Dini hari. Waktu menunjukkan pukul 02.00. Pesta sudah bubar tapi masih ada beberapa tetangga yang nongkrong di restoran.
“Wah, kamu beruntung ... pestamu bakal diserbu dari klub Narren...“ Tangan suami menunjuk jendela kaca. Oh, no! Betul, rombongan Narren, habis ikut karnaval dan bus turun tepat di depan resto. Yup. Jerman sudah mulai musim karnaval Fastnacht. Klub yang tergabung di dalamnya biasa menyambangi karnaval di kota lain. Bisa ditebak, mereka sudah kemasukan alkohol dosis tinggi dan banyak ....
Tak berapa lama, orang-orang itu betul memasuki resto yang masih terang.
“Boleh kan kami masuk, mau minum.“ Seorang perempuan berambut pirang bertanya pada suami. Lima orang laki-laki mengitarinya. Mereka mengenakan pakaian kebangsaan mereka, besar dan warna-warni.
“Tanya sendiri pada yang punya gawe ... tuh.“ Tangan suami lagi-lagi menunjuk. Kali ini pada saya yang lagi otong-otong, angkat barang. Duhhh lagi repot, kok yo ada yang bertamuuu ....
“Maaf, Anda yang ulang tahun? Boleh kami ikut?“ Si cewek yang mukanya coreng moreng itu mendekat. Kepala saya mendongak. Maklum, saya pendek.
“Pestanya sudah lama bubar... tolong diskusi sama suami saya, ya ... saya sibuk. Barang-barang harus selesai diangkut.“ Cuek. Saya berlalu. Saya memang ngotot kalau ruangan bersih dan rapi seperti semula. Nggak mau gara-gara ngobrol sama orang pekerjaan terbengkalai.
“Mbak, aku wedi ... aku nunggu ning njaba wae.“ Windi, teman dari Schramberg yang kerja di FSJ, tempat anak cacat mental itu takut kalau ada apa-apa. Ia memang paling males ribut. Peace. Menunggu di luar resto.
“Ora popo ... ngko tak usire nek wis bar kabeh.“ Saya janji akan mengusir mereka setelah semua barang beres.
Benar. Tak berapa lama kemudian, kami selesai.
“Maaf ... waktu kalian habis. Silakan meninggalkan ruangan.“ Sudah sejam mereka duduk. Saya pikir sudah bagus saya baik hati membiarkan mereka meminum minuman dan memakan makanan sisa pesta. Tamu tak diundang.... Saya juga nggak kenal mereka.