“Namamu siapa tadi ... ?" Seorang pria berambut pirang mendekat. Matanya yang biru terlalu terpesona pada wajah si pemandu ayu, lupa memperhatikan apa saja yang dikatakannya pada rombongan tadi.
“Gendis ..." Tangan mungil sang wanita menjabat tangan pria asing berbaju batik itu. Perkenalan singkat yang menambah romantika hidup manusia dua bangsa.
Oh, Jacques dan Gendis jatuh cinta. Indahkah dunia?
***
“Simbok lebih memilih kamu kawin dengan orang Jawa ...“ Tiba-tiba simbok mengemukakan pendapatnya, tanpa ditanya. Tangannya yang keriput sedang menghitung uang lusuh hasil memijat.
“Kami hanya berteman, mbok“ Gendis tersipu. Semburat merah di pipi tak mampu sembunyi.
“Simbok tidak bisa dibohongi ...“
“Kalau kami saling mencintai apa bapak dan simbok setuju?“ Tangan Gendis tetap mengaduk gula dalam cangkir.
“Tetap jaga kesucianmu, ndhuk ...“ Simbok tak menjawab langsung pertanyaan Gendis. Perempuan ubanan itu bergegas mengambil air wudlu.
Teh wasgitel buatan Gendis untuk Jacques sudah jadi.
Heran, mengapa ruang tamu, sepi? Oh, gelas besar bapak masih utuh! Buatan simbok tadi rupanya belum disentuh. Sepertinya, bapak melancarkan perang dingin pada sang tamu. Bibir merah bak gincu bule, terkatup.
Gendis membaca suasana, lalu menarik Jacques sampai ke pagar.
“Tunggu aku, aku akan segera kembali.“ Tangan Jacques menyematkan sebuah cincin monel berhias bunga matahari dari saku bajunya. Bapak yang ada di depan pintu, batuk-batuk. Gendis buru-buru menarik tangannya. Vespa perlahan melaju. Sendu.
***
Sebulan berlalu. Jacques benar kembali. Dia tidak sendiri. Ada papa, mama dan dua saudara kandungnya yang datang. Untuk melamar Gendis, anak simbok Gendari.
Kaget. Gendis sendiri kaget. Lebih kaget lagi ketika acara nikah siri digelar seminggu kemudian. Gendis mencubit tangannya sendiri, tak yakin apa ini nyata atau sekedar mimpi. Kemudian, tersenyum manis.
Senang. Ia senang bisa bersama Jacques pujaan hati namun tetap berat meninggalkan bapak, simbok dan saudara perempuannya di sini.
“Gusti, inikah keputusan terbaik?“ Tetesan air mata bahagia campur gundah telah jatuh. Dinding hati Gendis panas dingin tetapi Gendis memilih pergi. Jauh, jauh sekali.
***
Marseille. Kota pantai di Perancis ini memang beda dengan Solo. Hidup jadi serasa serba aneh. Terlebih lagi ketika keadaan menjadi sulit, Jacques di PHK.
Jadi pengangguran yang dibayar pemerintah? Uang di tangan tak akan cukup untuk hidup berdua di negeri orang.
“Apa saja yang penting halal ....“ Begitu pesan simbok pada Gendis lewat telepon singkat.
Kalau saja ia sudah sarjana sebelum meninggalkan Indonesia, pasti banyak pekerjaan yang bisa diperoleh! Pilihannya? Cleaning service sebuah pub. Kejamnya dunia ....
Gendis ingin mengubah nasib. Ia temui manager pub, Jean, teman karib Jacques waktu kanak-kanak.
“Apa kabar?“ Peluk cium Jean menghujani Gendis. Itu tradisi yang dulunya pernah membuat Gendis seperti tersengat listrik. Sekarang sudah biasa.
“Baik, terima kasih. Bolehkah aku menari di sini?" Mata besar Gendis menatap Jean lekat-lekat.
“Ha ha ha .. Tari apa? Striptease maksudmu? Bisa?!“ Si bos terkekeh.
“Serius. Aku mau menari tradisional. Dulu aku penari di sebuah hotel ..." Gendis berdiri lalu tanpa aba-aba dari siapapun, memperagakan tari. Tangannya ukel, kakinya trisik lalu seblak sampur dan keliling ruangan.
“Kamu ini. Tahu ini pub kan? Bukan gedung kesenian ... Kalau kamu mau, aku bisa tolong kamu jadi penari striptease di sini, biar Monique yang ajari. Tinggal dipoles sedikit, pasti top. Bagaimana?“ Si bos menyulut cerutu Navarre. Kebulan asapnya bikin Gendis batuk.
“Aku bicarakan dulu dengan Jacques. Aku harus minta ijinnya. Prinsipnya, kalau aku dapat uang banyak untuk itu, aku mau. Kapan aku harus beri kepastian?“ Kening Gendis berkerut. Matanya jadi sayu.
“Lebih cepat, lebih baik ...“
***
Sudah larut malam. Mata indah Gendis menatap pintu masuk pub “L’endroit.“ Sebuah baliho ukuran XXL dengan gambar seorang penari striptease eksotis berambut panjang, coklat dan tebal di sebuah panggung terpajang, dihujani lampu warna-warni. Kulit coklat sawo matangnya menggoda. Beberapa bagian intim, tertutup secarik kain. Tertulis: “The Sexy Madame Gennelle.“
Gendis terisak, teringat apa katanya pada simbok sepuluh tahun lalu:
“Mbok, jaman sudah modern. Aku ingin jadi wanita mandiri yang punya martabat dan harga diri. Aku mau kuliah biar bisa kerja kantoran dan tak perlu menjual diri. Aku bayar uang kuliah sendiri kok, mbok. Kalau simbok ada uang, buat belanja apa piknik ke mana sama bapak wae lah ....“
Untung bapak dan simbok selalu takut terbang. Tak perlu mendadak kena serangan jantung memandangi gambar poster itu di Marseille. Sebab Madame Gennelle ... adalah Gendis! (G76)
Ps: Postingan ini demi menyambut hari Kartini yang diadakan oleh Rumpies the club. Silakan bergabung dan menyimak karya lain di sini. Selamat merayakan hari Kartini, Wanita Indonesia Bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H