Kartu pos dari kompasianer Parastuti di Jepang mendarat di Jerman. Wow, senangnya. Menambah koleksi dan tentu menjaga silaturahim maya. Eh, sebentar, ada yang lebih menarik. Gambar kartu posnya unik. Ini tradisi onsen kuno, pemandian air panas di mana orang-orang yang biasanya sejenis kelamin, akan mandi bersama-sama. Dan psssst ... telanjang! Bagaimana rasanya mandi salome, satu lubang rame-rame seperti ini? Menurut orang Jepang, tradisi ini untuk menjaga silaturahim dan memanfaatkan waktu bersama. Bagi saya ... ini ngeri-ngeri sedap ....
[caption id="attachment_346920" align="aligncenter" width="422" caption="Kartu pos unik dari mbak Parastuti"][/caption]
**
Ofuro
Pertama kali ke Jepang, saya dijamu seorang kawan yang sering ke Semarang. Di rumahnya yang tiga tingkat di Yokohama itu, ada Ofuro, tempat berendam. Bentuknya seperti bak orang Indonesia tapi tanpa porselen. Tingginya sepusar. Posisi mandinya, duduk.
“Gimana, lelah dari perjalanan, mau segar? Mandi ya? Tuh, silakan nyebur“ Teman saya menunjuk bak yang ditutup di kamar mandi. Saya sentuh airnya, hangat, “Tapi jangan pipis di lantai seperti di rumahmu, ya?“ Dia ingat betul, waktu di Semarang, ada peraturan di rumah kami, tempat dia menginap bahwa boleh pipis di lantai asal diguyur dengan air hingga bersih. Di Jepang, tidak boleh.
“Hahaha ... Nggak deh, makasih.“ Saya masih bingung. Saya harus berendam di bak itu? Tidak begitu dalam memang, tapi rasanya aneh saja. Tidak terbiasa. Saya lebih memilih mandi bebek dengan wash lap, sikat gigi dan pakai deo serta parfum. Habis perkara.
Fantasi saya mengawang. Membayangkan teman saya mandi berendam bersama ibu dan saudara perempuannya rame-rame. Waduh!
Ofuro ini juga dimiliki kawan perempuan saya yang satunya lagi di Tokyo. Dan ketika saya pindah ke rumahnya, saya tetap tidak bisa dengan legawa masuk Ofuro. Oh, no!
Sento
Pemandian air panas di tempat umum ini terlihat lebih modern, saya temukan di Youth center Tokyo. Pertemuan yang diadakan di sana didanai oleh lembaga Asia Eropa dan NICE Jepang. Selama tinggal di sana, kami boleh mandi di tempat umum setiap hari. Yang laki-laki sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri. Sendiri-sendiri.
Hanya saja, yang membuat saya geleng kepala, saya harus telanjang. What? Tanpa baju selembar pun bareng orang banyak? Gak salah? Teman-teman tersenyum dan menjelaskan bahwa ini sudah biasa dan menjadi budaya bangsa kekaisaran Jepang sejak dulu.
Butuh waktu lama untuk membuka baju satu persatu sampai tak ada lagi yang ada di badan. Semua saya lipat rapi di rak yang tersedia di depan pintu, saya ganti dengan handuk. Selanjutnya, ruangan putih seperti berasap dari air panas. Saya duduk berjajar rapi bersama wanita-wanita lain itu. Kemudian, setelah duduk di atas salah satu dingklik, kursi kayu kecil dan pendek, saya pandangi tubuh saya yang telanjang. Kaca di depan saya itu saya amati lagi, di sana juga menampakkan tubuh wanita di belakang saya. Ada yang bentuk pir, apel, tomat atau blewah. Saya lirik wanita di sebelah kanan dan kiri saya. Saya sempat menangkap pemandangan bagian intim mereka. Bentuk dan warnanya beraneka ragam. Mereka putih mulus, saya sendiri yang gosong. Ohhh, toloooong, semua bugil! Untung, saya tidak teriak-teriak. Haha.
Saya mencoba menenangkan diri. Kalau tidak mandi, bau kan? Padahal kegiatan kami selalu full dari pagi sampai petang, sampai larut malah. Tangan saya mulai sibuk menuangkan shampoo, menggunakan sabun dan penggosok badan. Ini adalah ketentuan sebelum nyemplung di kolam air panas berwarna jernih itu. Harus benar-benar bersih. Samar-samar saya dengar wanita-wanita di sebelah kiri-kanan sedang menggosip. Mereka menghadap kaca masing-masing, sembari tetap sibuk gosok-gosok ini itu. Saya tidak paham seluruh percakapan mereka karena bahasa Jepang saya little-little I can. Jeritan manja teman-teman yang sudah sedari tadi nyebur di kolam membuat saya ingin segera bergabung ... Ember kecil dari kayu, kran dan shower serta peralatan mandi sudah saya rapikan. Saya sudahi acara bersih-bersih dengan telanjang rame-rame itu. Air guyuran sudah mengalir mengisi parit di lantai yang tertutup teralis itu. Lalu, saya tutupi bagian payudara dan bagian bawah tengah, menuju kolam.
“Kenapa Gana, sakit ya?“ teman yang baru saja datang nyengir. Halah, tidak tahu orang bingung dan malu apa, ya?
“Nggak, cuma malu.“ Dan gemparlah ruangan. Mereka mentertawakan saya. Hehe ... lain ladang lain belalang memang. Kalau di Indonesia, telanjang di tempat umum itu tabu, saru atau tidak sopan, di sini adalah sebuah budaya yang dimaklumi.
Gimana, siap menerima tantangan mandi di Jepang pakai Ofuro, Sento atau Onsen (tempat pemandian umum dengan air panas dari perut bumi)? Ikut mbak Parastuti saja, pasti kapok lombok ... (G76)
Ps: Arigatou gozaimasu, Parastuti san. Kartunya, unik. Tunggu kartu saya, ya? Semoga disertasinya kelar dan segera mengemban tugas dan kerjaan menyenangkan selanjutnya. Bangga mengenal wanita sepertimu. Wanita Indonesia bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H