Apa motivasi Kompasianer dalam menulis? Berbagi? Mencari kawan? Mendapatkan hadiah? Kalau saya, awalnya karena kesepian di negeri orang dan selalu rindu kampung halaman. Akhirnya, terhibur, banyak kegiatan (menulis, lomba, sosialisasi) di blog keroyokan ini.
Oh, baru-baru ini, saya terpilih sebagai juara I kompetisi ngeblog kemenparekraf (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) yang diselenggarakan selama sebulan (16 Novemver hingga 26 Desember 2012) dan berhasil mengumpulkan 39 pengalaman Kompasianer dalam menarikan tarian tradisional Indonesia. Hadiahnya? Tak sekedar Kamera Olympus! Thanks to everyone!
***
Mata saya bersinar membaca pengumuman lomba yang diadakan di Kompasiana bekerjasama dengan kemenparekraf. Soal tarian tradisional Indonesia? Ini Gana banget. Rasa nasionalis saya memang cenderung meninggi justru ketika berada di luar negeri. Saya mengenal dan menginjakkan kaki di luar negeri baru ketika berumur 19 tahun. Mengenal tarian sudah sejak umur 5 tahun. Saya baru bisa pamer ke orang luar negeri ("Ini, lho budaya Indonesia") setelah 14 tahun belajar tarian Indonesia. Sebuah waktu yang panjang dan berliku, bukan?
Bersyukur bahwa ketika berada di Jerman, ini tak pernah padam. Saya berhasil membagikan pengalaman saya lewat artikel „Pengalaman menarikan tarian tradisional Indonesia.“ Setidaknya mengundang 400 klik. Sudah bagus tuh, daripada tidak ada yang nge-klik. Hehe.
Hasil penjurian? Wow, bahagia, rasanya! Luar biasa, dari ke-39, hanya tiga yang terpilih. Berturut-turut pemenangnya adalah; saya, mbak Prakashita dan Imas.Selamat, ya? Tetap menari dan menulis.
Ini tak hanya saya nilai dari hadiahnya, yakni satu kamera saku jenis Olympus V350. Saya memandangnya sebagai sebuah penghargaan karya tulis saya dan kegiatan saya dalam menari selama ini. Saya harus catat ini, bukan sebagai gagah-gagahan melainkan memacu semangat hidup diri. Saya ingin mengisinya dengan sesuatu yang baik dan indah. Saya yakin, ini bisa menginspirasi kompasianer lain (yang ibu-ibu segera memupuk bakat dan minat anaknya, yang berstatus guru tetap ingat bahwa pelajaran kedaerahan bagi siswa masih penting, baik bahasa maupun seni dan pemerintah sendiri juga agar tak tanggung-tanggung mendukung program yang berhubungan dengan pelestarian budaya meski dalam skala sederhana dan lokal, namun sejak dini). Salut untuk blog competition yang diadakan. Semoga rutin, agar semua tidak akan lupa akan Indonesia.
Kejutan bagi saya, tak hanya berhenti sampai di kamera Olympus ini. What a surprise! Ada kiriman inbox ucapan selamat atas kemenangan ini dari mbak Imas, pak Tubagus Encep, mbak Fidiawati, mbak Mutiaraku, pakdhe Sakimun, mas Garendra dan kawan-kawan lain yang barangkali lupa saya sebut ... perhatian yang tulus tanpa diminta.
Baiklah. Lomba ini bukan yang pertama kali saya ikuti di Kompasiana, masih banyak lomba lain yang sudah saya ikuti dan saya tetap ingin mengikuti lomba-lomba di waktu mendatang. Tapi sungguh ... lomba ini sebuah godam pada kepala bangsa kita, kalau bangsa Indonesia tidak mengenal dan mencintai budaya sendiri (contohnya tarian tradisional), apakah harus belajar dari penari bule yang menggali ilmu di tanah air? Lebih parah lagi meng-copy paste budaya asing yang tidak sesuai. Oh, no! Dari ratusan ribu Kompasianer, setidaknya ada 39 yang telah menuliskannya. Jumlah yang hanya sekian persen tapi tetap memberikan angin segar. Semoga tidak akan pudar. Tidak. Tidak boleh. (G76)
Sumber: Tiga pemenang kemenaprekraf blog competition tarian tradisional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H