Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Malu Bertanya Sesat di Jalan

6 Mei 2014   22:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_334982" align="aligncenter" width="160" caption="Pohon segedhe Gaban di depan toilet umum bonbin."][/caption]

Antwerpen. Kota kedua di Belgia yang saya kunjungi. Kali ini tidak sendiri, bersama keluarga. Hari yang cerah, tidak seperti tempo dulu di Brussel.

Tiga jam-an kami keliling kebun binatang Antwerp yang umurnya sudah seratus lima puluh tahun itu. Tak terlihat sama sekali tanda-tanda ketuaan, kalau saja mata saya tak melihat pohon-pohon segedhe gaban itu, di mana-mana. Semuanya nampak terlihat baru, terawat dan indah. Itu kesan yang membuat saya mengira, kebun binatang ini masih anyar dan dibangun pada jaman modern.

Karena hari panas, kami banyak minum. Sudah setidaknya tiga kali kami bolak-balik toilet. Dan seperti biasa, antriannya selalu lebih panjang di toilet perempuan daripada laki-laki. Waduh! Tanya kenapa?

Antrian yang dijalani pertama dan kedua kali, tidak ada yang istimewa. Nah, pada antrian yang ketiga ada kejadian yang saya ingin bagi untuk mengingatkan saya lagi bahwa benar kata pepatah; malu bertanya sesat di jalan ....

Antri panjang itu dipenuhi warga negara dari berbagai bangsa. Dari bahasa yang mereka gunakan ketika antri, mengobrol dengan temannya, saya taksir mereka berasal dari Turki, Rusia, Belanda dan Jerman.

Duuuh, antri tak kunjung pendek. Baru setengah jam kemudian, saya ada di barisan nomor dua. Di depan saya, ada perempuan tinggi besar. Entah dari mana asalnya, karena dari tadi dia tidak bicara sama sekali. Pintu-pintu toilet yang berjumlah lima itu tak juga terbuka. Eh, sebentar ... di bagian terujung, di depan sana ... kok, pintunya menganga ... berarti kosong. Ah, iyaaaa ... saya tahu sebabnya. Itu adalah toilet anak-anak. WC sit-nya rendaaaaah sekali. Sedengkul anak-anak, bukan dengkul dewasa. Saya tersenyum dan segera melewati perempuan di depan saya, sembari berkata dalam bahasa Jerman, “Ahhh di depan sana, kok tidak ada orang ... dari tadi saya amati tidak ada yang mau masuk ... masuk ahhhh.“

Apa yang terjadi? Perempuan yang ada di depan saya segera mengejar saya. Mencolek pundak saya yang sudah hampir memasuki toilet mini itu. Saya tidak tahu apa katanya, sepertinya bahasa Perancis (bahasa yang pernah saya pelajari waktu SMA, sudah banyak lupaaa). Kira-kira, dengan tambahan mimik lewat petunjuk tangan dan mata si perempuan, terjemahannya adalah begini;

“Ini giliran saya.“

“Iya dari tadi saya amati, setengah jam, tidak ada yang masuk. Kamu juga tidak. Yaaa ... saya manfaatkan daripada ngompol.“ Saya menjawab dengan bahasa Inggris.

“Lho, saya kan di depan kamu. Harusnya saya duluan.“

“Oh, iya ... ya ... silakan.“ Saya tersenyum. Saya tahu dia akan kaget melihat toilet yang tertutupi badan saya. Bentuknya mini, untuk anak-anak.

“Walahhh ... kok pendek sekali. Mana bisa?“ Saya menangkap kata „petit“ yang berarti kecil. Si perempuan geleng-geleng kepala. Ia tampak kaget melihat toilet duduk yang kayak mau jatuh ke tanah. Badannya terlalu besar dan ketinggiannya akan menyusahkannya untuk duduk dan berdiri lagi nanti. Ia berlalu dan mempersilahkan saya untuk kembali masuk ke toilet itu.

“Terima kasih.“ Saya kembali tersenyum dan mengucapkan merci beaucoup. Memasuki toilet mini dan a nature call.

[caption id="attachment_334983" align="aligncenter" width="320" caption="Toilet seupil ... biasa untuk anak-anak."]

13993636141228778180
13993636141228778180
[/caption]

***

Dari kejadian di atas, ada pelajaran yang saya pahami bahwa memang seharusnya saya bertanya dulu pada perempuan itu, “Bolehkan saya duluan? Toilet di depan sana, dari tadi terbuka tapi tidak ada yang masuk. Saya kira, Anda tidak mau. Bagaimana?“ Sayangnya, saya mengambil inisiatif tanpa bertanya. Meski berkomentar sebelum melangkah, pasti dia tidak paham bahasa saya.“

Atau si perempuan tadi sebaiknya bertanya kepada saya; “Ini giliran saya. Mengapa kamu masuk duluan?“, untuk mengetahui alasan saya beraksi nekat nglangkahi perempuan yang tiga kali badan saya itu.

Pada hakekatnya, bertanya adalah sebuah aksi dari hasrat untuk mengetahui sesuatu karena ketidakmengertian, keingintahuan. Agar tidak menimbulkan salah paham. Supaya ada komunikasi dua arah. Ada orang yang dengan mudah bertanya tanpa disuruh, ada pula orang yang sungkan, enggan, malu atau malas bertanya dengan beragam alasan.

Oh. Belajar dari kejadian di toilet umum bonbin di alun-alun Antwerpen. Perasaan malu, malu-maluin dan dipermalukan, biasa terjadi dalam kehidupan. Tapinya, saya ingat bahwa betul sekali ... malu bertanya, sesat di jalan. Tidak boleh malu bertanya. Selamat pagi. (G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun