Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jadi Perempuan (Tak Boleh) Rapuh!

21 November 2014   22:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416558999454936607

Dalam perjalanan mudik tahun lalu, saya sempatkan diri untuk bertemu darat, kopdar dengan beberapa kompasianer. Mulai dari admin Kampret dalam rangka penyelenggaraan pameran foto Indonesia Oktober 2013, Komposono-Kompasianer dari Solo, ID Kita Kompasiana dan Iin juragan batik Solo dalam rangka memboyong kegiatan mereka di SMAN 2 dan tempat teman yang ada warung belajar, Warung Pasinaon dan ... mbak Aridha Prasetya!

Senang rasanya. Acara tak hanya makan-makan, sedikit ngobrol dan ... ada yang memberi saya hadiah buku, lho! Alhamdulillah. Janji adalah hutang, kalau saya mengatakan akan meresensi jika sudah selesai baca, inilah saatnya. Berikut resensi saya:

[caption id="attachment_377100" align="aligncenter" width="490" caption="Perempuan (Tidak Boleh) Rapuh!"][/caption]

Judul Buku : Perempuan (Tak Boleh) Rapuh

Penulis       : Aridha Prasetya, M.M.

Penerbit     : Indie Publishing, Depok

Cetakan     : Pertama, 2013

Jumlah hal. : 129 halaman

Jumlah bab : 15 bab

Ukuran buku : 13 cm x19 cm

Tentang Penulis:

Siapa yang tak kenal kompasianer Aridha Prasetya? Kompasianer yang bergabung di Kompasiana sejak 21 September 2010 (260 artikel) itu kelahiran Gresik, Jawa Timur pada tanggal 11 Juni 1968 dan memiliki banyak tulisan di Kompasiana dengan “tenaga dalam.“ Ada roh di sana yang menjadi magnet bagi penikmat tulisan bunda dari anak tunggalnya, mas Hanif ini.

Kalau mbak Aridha memanggil saya sebagai Srikandi, saya memandangnya seperti dewi Kunti, amat mengayomi dan ibu bagi semua. Dan itu bisa saya rasakan dari pelukan badannya yang saaaangat hangat waktu berkunjung di rumahnya yang asri ditemani “rombongan penganten“ (saking banyaknya yang antar, 2 mobil besar dan penuh keluarga saya haha!). Pelukannya, seperti selimut kesukaan dan hangat-ngat.

Sejak tahun 1994, kompasianer yang memproklamirkan diri sebagai “Perempuan Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan“ inimengabdi di PTS Surabaya hingga hari ini menjadi salah satu kajurnya. Pendidikan terakhirnya di Universitas Airlangga Surabaya, jurusan Manajemen dan Pendidikan Magister Ilmu Manajemen.

Sebelumnya, mengajar sebagai guru bahasa Inggris untuk TK-SMA, pelayan toko, bahkan pernah sebagai kepala debt Collector pula. Seru pengalamannya (ada di buku saya “38 Wanita Indonesia Bisa“).

Sudah ada 12 buku yang diterbitkannya, mulai dari buku pendidikan (7) sampai buku tentang kehidupan keperempuanan (4). Buku terakhir adalah “Pohon kebahagiaan“ terbit Desember 2013. Menulis buku bukan semata untuk mencari untung, mbak Ari percaya “Uang itu akan mengikuti apa yang kamu kerjakan.“ Mantab.

Mbak Aridha juga senang menulis di Papan Putih dan hendak menerbitkan buku berikutnya pakai E-book. Sukses!

Impian mbak Aridha berikutnya? Membuat pameran atas buku-buku yang diterbitkannya. Entah kapan, pasti terwujud.

Ulasan Buku

Ketika memperlihatkan buku kepada bapak saya yang juga saya ajak bertamu, beliau sudah berkomentar bahwa ini buku yang dalam. Kedalaman yang hanya bisa dicapai orang tertentu dalam menjalani hidup, “Perempuan (Tak Boleh) Rapuh.“ Dari judul yang menyemangati kaum perempuan ini, pastilah ada aura positif dan inspirasi dari membacanya. Dan betul, saya merasakannya.

Pada Bab 1 halaman 1, “Berterima Kasih atas Kesakitan“, tertulis testimoni buatan mbak Aridha sendiri “Kesakitan-kesakitan adalah pelajaran dan guru yang dikirim Tuhan untuk sebuah kekuatan dan ketangguhan baru.“ Ini adalah hasil introspeksi penulis setelah lebih dari 40 tahun menjalani hidup. Penderitaan batin yang dihadapinya dengan kekuatan baja perempuan Indonesia. Bagaimana rasanya menemukan celana pendek perempuan dan payung di lemari suami Kompasianer? Itu yang terjadi pada mbak Aridha. Ia tetap tabah, pun ketika seorang perempuan yang lain lebih dipilih suami daripada mbak Aridha (si perempuan belakangan, sempat bertanya; boleh tidak kalau suaminya diambil untuk menikah lagi). Bahkan ketika 20 tahun setelahnya tidak bertemu, mbak Aridha masih bisa berkata kepada mantan suaminya “Terima kasih atas pelajaran-pelajaran yang indah yang membuatku jadi dewasa.“ Mampukah kita bersikap seperti ini jika mengalami hal yang mirip? Saya berpikir panjang... pelajaran saya belum lulus untuk babagan begini. Angka merah untuk saya.

Ada kekuatan tenaga dalam lain yang diajarkan mbak Aridha dalam mengarungi gelombang kehidupan. Dalam bab II, “Tersenyum dalam ketidakbahagiaan“, halaman 11. Bayangkan ketika atap rumah Kompasianer runtuh saat berada di tempat tidur? Itu terjadi pada mbak Aridha! Bahkan ketika hendak mencari bantuan dan mas Hanif sedang terlelap. Waktu itu baru pukul 02.30 WIB, dini hari! Baru setengah jam kemudian, mbak Aridha berhasil bangun dari reruntuhan.

Belum lagi penyakit paru yang dideritanya dan memaksanya untuk mengonsumsi obat kimia. Toh, pengobatan alternatif yang terbaik dipilih mbak Aridha. Seperti yang dijelaskan pada halaman 39bab 5, “Ketika Aku Disembuhkan.“ Membantu beberapa orang yang bimbang ketika sakit antara memilih obat buatan atau yang alamiah. Semoga mbak Aridhadan kita tetap sehat dan bahagia ... (peluk jauh dari Jerman).

Bab 7, “Bila Hidup adalah Permainan.“ Di sana, ada sebuah peringatan bagi kita (terutama ibu-ibu) yang memiliki anak yang masih pubertas. Umur anak yang empatbelas tahun misalnya, di saat anak sedang merasa kesal dengan segala peraturan di rumah atau di sekolah dan menganggap orang-orang dewasa sok ngatur, sok kuasa dan sok tahu. Mbak Aridha menuliskan, bahwasannya, guru-guru kehidupan akan tertarik mengajarkan si anak itu dengan satu hal, pelajaran terpenting di dunia bernama kepatuhan! Tanpa ini, tak bisa hidup dengan aman dan nyaman. “Jadi hidup adalah permainan, maka yang perlu diketahui adalah cara bermain“ tegas mbak Aridha pada halaman 55, bab yang sama.

Apakah Kompasianer sedang tidak bahagia dan ingin bahagia? Bab kesembilan, “Mengubah Ketidakbahagiaan Menjadi Kebahagiaan“ pada halaman 65, bermanfaat untuk disimak. Mbak Aridha mengisahkan cerita para malaikat yang ditanya Tuhan tentang di mana letak kebahagiaan. Malaikat terakhir berbaju putih menjawab paling tepat dan disukai Allah; menyembunyikan kebahagiaan jauh-jauh dari lubuk hati manusia agar tidak dicari.“ Dari situ, mbak Aridha menyarikan bahwa tak perlu mencari kebahagiaan di luar sana karena yang diperlukan sudah ada di dalam diri (bab 9, halaman 71).

Kemudian menjadi janda atau single parent, bukanlah hal yang mudah. Tentang ini akan dikupas mbak Aridha sesuai pengalamannya mengasuh mas Iksa atau mas Hanif seorang diri dengan sukses (mas Hanif kini sudah menikah dan memiliki seorang anak, memiliki bisnis sendiri). Pada bab 13, “Bila Tak Sanggup Menjadi Ibu Sekaligus Ayah“, mbak Aridha menekankan bahwa jika seorang wanita berkeluh kesah untuk menjadi ibu sekaligus sebagai ayah, siapa yang akan menjadi ayah dijawab saja bahwa ayahnya tetap ayahnya, jangan dipertanyakan kelanjutannya (halaman 103). Dengan atau tanpa ayah, kehidupan harus tetap berlanjut. Tuhan akan melindungi.

Kisah sebaliknya, jika seorang istri lari meninggalkan anak dan suaminya, bagaimana langkah yang harus diambil suami? Ucapan mbak Aridha pada yang bertanya bahwa ia tak perlu menjadi ayah sekaligus ibu bagi anaknya, manjur. Beban yang sudah dilepas ini membuatnya tak berat menjalani. Ketakutan tak akan dimiliki mereka yang beriman pada Allah.

Kelebihan

Buku ini sangat enak dibaca. Membacanya, seperti saat saya bertandang dan dijamu dengan badak jagung goreng dan teh wasgitel (wangi, seger, legi, kenthel). Rasanya selangit! Sampai saya dibungkuskan untuk dibawa pulang ke Mojokerto. Haha. Bahasa tulis mbak Aridha sangat saya ikuti, yes, I follow. Saya suka, sukaaa sekali. Seolah mengajak dengan tangan memegang tangan saya untuk menuntun membuka halaman-halaman berikutnya dan tak pernah berfikir untuk berhenti meresapi hikmah dan inspirasi di dalam cerita sengsara dan duka yang dibagikannya. Komunikatif.

Pada halaman xiii, saya senang menyimaknya. Betapa tidak, kesan pesan sahabat-sahabat maya mbak Aridha (Venus di Medan, Erik Permana di Jabar, Arimbi Bimoseno di DKI, Ariyani di Jabar, Bunda Siti Swandari di Surabaya, Darsem dan saya di Jerman, I Ketut Suweca di Bali, Om Jay di Jabar, Johan Wahyudi di Solo dan masih banyak lagi) membuat saya menggali dan mengerti sepak terjang mbak Aridha. Sosok yang dirindukan. Beberapa di antaranya dipajang di halaman endorsemen cover belakang, seperti punya mas Erik Permana tokohnya Fiksiana Community, “Aridha itu BUKU yang belum selesai“ atau milik mas Tovanno Valentino komandan ID Kita Kompasiana, “Aridha pendidik yang kadang melawan arus. Mematahkan pola pikir yang berkembang saat ini, baik dalam hal keilmuan maupun dalam pendidikan keluarga.“

Sama halnya dengan kesan-pesan teman-teman dunia nyata yang mengenal mbak Aridha dalam kehidupan sehari-hari. Kedua kesan pesan, dijawab mbak Aridha dalam “Menjawab Pujian Berlimpah“ pada halaman xxvii “Begitu indahnya semua penilaian tentangku“, “Tak satupun cacatku kalian tulis di sana“ dan “Aku mengaminkan doa kalian.“

Yang menarik adalah bagaimana seorang Hanief Iksa Prakarsa Putra dari Aridha Prasetya menumpahkan suara hati pada halaman xxvi, bahwa ia tak pernah mengeluh dibesarkan tanpa ayah bahkan bersyukur bahwa Allah mengutus Aridha sebagai ibunya, perempuan tangguh yang mendidiknya. Yang pada akhirnya membuatnya tak pernah bertanya “Di mana ayah?“ Dan membuat orang-orang di sekitarnya terkejut bahwa sejak kecil hanya dibesarkan oleh seorang ibu, bukan orang tua komplit. Sungguh sangat bahagia membaca tulisan anak pada ibunya. Balasan cinta sejati sepanjang masa. Siapa bilang cinta anak pada orang tua sepanjang galah? Ini buktinya!

Mas Hanif, anak semata wayang mbak Aridha juga memiliki kontribusi khusus pada buku ini, cover designer. Sebuah kolaborasi apik antara ibu dan anak dalam sebuah buku. Sangat romantis dan harmonis.

Kekurangan

Saya belum menemukan kekurangan pada buku ini. Barangkali hanya beberapa salah ketik seperti setelah titik lalu spasi. Misalnya pada halaman 48; ...membalas pesannya.Aku balaslah pesannya itu .... Sedangkan kesalahan lain saya lupa di halaman mana. Bacanya sudah lama, kalau ketemu resensi ini akan saya perbaiki. Inshaallah.

Ah, Gana. Itu hal biasa yang sering terjadi pada saya kalau mengetik atau menulis dengan keyboard. Apalagi menulis naskah/buku yang halamannya banyak alias tebal. Tak usah dipikirkan, deh.

Kesimpulan

Menurut saya, buku ini seperti buku terdahulu yang saya resensi dari kompasianer Australia Tjiptadinata Effendi yang akan segera menerbitkan buku baru di acara Kompasianival. Buku mbak Aridha ini juga “bertenaga dalam.“

Buku ini layak dibaca oleh siapapun yang sedang mencari apa arti bahagia dan bagaimana menjalani hidup yang kadang seperti rollercoaster, para pemerhati masalah kehidupan dan keperempuanan.

Intinya, kitabaik laki-laki maupun perempuan tidak boleh rapuh. Image perempuan yang dikatakan makhluk lemah harus segera ditepis usai membaca buku ini karena “Perempuan (Tak Boleh) Rapuh“, kata mbak Aridha. Yup. Kita tidak boleh rapuh! Tidak boleh! Terima kasih, mbak Aridha atas buku dan pelajaran di dalamnya (halah, baru sadar kalau bukunya tidak ditandangani waktu dihadiahkan, hiks ...).

***

Demikian resensi buku yang sudah saya baca, semoga menginspirasi. Saya akan tulis resensi buku kompasianer berikutnya agar semakin termotivasi untuk menerbitkan buku sendiri, sebelum waktu habis. Luar biasaaaa, di blog Kompasiana ini bermunculan buku-buku dari Kompasianernya. Mari-mari ....(G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun