Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masih Adakah Tradisi Main Layang-Layang di Tanah Air?

24 Mei 2012   07:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:53 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami baru saja mengecat garasi. Atapnya yang rata kami ganti batu-batu kecilnya lantaran berlumut, sengnyapun kami copot ditukar dengan stainless steel karena karatan tingkat akut. Maklum sudah 36 tahun belum pernah diganti.

Begitulah, karena harga tukang mahal kami kerjakan sendiri.

Singkat cerita, kami berdua kelar mengecatnya usai beberapa jam menggerakkan tangan kanan kami ke atas dan kebawah, disengat matahari yang sedang terik.

„Pakkk, dulu aku suka layangan di atas gendeng rumah sama kakak-kakak loh, mana miring gak kayak punya kita ini, rata. Mama hat immer Drache gespielt … auf dem Dach, Kinder…“Saya juga berbagi cerita kepada anak-anak bahwa dahulu sering main layang-layang diatas genting.

„Ibuuu … kamu saru. “ Bapak mengolok-olok.

„Hiiy sarruu …“ Mbak Chayenne ikut-ikut.

„Kok saru tho, Pak.“

„Perempuan, di Indonesia memang boleh naik-naik? Klettern verboten ne.“

„Siapa bilang ? Perempuan boleh dan bisa juga main layang-layang, kok….“ Sembari menikmati hasil jerih payah kami, saya bercerita kepada suami dan anak-anak bahwa dahulu sering mendapatkan layang-layang tiban yang jatuh di loteng kami, lalu memainkannya. Maklum, kami tak dibiasakan dapat uang saku.

Hobi ini juga menjadi pilihan anak-anak umuran SD-SMP jaman saya kala itu.

[caption id="attachment_190193" align="aligncenter" width="655" caption="Bermain layang-layang ala Jerman"][/caption]

***

Sayangnya, beberapa tahun yang lalu saat mudik, tak kami temukan lagi kesenangan ini pada anak-anak kampung tempat saya dibesarkan. Belum pernah saya lihat seorang anak sedang menarik ulur benang, seorang anak membantu anak lainnya menaikkan layang-layang atau ketika kerumunan anak-anak berebut layangan dan salah seorangnya menjerit „WC, WC“ (red: saya yang dapat, loh). Kemana larinya tradisi bermain kertas terbang ini ?

Yang saya lihat adalah sebuah perubahan; odong-odong memenuhi lapangan kampung di depan rumah, dimana anak-anak bisa menaiki figur binatang yang berputar lantaran pedal dikayuh si penjaja. Duh, musiknya kenceeeeeeeeng banget, seh, Pak?

Sedih rasanya jika memang budaya ini telah tergantikan oleh yang modern dan canggih. Mulai dari PS, Nintendo, Handy, Ipod bahkan Ipad-kah ??? Huwaaa ….

Syukurlah di tempat tinggal orang tua saya yang kota tapi pinggiran, masih ada dokar keliling untuk anak-anak. Layang-layang tak melayang, delman tetap datang. That sounds good.

***

Sementara di Jerman, budaya main layang-layang ini selain marak di kampung-kampung sekitar bulan September, bahkan menjadi sebuah tradisi turun temurun yang dipadu dalam sebuah festival.

[caption id="attachment_190197" align="aligncenter" width="576" caption="Alibaba ..."]

1337843794782327157
1337843794782327157
[/caption]

Festival yang biasanya disebut Drachenfest di Leibertingen, biasa dirayakan pada bulan September dimana angin bertiup sangat kencang, sebagai faktor penunjang keberhasilan layang-layang terbang tinggi. Tak heran jika kami memiliki banyak koleksi layang-layang.

[caption id="attachment_190199" align="aligncenter" width="613" caption="Ini Tom, mana Jerry?"]

13378441111052414817
13378441111052414817
[/caption]

Perayaan layangan itu dimulai sejak tahun 2007, festival layang-layang keluarga yang selalu dirayakan hingga tahun 2011 yang lalu. Tahun 2012 ini telah direncanakan 6. Familiendrachenfest dimana beraneka ragam layang-layang raksasa dipertontonkan hari sabtu-minggu (15 dan 16 September 2012). Wah, tak sabarrrr … ada model becak nggak ya?

[caption id="attachment_190205" align="aligncenter" width="585" caption="Jaws ..."]

13378443731653829733
13378443731653829733
[/caption] [caption id="attachment_190208" align="aligncenter" width="587" caption="Regenbogenfisch "]
1337844759457154418
1337844759457154418
[/caption]

Yang menarik dari festival adalah kita bisa melihat layang-layang raksasa berbagai model dan warna. Anak-anak bisa ikut asyik menonton bahkan menaikkan layang-layang pribadinya pula, sekedar membantu penaikan layangan peserta, atau main foto saja.

[caption id="attachment_190206" align="aligncenter" width="590" caption="Si Octopus"]

13378444821728587500
13378444821728587500
[/caption]

Memang dilihat dari bentuk layang-layangnya, jenis yang dahulu saya gauli waktu kecil berbeda. Mereka memakai bahan layaknya parasut sedangkan jaman saya kecil dahulu berasal dari kertas. Begitu pula senur (red: benangnya), yang mereka pakai kok lain dari yang sering saya pakai/lihat waktu kecil? Nampaknya lebih kuat tak gampang rantas. Desain dan warnanyapun bak pelangi dan lebih kreatif. Oi oi indahnya angkasa yang biru! Tapi … hiks tengkuk saja yang capek menatap langit tamat-tamat karenanya.

[caption id="attachment_190198" align="aligncenter" width="553" caption="Indah, tapi tengkuknya capek "]

13378438671188477220
13378438671188477220
[/caption]

Pfff … angin tak hanya meniup layang-layang dengan kencang, manusianya merasakan hembusan angin yang menendang. Oha! Untung jaket menemani badan meski akhirnya … masuk angin ! (G76)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun