Masih ingat dibenak ini ketika kanak – kanak ingin sekali memiliki kebaya atau baju-baju batik cantik seperti kepunyaan bulik R.Ay Narti Kusuma, sang penyanyi keroncong era 80–an itu. Seperti pepatah berakit – rakit kehulu berenang–renang ketepian, kata–kata ibunda saya masih terngiang di telinga “…kamu harus banyak belajar, bekerja dan menabung untuk mewujudkannya, tidak boleh asal tunjuk … tidak asal meminta …”.
Saat dewasa, saya mulai mengkoleksi pakaian tradisional dari berbagai negara yang saya kunjungi. Hingga akhirnya saya jatuh cinta dengan Dirndl, pakaian adat perempuan yang biasa dipakai bangsa Scwabish atau Bavarian. Saking mahalnya harga Dirndl yang mencapai ratusan euro, beberapa teman kenalan dan saya, memilih untuk membelinya dari Flöhmarkt alias pasar barang bekas yang diselenggarakan musiman, atau Ebay di internet.
Pada suatu hari di musim panas, kami berjalan-jalan menuju sebuah tempat yang letaknya 1 jam dari Rietheim, yakni butik Die Alb Ruft. Sebenarnya ada lagi butik tempat penjualan Dirndl yang terkenal, Graseger, di kota Garmisch – Patenkirchen, tetapi musti ditempuh selama 4 jam perjalanan dengan mobil. Rasanya tak nyaman untuk kesana, apalagi jika membawa anak kecil.
Akhirnya kami telah sampai di tempat yang terlihat sepi. Sebuah rumah kayu yang sunyi. Tak kami lihat pengunjung satu pun ditoko pakaian tradisional itu. Mulut saya komat–kamit membaca sesuatu. Terpampang sebuah kalimat dalam bahasa Jerman di papan kayu yang antik “Die Alb Ruft!Landhaus&Tracht” atau Alb Ruft, rumah dan pakaian tradisional di kota Alb Stadt. Turun dari mobil, saya pandangi bangunan berlantai dua yang terletak dipinggir jalan. Memasuki halaman yang nampak asri dengan bunga hangende Geranien (red: Geranien gantung) yang berwarna berani itu, membuat kami semakin ingin tahu koleksi apa yang ada di toko.
Sepulang dari sana, kami kegirangan mengenakan Dirndl dan mendokumentasikan aksi fotogenik di kebun belakang. Baju adat ini biasanya dipakai dalam setiap festival yang ada di Jerman seperti Oktober fest, Sommerfest, Dorffest, Freilicht village fest, Traditional Market, Stadt fest dan lain – lain.
„Hati-hati, Bu … kamu salah … pitanya harus di kanan. Du bist verheiratet und gar keine Witwe …“ suami saya buru-buru membenarkan letak pita dari tali celemek. Timpalnya lagi, karena saya sudah menikah talinya harus disebelah kanan, bukan dibelakang, yang berarti saya mengaku janda.
„Waduh, entschuldigung ja klar du lebst noch … mana tahu, Pak … ich bin Ausländer, von wo weise ich genau über die Schleife??“ Saya kaget, tak menyangka bahwa kebiasaan saya di Indonesia untuk membuat pita dari tali rok di belakang itu bisa menjadi salah tafsir orang di Jerman, bahwa saya menyatakan diri sebagai Witwe. Untung suami memaklumi, sorry.
[caption id="attachment_134881" align="aligncenter" width="652" caption="Cara mengikatkan tali Dirndl Jerman yang baik dan benar"][/caption]
Saya kembali memperbaiki letak tali celemek dari Dirndl. Wooooo jebule … Schleife rechts: verheiratet. Finger weg (red: untuk kanan bagi yang sudah menikah, harap tidak diganggu). Schleife links: noch ledig, flirten erlaubt (red: kiri bagi yang belum menikah, boleh digoda), Schleife vorne mittig: Jungfrau, vorsicht! (red: bagi perempuan yang masih perawan, biasanya tali diikatkan di bagian tengah depan, hati-hati porselen), dan Schleife hinten: verwitwet, tabuzone! (red: tali dibelakang bagi mereka yang menjanda, tabu). Namun saya tidak tahu mengapa di Steiermark dan Oberösterreich (red: Austria), wanitanya mengikatkannya di daerah tabu tersebut.
Mertua perempuan saya membenarkan, lalu mulai berceloteh tentang sejarah dari Dirndl atau baju tradisional Jerman dan Austria atau Bavarian. Tuturnya, Dirndl adalah baju perempuan yang ditiru dari Trachten atau baju tradisional masa lampau. Ini terdiri dari leibl atau atasan, blus, rok mekar dan apron atau celemek yang berwarna–warni. Lelaki memakai Lederhose atau celana kulit dengan tali mengelilingi punggung dan pundak, kemeja dan Hut.
Ceritanya, Dirndel dahulu adalah rok yang biasa dikenakan pembantu perempuan. Dalam bahasa Austria “Dirn“ berarti pembantu. Kata itu memotong kata Dirndlgewand atau rok pembantu. Namun, sekitar tahun 1800-an setelah Kaisar Franz Joseph membuat Lederhosen dan Tracht atau rok naik daun, kalangan bangsawan mulai meniru dan memodifikasi gaya pakaian ini sebagai pakaian modern dan mengenakannya di kala liburan musim panas.
Ah, senang dan bangganya … bangsa Jerman tetap melestarikan Dirndl dari masa ke masa, saya turut menikmati. Kalau melihat sejarah dari jaman Ur Omas (red: jaman nenek-nenek dahulu) hingga tahun 2011, banyak yang berubah, karena material, warna dan gaya/mode mulai dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai ide para designer lokal dan permintaan pasar.
Also … ich mag die Pinke (red: saya pilih merah muda). Suami saya suka gaya Bayern, apalagi dengan celana kulit berukir warna merah. Bagaimana dengan Anda? Oyoyoy … sebentar lagi Oktober fest, lho …
P.S: Re-post dari artikel saya di kompas.com pada hari Kamis, 03/08/2006, 11:37 WIB dengan berbagai revisi. Sumber gambar dari Prospekt, iklan dari rumah ke rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H