Jerman. Negeri ini memang banyak mengajarkan saya soal tata tertib dan kedisiplinan. Awalnya memang susah, tetapi kalau mau belajar bisa kok, kalau niat. Pada awal kepindahan ke Jerman, saya memang agak keponthal-ponthal, susah menyesuaikan. Akhirnya niat itu ada dan selalu terpatri di otak ini.
Masih ingat cerita saya soal ditinggal kereta api atau bus dalam hitungan detik atau menit? Salahnya sendiri telat. Untuk itulah, saya usahakan untuk minimal 5 menit sudah berada di tempat. Lebih baik saya yang menunggu daripada saya ditinggal ... haha.
Napoleon memang bukan orang Jerman, tapi kebiasaannya untuk lima menit datang lebih awal, banyak ditiru orang Jerman. Termasuk saya yang sudah sejak kecil juga jadi orang Jerman (jejer Kauman, dekat kampung Kauman).
Nah, karena kebiasaan lebih awal tadi, saya jadi punya cerita menarik; masuk kelas 1 menit lebih awal ... tidak boleeeeeh.
Anak nomor satu pergi ke sekolah pakai bus. Yang nomor dua biasanya jalan kaki PP. Kalau sedang malas, ia saya berangkatkan bareng adik bungsu. Three in one, satu mobil tiga orang. Seperti Jakarta dong, ya?
Nah, SD memang masuk pukul 07.45, sama dengan anak TK yang reguler. Ada sih, TK yang masuknya jam 07.00-16.00, bayarnya kira-kira 200€ per bulan (plus bea makan siang). Yang reguler hanya 80€ untuk anak pertama, 60€ untuk anak kedua dan 40€ per bulan untuk anak ketiga. Semakin banyak anak yang dimasukkan ke TK itu, semakin murah atau turun harganya. Banyak anak, banyak rejeki kan?
Kalau begitu, sekali menyopir dua anak diantar. Kami berangkat pukul 07.30 dari rumah. Butuh sekian menit untuk keluar garasi, memasang sabuk pengaman anak-anak. Perjalanan dari garasi ke depan sekolah, 5 menit (kalau jalan 15 menit untuk dewasa dan 20-30 menit untuk kaki ukuran anak-anak). Selain itu butuh sekian menit dari depan sekolah untuk masuk ke kelas masing-masing. Karena sudah terbiasa, saya tidak melihat jam. Biasanya pas.
Yang SD, ia akan keluar mobil dan menuju pintu utama sekolah, mengganti sepatu dengan sandal untuk dikelas dan menggantungkan jaketnya. Lalu menggotong tas ke tempat duduk.
Yang TK, kadang rambutnya harus dirapikan lagi karena tadi terburu-buru. Mengganti sepatu dengan sandal, melepas jaket. Kemudian, pipis lagi biar tidak ngompol sampai siang. Menyikat gigi kalau kelupaan (saya sediakan di kolom tempat ia menggantungkan jaket). Pokoknya banyak la-li-lu deh, jadi meskipun datang sangat awal barang 5-10 menitan, bisa masuk kelas tepat pukul 07.45. Tidak kurang dan tidak lebih.
Suatu hari, kami naas:
Semua sudah siap. Seorang ibu dengan dua anak lelakinya, telah lebih dulu datang. Anaknya dia sudah siap, eeee, dia duduk di bangku depan kelas. Tanya kenapa? Malu bertanya memang sesat di jalan.
Kami PD masuk ruang kelas Grüneck.
“Ayo, kasih tangan sama bu guru.“ Kata saya dalam bahasa Indonesia. Si ibu melongo, tapi ia nampaknya mengerti sambil memberikan salam pada si anak dan menghampiri saya.
“Es soll um drei viertel sein...“ Bu guru bertubuh penuh itu mengatakan bahwa waktunya masuk ruang kelas itu pukul 07.45 tepat.
“Es ist jetzt, rightig?“ Saya tetap ngeyel, merasa benar bahwa sekaranglah waktunya. Xixixi.
“Nein, es ist noch paar Minuten.“ Ibu guru yang berangkat ke TK naik sepeda dengan keranjang itu menggelengkan kepalanya.
“Aber die Wanduhr ist schon 07.45.“ Saya menunjuk jam di dinding yang telah menunjukkan tepat pukul 07.45.
“Aber meine noch nicht ... noch 1 Minute“ Si ibu lagi-lagi berargumen. Ia menjelaskan bahwa jam tangannya belum 07.45 tapi 07.44. Saya diminta menunggu di luar sampai teng!
....................
Saya tersenyum. Dari adu argumen tadi, tak terasa, membuat waktu berjalan tepat 07.45. Yang berarti, kami boleh masuk. Alhamdulillah ...
Setelah ia masuk kelas, saya pergi. Sesampainya di rumah saya lapor suami. Wadul nih yeee ...
“Pak, tadi anaknya nggak boleh masuk kelas TK ...“ Saya mendekatinya yang minum kopi. Saya seduh teh.
“Warum? Seid ihr so spät?“ Ia masih meneruskan pencet-pencet HP sembari menanyakan sebabnya; apakah kami terlalu terlambat. Batas terlambat masuk di TK adalah pukul 09.00. Setelah itu, anak tidak boleh masuk ruang kelas, di rumah saja meskipun sudah bayar. Kalau SD gratis, kalau telat, dimarahi, diberi peringatan dan Stricht (catatan khusus pada buku hitam sekolah).
“Zu früh 1 Minute. Padahal jam di mobil malah lewat 5 menit. Jam dinding kelas sudah pas. Jam tangan ibu guru kelasnya yang kurang satu menit.“ Saya nyerocos bahwa kami terlalu awal datangnya.
“Ohhh ... dann nächste mal kaufen wir die Funkuhr. Eine für Wand und eine für die Erzieherin. Bagus kan?“ Suami saya usul bahwa lain kali kami membelikan jam otomatis untuk dinding dan satu untuk ibu guru. Biar klop, tidak ada perbedaan. Funk Uhr atau jam yang secara otomatis diset lewat satelit itu, akan selalu sama entah waktu musim panas atau musim dingin (di mana waktu di Jerman diubah; ditambah satu jam atau dikurangi satu jam). Detik, menit dan jamnya akan selalu sama. Seragam seluruh dunia. Suami saya menambahkan bahwa maksud si guru juga baik karena menyangkut soal asuransi, kalau terjadi apa-apa di kelas yang belum jamnya tapi jadi tanggung jawabnya. Saya mengangguk.
[caption id="attachment_367527" align="aligncenter" width="438" caption="Funk Uhr, sesuai satelit dan bisa seragam jam, menit dan detiknya."][/caption]
“Wahhhh kamu pinter, paaak ... hahahaha“ Kami pun tertawa bersama. Oh, itu akanmenyelesaikan masalah tanpa masalah? Argggh, yang penting, ini hari Minggu. Besok hari Senin, saya tidak boleh telat masuk kelas dan tidak pula lebih awal, meskipun sak menit! Sebab di Jerman, orang harus selalu tepat waktu; tidak kurang dan tidak lebih. Pas! Beda dengan waktu saya di Indonesia yooo. Selamat siang. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H