Dalam hidup, saya mengamati banyak hal yang dianggap remeh beberapa orang, justru oleh beberapa orang lainnya, dianggap luhur alias tinggi.
Salah satunya adalah tari Gambyong.
Tinggi? Iya. Semakin tinggi ketika saya diberi kesempatan untuk mengenalkan dan memamerkannya di depan publik Jerman minggu lalu. Terima kasih untuk Mbak Andi Nurhaina, ibu-ibu Indonesia/panitia dan pemda Konstanz, sebagai penyelenggara. Tanpa diadakannya acara itu, nggak bakal saya ditanggap.
Asal muasal tari Gambyong
Tari yang mulanya berasal dari Ledek atau tledek, sudah dikenal pada tahun 1700-1800 an saat sinuhun PB VI berkuasa. Itu memang merupakan tarian rakyat kas bawah. Ledek atau Tledek itu kabarnya adalah para wanita penghibur. Setelah diangkat ke istana, dikemas dengan sentuhan bangsawan, menjadikan tari Gambyong yang masih luwes, kenes dan nggemeske, naik pangkat.
“Nampa saweran rak?“ Widi, seorang teman dari Singen menanyakan apakah saya menerima selipan uang. Waktu itu, saya yang sedang membenahi pakaian bagian atas yang melorot, ngakak.
“Saweran? Ora!“ Jawab saya, “Tidak“ dan segera mempersiapkan diri di kiri panggung yang tidak begitu tinggi. Badan saya memang dibungkus rapi, jarikan, pakai kain batik ketat (dan modifikasi) di acara Indonesische: Kulinarisches Fest“ di Konstanz pada hari Sabtu, 26 September 2015 lalu. Nggak kesrimpet, kok.