“Simpang Lima ria lapangan Pancasila
Semarang ngumandang, pranyata serbaguna
Swasana rame rakyat gedhe atine
Ing Jawa Tengah wus ambangun
Njero kutha teka desa nga desa
Saben dina pinulya, Simpang lima piguna ...“
Lagu yang diciptakan almarhum Ki Nartosabdo itu masih saya ingat. Sering dinyanyikan para sinden jaman saya masih kecil. Sekarang bisa saya dengar dari youtube. Kalau saya ikut nyanyi, anak-anak sama bapaknya tertawa. Hahahaha .... dasar, sinden tiban!
Oh-ooohh ... Lirik lagunya, menggambarkan lapangan yang ada di Simpang Lima, kawasan yang konon memiliki 5 persimpangan di pusat kota Semarang. Persimpangan pertama menuju Pandanaran tempat pusat oleh-oleh seperti Bandeng Presto, wingko babat dan lumpia. Kedua, menuju Gajahmada tempat yang sekarang ikut-ikutan banyak ditanami hotel dan apartemen. Ketiga menuju Seroja (Ahmad Dahlan) yang dahulu saya ingat enak JBL-jagung bakar lesehannya, ada pojok ular cobra tempat minum darah dan daging si hewan melata dan es krim puter lezat. Keempat, menuju Pedurungan (Ahmad Yani) yang jadi favorit karena saya pernah lama tinggal di sana numpang orang tua. Kelima, menuju Pahlawan yang menjadi perbatasan daerah Semarang yang agak atas dan tempat ngabuburit fave anak muda. Sekarang banyak kuliner dan mobil hias lampu! Menyingkirkan stigma negatif taman KB=tamannya para waria.
Ya, begitu. Karena Simpangnya ada lima, ya, Simpanglima namanya. Lapangan di tengah-tengah Simpang Lima itu akhirnya dijuluki sang dalang almarhum pak Nartosabdo sebagai Lapangan Pancasila (lima sila, lima jalan) tapi tak semua orang tahu. Kecuali yang senang budaya. Tempatnya memang untuk semua, bermanfaat bagi orang banyak. Tak percaya? Ini buktinya: