Sommerzeit atau summer time. Waktu musim panas telah tiba. Pro kontra dari rakyat Jerman biasa terjadi pada masa transisi ini. Tepatnya, hari Minggu, 30 Maret 2014. Pukul 02.00 diajukan pukul 03.00. Satu jam maju ini menandakan, satu jam istirahat/tidur berkurang. Benarkah demikian? Bukankah Winterzeit alias winter time atau waktu musim dingin sudah nyolong satu jam? Mundur satu jam dan jam tidur sudah bertambah panjang satu jam. Ini dikembalikan. Sami mawon. Sama saja, kok. Apa tanggapan masyarakatnya?
[caption id="attachment_329367" align="aligncenter" width="429" caption="Awas, jam jerman maju satu jam"][/caption]
***
Minggu, 30 Maret 2014. Hari begitu terik. Temperatur sudah mencapai 17-20 derajat di daerah tempat kami tinggal. Orang-orang yang membaca ramalan cuaca beberapa hari sebelumnya sudah memborong daging dan sosis buat nyate, barbecue. Waduhhh, saya geleng kepala ke salah satu filial toko A, ndomblong. Tak ada daging yang tersisa dan kulkas toko ... kosong! Ihhhh, untung di kulkas rumah masih ada sosiiiiiis (meski tak banyak).
Akibatnya, tak heran jika di mana-mana, misalnya Spielplatz tempat bermain gratis di setiap area dan kebun di rumah-rumah sudah berasap, orang-orang sudah asyik berkumpul untuk duduk, minum-minum dan berbincang menunggu daging dan sosis matang. Biasanya, mereka yang keturunan Rusia dan Turki. Ini jadi ciri khas pendatang, seperti semut. Solidaritas dan persaudaraannya seperti lem takol. Luengketttt dan anti jebol. Yang keluarga Jerman ada sih, yang berkumpul, tapi tidak mbanyaki rewo-rewo. Sedikit alias kecil grupnya. Mereka itu sedang merayakan nikmatnya sengatan matahari. Di Jerman, jarang-jarang kepanasan. Apalagi ini masih pada masa Frühling, musim semi. Sudah panas seperti musim panas, global warming?
Saya pandangi hutan di sekeliling taman bermain yang luas, yang kami sambangi (ada ayunan, prosotan, menara, joglo, rumah-rumahan, jungkat-jungkit, gantungan, bak pasir, tempat menyate dan lainnya). Masih hijau, lho yaaaa ... hewan-hewan liar masih di sana. Contohnya bambi/rusa sama burung-burung itu .... Kok, masih saja alam marah? Duh, Gustiiiii.
***
Ya, ya, ya. Uhr vorstellen. Memajukan satu jam sebagai waktu musim panas ini mendapat tanggapan pro dan kontra masyarakat yang bermukim di negeri Angela Merkel ini.
Seorang pengusaha yang terbiasa memiliki jam terbang ke beberapa negara mengatakan bahwa ini tidak berpengaruh padanya. Namanya terbang, pasti melewati negara yang memiliki waktu yang berbeda satu sama lain. Jika terbang dari Frankfurt (Jerman) ke Dubai (UEA), lalu harus ke Jakarta (Indonesia), sudah tentu tanpa maju atau mundur jam, jam sudah tak beraturan karena perbedaan maju 5 jam (di Dubai) lalu maju 6 jam (di Indonesia) dari Jerman. Belum lagi perbedaan waktu Dubai dan Jakarta. Argh, easy going, santai saja. Toh, kebanyakan ketiduran di pesawat. Jikalau lelaki itu sedang tidak sedang terbang, ia memakluminya. Tak jadi soal. Sudah terbiasa jetleg. Orapopo.
Bagi anak-anak di bawah umur, seperti halnya anak-anak kami, kelihatannya ini tidak berpengaruh. Meskipun mereka sudah mendengar dari radio, TV dan dari mulut ke mulut tentang ini, beberapa hari sebelumnya. Kuncinya, saya selalu memasukkan mereka ke kamar, tepat waktu. Kalau musim dingin jam 19. Musim panas juga jam 19. Rehat. No excuse. Sepertinya, mereka terbiasa dengan tatib saya. No problem dan tidak ada keluhan dari mereka. Tinggal jendela ditutup rapat hingga gelap. Ritual berdoa dan membaca. Mati lampu. Sudah.
Lain lagi dengan seorang wanita yang mengoleksi banyak jam. Mulai dari yang berkilauan matanya, dengan manik-manik sampai yang warna pelangi. Ia ini selalu tepat waktu meski agak repot kalau salah satu jam tangannya tidak memiliki sistem funk, otomatis menyesuaikan perubahan waktu yang terjadi/disetting. Baginya, penambahan jam ini menyiksa.
Seorang remaja umuran belasan tahun menjelaskan bahwa ia membenci pergantian jam pada musim dingin ke musim panas. Karena merasa tidurnya berkurang satu jam. Padahal ia amat suka molor di tempat tidur. Haha, ironinya, ia amat menyukai masa di mana satu jam diperpanjang (pada musim panas ke musim dingin). Maunya untung tak mau buntung.
Perbedaan jam ini juga tidak saya sadari. Tidak menimbulkan rasa lelah dan jengkel seperti yang terjadi pada kebanyakan warga Jerman yang saya kenal. Walaupun saya orang Indonesia, dan awalnya waktu pindahan ke Jerman sempat bingung dengan jam maju-mundur seperti setrika ini ... akhirnya setelah bertahun-tahun, berhasil! Kuncinya, tak usah sering-sering melihat jam. Mengerjakan sesuatu dengan baik dan cepat, semaksimal mungkin tak boleh ditunda. Selain itu, memang sejak SMA sudah terbiasa memiliki jadwal teratur jam berapa mengerjakan apa.Didukung dengan cara hidup rakyat Jerman yang disiplin dan eksak (tidak boleh nawar). Aha! Terima kasih, Jerman! Belajar tentang sesuatu yang baru dan unik, darimu. Deutschland über alles?
***
Begitulah situasi di Jerman saat ini. Uhr vorstellen, jam jerman maju satu jam. Beruntung di Indonesia saya tidak pernah mengenal empat musim yang mengganti jamnya dua kali. Bisa pusing ping pitulikur. Menikmati musim penghujan dan musim kering juga indah. Apalagi mengenal jam karet. Saya senang sudah banyak kawan-kawan/kenalan yang tepat waktu dan disiplin melebihi bangsa Jerman sendiri yang tepat waktunya seperti Napoleon yakni lima menit sebelum “TIT“ deadline, sudah ada/menunggu/selesai. Tapi tentu masih banyak juga masyarakat awam di tanah air yang menikmati budaya ngaret atau “maaf lupa.“ (termasuk saya hahaha). Hmmm ... membayangkan di Indonesia jamnya mundur satu jam, ditambah budaya ngaret ... apa kata dunia??? (G76)
PS: Tinggal di Indonesia? Nikmati sepuas-puasnya dan sebenar-benarnya ... (haha kapan pulang, ya?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H