Mengeluarkan kata-kata kotor di negara manapun memang sudah lazim didengar. Tidak hanya di Indonesia, selama di Jerman kata-kata yang tak pantas diucapkan menggelitik telinga saya. Entah itu, diproduksi oleh orang dewasa atau anak-anak.
Saya mencoba mendeteksi, kebiasaan ini adalah bawaan dan kebiasaan. Artinya, kalau keluarga dan lingkungannya mendukung ini seperti virus kambuhan, tak akan pernah sembuh.
Bagaimana jadinya kalau di kotak pos rumah kami dimasuki surat yang salah satu katanya, kotor? Saya pastilah ingin tahu mengapa si pengirim yang umurnya 5 tahun itu begitu. Ternyata ... diajari ibu!
***
Siang hari usai makan siang dan bikin PR, anak-anak berhamburan di kebun. Bermain. Saya buka pintu balkon karena hari sedang panas. Musim semi. Saya menulis.
Tiba-tiba terdengar teriakan kata-kata tidak pantas. Rupanya dari seorang anak lelaki berambut pirang yang lewat dengan sepedanya. “Arschl**h ... “ begitu diucapkan berulang-ulang.
“Hey, darf nicht so sagen!“ Suami saya yang mendengar, keluar dari lantai dasar dan mendatanginya untuk mengingatkan tidak boleh mengucap kata kotor itu lagi. Si anak tak peduli. Ia tertawa-tawa sembari terus mengucapkan kata yang setara dengan sil*t di Jawa (red: maaf, lubang pada pantat). Waduh, kok jadi ingat kesurupan di kampung. Mosok di Jerman ada?
Selidik punya selidik, ternyata ia sedang mengumpat anak kami yang nomor dua. Ceritanya, ia yang dari tadi bersepeda, berbincang dengan si gadis dan satu tetangga lainnya, anak laki-laki umuran 6 tahun. Anak kami mengatakan bahwa sepedanya tidak pas, terlalu besar. Biasanya sepeda besar untuk anak umuran SMP. Dia kan masih TK jadi biasanya menaiki sepeda ukuran badannya. Lebih kecil dari yang ia punya.
Permasalahan tidak sampai di sini. Satu jam kemudian, suami saya mengecek kotak pos di depan rumah. Di sana ditemukan banyak surat, tapi hanya satu yang tidak bersampul ... isinya:
„Chayenne Arschl**h. David (gambar hati dicoret) Tim Dhvid Tim.“
Suami segera menunjukkan pada saya. Saya bengong. Mosok anak umur 5 tahun bisa menulis (kalau di Jerman tidak mungkin, karena biasanya baru boleh diajarkan saat masuk SD, tidak seperti di tanah air).
Saat makan malam, kami grillen, membakar sosis dan daging di teras dekat kebun belakang. Eeeeh, kebetulan ibu si anak datang untuk menonton kambing yang ada di depan rumah kami (milik tetangga). Saya bergegas mendatangi.
„Mana kertasnya, Pak?“
„Kenapa, Bu? Mau marah, apa?“
„Tenang, mau tanya saja ...“
„Wah, buuuu kamu galak ...“
Kertas saya gamit. Saya mendatangi si ibu:
„Hallo, selamat sore ... lagi jalan-jalan ya? Wah anak yang nomor dua cakep, sudah besaaaar.“
„Iya, kami baru saja nonton kambing, habis itu pengen memetik bunga rumput yang warna-warni untuk dekorasi rumah, ditaruh di vas).
„Eh, iya ... saya mau tanya nih. Kami menemukan surat dari anakmu. Anakmu bisa menulis?“
„Ya, saya ajari. Dia tanya bagaimana menuliskan namanya, nama temannya dan ....“
„Kata kotor ini juga?“ Saya buka kertas dan tunjukkan padanya.
„Emmm ... mungkin dia sedang marah sama anakmu sampai menulis begitu. Barangkali karena merasa sakit hati dibilang sepedanya jelek. Ini bukan permintaan maaf dari saya lho ya?“ Saya bingung memahami diplomasinya. Bukannya si ibu yang mengajarkan menulis?
„Oh, ya? Dari mana dia tahu kata kotor itu? Dari rumah?“
„Dia bawa sendiri. Banyak kok kata-kata kotor di Jerman ....“
„Lah iya tapi tidak patut diucapkan atau dituliskan. Eh, kalau diajari menuliskannya di TK jelas tidak mungkin. Maaf, ya ... di rumah saya ini banyak didatangi tamu ... banyak juga anak-anaknya. Zona ramah untuk anak-anak. Mereka sering datang untuk acara ultah, minum teh, kumpul keluarga dan makan kue atau sekedar main. Saya tidak ingin anakmu suka teriak-teriak kata kotor bahkan menuliskannya di rumah kami. Ya, sudah, saya mau makan.“ Saya tinggalkan si ibu dengan si balita. Si ibu menunduk lalu ketika mengawasi kami saat makan, ia mengucapkan selamat makan dan selamat tinggal (karena mau pulang).
Saya gemes. Keesokan harinya, saya tanya guru kelas si anak, David. Saya ingin tahu apakah si David memiliki kebiasaan yang sama seperti di gang kami? Guru kelas kaget dan menanyakan apakah saya sudah bertanya kepada ibunya. „Ya, sudahlaaaaah, Bu ... tapi tanggapannya tidak seperti yang saya harapkan. Kecewa.“ Si ibu guru juga menjelaskan bahwa di kelas belum diajari menulis, hanya mengenal huruf dan angka lewat permainan saja. Play and fun.
***
Saya menarik kesimpulan sendiri bahwa si ibu yang mengajarkan menulis kata „Arschl**h“ itu. (Kok tega, ya?). Kan dia bilang sendiri bahwa di rumah ia mengajari cara menulis. Ibunya. Mana mungkin anak yang fasih mengucapkannya itu juga bisa menuliskannya tanpa bimbingan orang dewasa? Ada pepatah Jerman „Von nix kommt nix“ (kalau tidak diajari, ya tidak akan bisa). Dalam bahasa Jerman kata yang memiliki akhiran –sch (cara pengucapannya; lidah ditekuk, gigi atas bawah merapat, mulut monyong, ngeses) itu sangat susah diucapkan dan ditulis (menurut kacamata orang asing seperti saya). Ini tak ubahnya orang Jerman mengucapkan kata dengan –ng, -th- atau –dh- ala Jawa. Pertanyaannya adalah, mengapa si ibu bohong bahwa si anak belajar sendiri? Si ibu kann bilang kalau dia yang mengajari menulis. Tapi tidak mengaku mengajari menulis kata kotor? Dan lagi, tidak meminta maaf atas perbuatan anaknya atau didikannya yang sesat itu?
Bersyukur bahwasaya tidak pernah mengajari anak-anak saya untuk memproduksi, menulis, mengucapkan kata-kata kotor dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi contoh yang baik di rumah (lah tapi kalau dengar dari lingkungan/perkawanannya atau sekolah bagaimana?). Hadohhhh ... Bisa kuwalat, mulutnya bisa ditampar orang kalau sembarangan ngomong. Itulah sebabnya, anak-anak selalu mengcopy paste kalimat „Darfst nicht sagen“ (tidak boleh diucapkan, ya?) .... Selamat siang. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H