atasan apakah saya boleh memakai jeans.

4. Seandainya boleh, memadu padankan atasan yang tetap membawa kesan chic.

5. Memilih model yang tidak aneh-aneh. Kalau berlebihan juga kurang pas (banyak bordir, banyak bebatuan, model tembelan kain warna-warni, doreng hijau/biru/abu-abu/merah jambu).

6. Warna jeans tak melulu biru. Warna lain perlu dicoba asal pas dengan suasana.

7. Demi terawatnya jeans, tidak terlalu sering mencucinya. Harus tahu kapan jeans dikatakan sudah kotor dan sudah waktunya dicuci.

Ada lagi satu catatan dari sejarah jeans ini, bahwa orang kreatif saja tidak cukup. Karena ini kalah sama orang (kreatif) yang beruntung! Seandainya Italia atau Perancis sudah mematenkan produk jenis jeans ini, pastilah jeans tidak menjadi trend keamerikaan (oleh Strauss dan Davis). Ini menjadi pelajaran untuk manusia, atau setiap bangsa agar mematenkan produk kreativitasnya, now or never, kalau tidak mau kecolongan/didahului. Apa hasil kreativitas Kompasianer? Sudah paten? Saya belum (karena tidak punya). Selamat pagi. (G76)

Sumber:

1.Gränzbote, Jerman terbitan Kamis, 6 Maret 2014.

2.http://en.wikipedia.org/wiki/Jeans

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun