Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Saya Selalu Ingin Pulang, Gunung Itu Terbentang

1 Maret 2014   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eyang kakung saya dari garis ibu, adalah seorang pejuang PETA. PEmbela Tanah Air. Kalau almarhum memperjuangkan hidup untuk membela tanah air, saya di sini berjuang untuk tetap betah hidup, menegakkan kepala dan memandang lurus ke depan. Jalan masihlah panjang.

Bagaimanapun, keinginan selalu pulang ke kampung halaman itu selalu ada. Tak pernah bisa dibendung. Yang bisa saya lakukan adalah menghibur diri dengan kegiatan yang baik dan bermanfaat tak hanya untuk saya tetapi juga barangkali untuk banyak orang.

Dan ketika rasa ingin pulang itu mencapai titik klimaks, gunung di ujung gang itu selalu memeluk dan tersenyum seolah-olah menyapa, menyadarkan diri. “Anugerah ini tak semua orang punya, bersyukurlah ....“ Hingga akhirnya, saya jadi tahu bahwa ’rumah’ adalah tempat dimanapun di dunia ini ... di mana kita merasa nyaman.

[caption id="attachment_325244" align="aligncenter" width="538" caption="Ingin pulang, gunung terbentang (lokasi: Seitingen, Jerman)"][/caption]

***

„Tidak, kamu pergi sendiri saja. Kami tetap di sini dan akan menunggumu dua tahun lagi.“Kepala saya menggeleng. Saya menolak ajakan suami untuk ikut pindah rumah karena tugas. Tak terbayang kehidupan negeri semaju Jerman yang saya yakin jelas-jelas akan bertolak belakang dengan negeri kelahiran. Saya memang gemar travel. Tetapi saya tahu pasti bahwa saya tidak akan betah lama-lama di negeri asing. Indonesia tetap menjadi primadona di dalam hati. Sedangkan rekor terlama di luar negeri hanya tiga bulan saja. Belum pernah saya meninggalkan Indonesia lebih dari waktu itu. Makanya, saya sangsi, saya tidak akan sanggup hidup di Jerman selama dua tahun. Meninggalkan orang tua, saudara, teman, semua hal dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam hidup saya? Jelas tak mungkin. Apalagi melepas karir yang sudah saya rintis sejak muda? Meninggalkan semua aktivitas yang pernah membuat saya 'terbang', begitu menyala dan menikmati hidup (meski dengan cara yang sederhana)? Ohhhhh ... Lantas, saya harus bagaimana? Menangis? Tidak, saya tidak boleh menangis. Justru saya seperti sapi dicocok hidung. Selanjutnya, tak ada ba bi bu ... kami ambil langkah seribu.

Sebelum benar-benar berangkat, saya soroti lagi mata suami saya yang romantis itu. Dia tahu, mata saya tak bisa berdusta. Kepedihan itu ada di sana. “Sa-ya-ha-rus-me-ning-gal-kan-In-do-ne-sia. Sa-ya-ti-dak-bi-sa. Sa-ya-i-ngin-ting-gal-di-si-ni.Ta-pi-sa-ya-tak-bo-leh-e-go-is-dan-ha-rus-bi-sa-kom-pro-mi.“

Asa. Itu yang suami saya janjikan kepada saya. “Kita pasti kembali ke Indonesia, sayang.“ Rencananya, suami hanya dua tahun kontrak di perusahaan Jerman di Jerman dan kembali ke Semarang. Ya. Perusahaan berjanji akan membuka pabrik cabang di Semarang. Walaupun pada akhirnya, proyek itu gagal dan kami menetap di Jerman sampai hari ini!

Saya kesal, saya marah! Tapi harus bagaimana? Ya, harus dijalani. Oh, Indonesia ... jauh di mata dekat di hati.

[caption id="attachment_325247" align="aligncenter" width="574" caption="Kesal ....(lokasi: Stuttgart, Jerman)"]

1393583414789328058
1393583414789328058
[/caption]

***

Tahun ketiga. Suami saya mengerti perasaan saya, iapun membelikan tiket untuk pulang bersama anak-anak. Untuk ini, butuh dana yang besar, tidak seperti membalikkan telapak tangan. “Siapa bilang semua bule kaya, tinggal ambil uang dari pohon?“ Ini seperti halnya pertanyaan, “Siapa bilang semua orang Indonesia miskin? Mobil dan tas mewah bertebaran di mana-mana!“

Beruntung ibu saya memahami kondisi kami dan menyarankan hanya sekali dalam 2-3 tahun pulang saja, tak harus setahun sekali. Selain repot dengan anak-anak lantaran perjalanan jauh, 16-24 jam sampai Semarang, juga jatuhnya mahal. Ibunda saya bahkan menyarankan untuk ditabung saja uangnya. Eman-eman, sayang .... Begitu pula, saat kami mengundang mereka travel ke Jerman. Tak semudah dalam bayangan hingga sampai hari inipun belum menjadi kenyataan.

***

Begitulah, hari demi hari, kami jalani dengan sabar. Kami lupakan impian kembali ke Indonesia. Kami menikmati hari yang ada. Ya, sudah. Kita tinggal di sini!

[caption id="attachment_325250" align="aligncenter" width="490" caption="Tinggal di sini? Tetap kuat! (lokasi:museum Mercedez Benz Stuttgart)"]

1393583970149192718
1393583970149192718
[/caption]

Mulai dari kursus bahasa Jerman, kursus menyetir untuk mendapatkan SIM seharga 2000€ itu, ikut beragam klub, mengeblog, mengajar tarian Indonesia, mengajar bahasa Inggris di bimbel,  menulis buku, gelar pameran kartu pos saat sempat mudik, ikut lomba ngeblog, ikut lomba foto, menyelenggarakan pameran foto bersama kampretos ... telah saya jalani dan masih banyak rekaan rencana dalam pikiran saya untuk mengusir dentuman kata “Pulang, pulang, mau pulaaaaang“ .... Dan betul, semuanya menjadi tamba ati. Meredam keinginan pulang yang selalu menderu-deru setiap hari. Semuanya menjadikan saya tahu: di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung. Langit Indonesia barangkali lebih biru, di sini paling sering berkelir kelabu .... Namun tak ada yang lebih indah dari saat semua anggota keluarga berkumpul di manapun itu. Entah di Indonesia ataupun di Jerman.

[caption id="attachment_325251" align="aligncenter" width="518" caption="Pemandangan di ujung gang rumah pada satu musim. (lokasi: G.Karpfen,Jerman)"]

1393584033742579896
1393584033742579896
[/caption]

Dan ... Lihatlah. Inilah gunung di ujung gang rumah. Yang seolah-olah menjadi milik kami setiap hari. Itulah pemandangan yang tak perlu dana travel jutaan rupiah untuk relaksasi. Hanya butuh setengah jam untuk mendakinya dari restoran yang ada di kaki gunungnya. Kalau malas mencapai restoran yang hanya 5 menit ditempuh dengan mobil itu, Tinggal melayangkan pandangan mata dari dapur, melalui kisi-kisi kaca pintu dan jendelanya. Di empat musimnya, gunung ini semakin cantik saja. Luar biasa.Terima kasih, Tuhan! Hikmah jauh dari Indonesia, gunung terbentang.

Dulu memang pernah kami tinggal di sebuah wilayah Semarang yang bisa memandangi tiga gunung di Jateng. Tetapi tidak seindah dan sedekat yang ini. Meski udaranya lebih dingin, walau temperatur udaranya lebih rendah ... dan lagi, tak banyak penduduk di sana-sini. Sepi, sunyi, senyap, sendiri .... oh, benar adanya bahwa tidak semua di dunia ini bisa kita miliki dengan sempurna, lebih baik melihatnya dengan sempurna.

Sudah bertahun-tahun saya tinggal di sini. Di sebuah negeri makmur yang orang Indonesia kenal dengan negeri “Diatas Segalanya“, negara maju yang modern, disiplin, sempurna dan entah apalagi julukan yang bisa dipadu-padankan padanya. Awalnya, sungguh sangatlah tak mudah untuk tinggal di negeri yang memiliki aturan serba eksak. Pepatah alah bisa karena biasa, terbukti. Saya mencoba beradaptasi. Saya berusaha menyukai untuk tidak berjingkat-jingkat di sini. Saya mencoba berjalan dengan rasa nyaman. Ketika rasa kangen itu bergejolak. Saat keinginan untuk pulang itu selalu mendera. Saya pandangi gunung yang juga menjadi tempat wisata lokal warga Jerman seantero raya. Wadah para cowboy mini sampai dewasa belajar bermain kuda di sebuah ranch, peternakan kudanya, sebuah hotel dan restoran yang istimewa. Banyak orang berjalan-jalan di sekitarnya, sebuah tempat ski mini juga tersedia saat salju tiba. Harga kartunya murah meriah. Sebuah peternakan domba di sebelah resto yang menyajikan kue dan keju asli ada di sana pula. Tebaran ladang seperti Raps yang biasa menguning untuk dijadikan bahan pembuat minyak goreng atau margarin, gandum, jagung, bunga matahari ... Mempesona! Burung elang dan burung lainnya yang malang-melintang terbang, kelinci liar, Fuchs yang mirip serigala mini, babi hutan, sungguh kebun binatang alami yang amat terjaga. Pemandangan dari puncaknyapun, amboi indahnya! Bersih, teratur, alami, terjaga sepanjang masa ....

Jarak tempuh gunung ini dari Stuttgart adalah satu jam, atau 3 jam dari Frankfurt (biasa banyak penerbangan dari Indonesia tiba di airportnya), atau dari Zürich, Swiss memakan waktu 1,5 jam. Transportasi bisa kendaraan pribadi, KA atau bus umum).

[caption id="attachment_325253" align="aligncenter" width="553" caption="Bis kota-bis kota, Indonesia-Jerman sama sajaaaa ...."]

1393584154142471267
1393584154142471267
[/caption]

Jerman, hai Jerman ... betah tak betah, di sinilah tempat saya berjuang, sekaligus membawa nama Indonesia, memperkenalkannya. Ya, saya orang Indonesia! Saat ingin pulang, gunung itu selalu terbentang. Jadi untuk sementara ... saya masih ada di sini. Selamat pagi. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun