Gaganawati Stegmann, Tahu Gimbal, Semarang (Jateng)
Sesuai rencana, tepat tanggal 22 sore, kami menggelar talk show untuk memoir buku "Bertahan di Ujung Pointe" (Terima kasih kepada Kompasianer yang hadir).
Satu hari sebelumnya, pagi-pagi, rombongan sudah sampai di hotel. Siangnya mbak Jetty Maika nanya "Enaknya makan apa, ya Gana?" Waduuuh lahir, besar dan pernah tinggal lama di Semarang, maluuuu kalau jadi guide dadakan nggak tahu keistimewaan kota sendiri. Kurang piknik kuliner? Yaaaaaa sudah lama nggak tinggal di Semarang, saya coba peras otak lagi mengingat apa saja kuliner istimewa kota ATLAS yang pantas untuk direkomendasikan turis diaspora (pernah tinggal di Jakarta, Malaysia dan kini di USA).
"Aduhhh apa yaaaa...?" Terlintas di pikiran saya, soto Bangkong! Ah, dari hotel agak jauuuuh. Musti ke perempatan Bangkong sana. Mana jalanan macet, puanasss. Mau jalan kaki saja ah, yang deket Simpang Lima, sudah lapar. Ah, iya, dulu waktu kerja di Jatayu FM sering beli bakso kumis di Matahari. Pindah ke Smart FM, sering beli bakso di warung deket container sampah, depan Baiturahman. Masih ingat kan kisah warung sampah yang saya pernah ceritakan di K? Itu ada di gang sempit deket gedung HSBC. Mengapa warung sampah? Bukan menyediakan makanan sampah, tapi warung terletak di sebelah container sampah! Ealahhhhh...
Tahu Gimbal
Oh iya ... kenapa tidak Tahu Gimbal saja! Bakso pasti biasa, kalau Tahu Gimbal? Pasti luar biasa, namanya itu lho ... sudah gitu pedes, manis dan guyih rasanya! Lagian, lokasi paling deket. Dari Hotel Graha Santika, kami (mbak Jetty, mas Simon suami mbak Jetty dan saya) jalan kaki 5 menitan. Melewati toko buku Gramedia lalu menuju trotoar yang bebas dari PKL. Sak nyuk. Asyik juga jalan ke sana. Semarang memang sudah ditata rapi bundarannya. Nggak kayak dulu. Joss gandos, deh.
Oh ... di tikungan sampai di sebelah warung, kami melihat masjid Baiturahmann, di mana ada TK HJ. isriati tempat saya pernah ngajar bahasa Inggris. Dan ...
"Horeeee ... Tahu Gimbalnya sudah buka!" Tadinya saya sudah deg-degan dan khawatir bahwa jam 5 sore belum buka, kan masih terang. Biasanya PKL deket situ buka kalau sudah gelap. Letak warung lesehan persis di depan masjid Baiturahman, di sebelah kiri pintu gerbang utamanya. Si bapak (pak To) menunggu di gerobak, pembeli silakan duduk di atas tikar menghadap lingkaran simpang lima. Setelah pesan makanan, ibu penjual minuman es teh menawarkan dagangannya. Segar!
Sembari menunggu Tahu Gimbal masak, kami coba sedot es teh sambil mikir esnya air matang apa air mentah? Ya sutralah, Semarang kota pantai. Puanassssss ... langsung minum saja, tak usah mikir lagi, takut dehidrasi. Semoga nggak sakit perut (emang). Sembari memandangi si bapak goreng-goreng dan meracik makanan, kami ngobrol. Tak berapa lama, Tahu Gimbal sudah tersaji. Wow .. rasanya luar biasa. Lekker, kata orang Jerman.
Saya pikir, masakan ini khas karena ulegan sambal kacangnya yang mirasa, nendang bumbunya mantab. Gorengan bakwan, telor mata sapi dan kerupuk! Tahu, gimbal urang (goreng tepung terigu dengan udang dan bumbu), kol putih diiris tipis dan direndam air biar layu. Kriukkkk, ada krupuk! Tanpa krupuk, dunia kurang meriahhh.