[caption id="attachment_365952" align="aligncenter" width="320" caption="Menyapih anak memang tidak mudah"][/caption]
Nyapih dalam bahasa Jawa, saya pahami sebagai memisahkan, melerai. Ini biasa digunakan dalam kalimat;
"Bayi wis gedhe, ndang disapih" bahwa bayi yang sudah cukup umur jangan disusui terus, atau kalau tidur harus sendiri tidak dikeloni orang tuanya.
"Kancaku kok tukaran, tak sapih bae" artinya ada teman bertengkar atau berkelahi enaknya dilerai saja.
Ilmu nyapih ini saya dapatkan karena punya anak. Satunya, memutus masa menyusui dan masa tidur bersama, kelon dan sejenisnya. Kedua, kalau mereka bertengkar sampai fisik.
Menyapih anak pada masa menyusui
Waktu kecil, ibu saya bilang, tanpa disapih saya sudah tidak mau disusui, tidak mau dikeloni, maunya sendiri. Jadi tidak usah ada ilmu nyapih.
Ow. Ini menurun, terjadi juga pada anak gadis nomor dua, lepas umur 1 tahun, ia tak mau disusui! “Aih, sini ndhuk ... “ Si balita tetap tak mau. Sepertinya, itu gara-gara saya banyak minum ACE Jerman (jus dari beragam buah kecut seerti jeruk, sitrus, dan lainnya, ditambah wortel). Rasanya asem manis. Barangkali itu sebabnya, bayi tidak mau diteteki, disusui karena ASI rasanya berubah asam (?). Itu pendapat orang Jerman. Atau karena stress serta kesibukan saya kursus bahasa Jerman dan sekolah setir mobil awal kedatangan (?).
Ya sudah. Meski sedih kalau harus membuat susu sambung dari instan. Saya lebih memilih susu ASI untuk anak-anak. Wong saya tidak bekerja di luar rumah alias berprofesi sebagai ibu rumah tangga, di dalam rumah.
Ealah, anak memang lain-lain. Sebaliknya, anak ragil tidak mau disapih. Saya senang-senang saja kalau si anak ngglendhot. Bapaknya yang iri. "Lha bagian papa kapan sama bayi terus?"
Ketika pulang ke Indonesia tahun 2010, ibu saya berpesan bahwa masa menyusui yang melewati 2 tahun itu kebanyakan. Selain anak jadi manja tidak mandiri, balita harus banyak mencoba makanan dan minuman normal lebih banyak lagi dan ibu bisa banyak mengerjakan pekerjaan yang lain sehingga relaks tak lelah menyusui. Iya, waktu itu bayi sudah 2 tahun 2 bulan genap disusui setiap 3 jaman. Makanya waktu itu badan saya melar wong nafsu makan bertambah karena menyusui, jadi lapar sendiri karena disedot. Hehe. Sekarang alhamdulillah langsing singgg.
Begitulah. Setelah kembali ke Jerman, saya berusaha mendengarkan apa kata ibunda. Tapiiii susah ya menyapih si kecil yang seperti foto kopi papanya itu. Mana giginya sudah banyak dan lancip-lancip. Auwaaa ... sakit kalau digigit kuat.
Lantas apa upaya saya?
Pertama, saya terangkan padanya bahwa ia sudah besar, tak usah minum ASI lagi. Ia tak mau mengerti, hanya menangis dan memaksa ibu buka baju. Saya tahu ada ibu-ibu lain yang menyusui bayi 3-4 tahunan. Saya mungkin tak sanggup.
Kedua, saya coba dengan mengolesi titik payudara dengan pasta gigi. Saya pikir karena ada rasa pedas, ia bakal tak mau. Anak terkecil itu memang senang yang manis-manis, contohnya saya. Eeee ... Si anak tetap rewel minta mimik susu, disedot kok pedas, ia mengusap payudara mamanya sampai bersih dan kembali menyusu lagi. Penyapihan gatot.
Ketiga, saya ambil betadin. Obat merah itu mewarna payudara saya. Sebelum menyusu, lagi-lagi dia mengusap bersih bagian yang menjadi sasarannya itu. Alamak, tidak berhasil.
Saya hampir putus asa, saya mikir-mikir ... Apa ya?
Ada peribahasa Jerman yang mengatakan; Aller guten Dinge sind drei, biasanya setelah tiga kali ada sebuah titik terang atau tiga kali pertanda baik atau beruntung. Saya sudah coba tiga kali.
Suatu ketika, saya pandangi kedua anak gadis saya yang sedang bermain. Salah satunya menangis karena berdarah sedikit. Minta diplaster. Saya ambil di kotak obat. Lah, kok ragil ikut rewel minta ditempelin. Hari-hari berikutnya, ia senang menempeli sendiri. Kadang di jidat, sesekali di lutut, besoknya lagi tangan dan seterusnya. Meski tak ada luka di antara kulit tubuhnya! Walah ... plaster padamu kali ya?
Aha! Saya ada akal, saya tutup bagian payudara dengan plaster. Menurut hemat saya, ia memahami bahwa plaster digunakan untuk menandakan ada bagian tubuh yang teluka dan sakit.
Dan benarlah, saatnya mau menyusu, anak kaget, memandangi payudara mamanya ditutupi plaster.
"Mama auwa ..." Saya mengaduh. Mimik saya memelas. Ia pasti ingat kejadian kakaknya bilang "auwa" alias mengaduh karena sakit, berdarah dan terluka. Saya taksir, ia paham bahwa mamanya kesakitan.
Setelahnya, anak yang sekilas mirip oma dan oma buyutnya itu, berhenti menyusu. Ilmu sapih sukses.
Bagaimana dengan ilmu menyapih anak-anak Kompasianer? Bukan menyapih bapaknya lho yaaaa ....
Menyapih anak pada masa kelon
Sejak lahir sampai tanggal 5 Oktober 2014, anak bungsu tidur di kamar kami, bapak ibunya. Alasannya, sejak lahir meski dengan segala cara ditidurkan di tempat atau di ruang lain, akan rewel. Misalnya di Baby Stubenwagen, sebuah keranjang yang indah untuk meletakkan bayi, ada roda dan tirainya. Atau di Baby Kinderbett, tempat tidur bayi yang berpagar tinggi ditutupi jaring anti nyamuk atau di kamar sendiri. Tetap saja, bangun dan menangis. Aduuuuh, susah amat. Perasaan yang anak pertama dan kedua lebih mudah menyapih untuk tidur sendiri di kamar sendiri.
Sudah kami coba dijadikan satu dengan kakak perempuannya di kamar kakaknya. Tidur bertiga di kamarnya. Tetap saja tidak berhasil. Sampai saya menyerah. Ngantuk riwa-riwi drama.
Jadilah si ragil tidur di kamar kami terus. Bukan di tengah-tengah tidurnya, takut tergencet suami tetapi di sebelah saya dan di sebelahnya ada pagar tinggi, biar tidak jatuh. Ini berlangsung sampai anak berumur 6 tahun minggu lalu (5 Oktober 2014). Sampai ....
"Lho, lah anakmu sudah besar masih tidur sama kalian di kamar, kalau kalian mau main band gimana?" seorang teman menimpali cerita saya.
"Main band? Apaan, saya cuma senang karaoke di kamar mandi kok." Saya kurang paham apa maksud pertanyaan teman saya itu. Saya pernah nyanyi di band sekolah waktu SMP sekarang paling banter nyanyi di kamar mandi.
"Band-band an itu lho ..." Ia tertawa kecil. Ah, saya tahu, yang ia maksud adalah saat kami berhubungan intim apa anak tidak terganggu, bangun dan melihatnya.
"Selama ini, tak ada kejadin mengerikan kok, anak selalu tidur terlelap kalau dikeloni mamanya. Terus giliran papanya ... Hahah." Saya mulai mikir, anak sudah 6 tahun memang sudah saatnya harus dipisah, disapih tidurnya. Kamarnya hanya digunakan sebagai kamar tamu karena kosong tidak pernah dipakai. Eman-eman dan dia harus belajar mandiri.
Beberapa hari sebelum ulang tahun, si ragil memang sudah terlibat perbincangan dengan kami. Karena ia minta hadiah, kami akan memberikannya asal ia akan janji tidur sendiri di kamarnya. Teman-teman seusianya bahkan yang lebih muda sudah tidur sendiri sejak kecil di kamarnya sendiri. Begitu pula kakak-kakaknya, meski mereka tetap saya keloni sampai umuran 6 tahun, dengan catatan, mereka merebah di kasurnya sendiri-sendiri bukan kasur orang tua!
Ia tersenyum kecut. Anak ini memang agak lain, ia mbok-mboken banget, suka dekat sama ibunya. Nempel terus. Gadis kecil bermata belok itu juga agak penakut, suka yang pelan-pelan dan elegan tak mau buru-buru. "Endhog ki mentese beda-beda" maksud ibu saya bahwa meski anak itu dilahirkan dari orang tua yang sama, karakternya akan berbeda. Ibu saya memang benar. Saya membuktikannya. Kalau yang dua mudah disapih, yang ketiga susah itu biasa.
Hmm. Saya yakin, otaknya sudah teracuni provokasi motivasi kami. Ada hasrat ingin mencoba tapi ia selalu bilang;
"Mama, ich vertraut mich nicht ..." Anak tak percaya bisa melakukannya. Ada rasa takut menyelimut hatinya. Saya katakan padanya bahwa kalau setelah dikeloni mama di kamarnya, ia tertidur dan mama pergi kemudian ia terbangun dan merasa tak nyaman, ia boleh menyusul di kamar kami.
Hari pertama, Senin, 6 Oktober 2014. Satu hari setelah ia genap berusia 6 tahun. Ia bingung mencari mamanya, 2 jam setelah ia tidur, terbangun “Mamaaaa.“ Waktu itu, saya pergi ke klub senam sampai pukul 22.30. Tangisannya keras sampai menbangunkan sang kakak yang tidur di lantai atas, suami saya membawanya ke kamar kami. Sedikit disayang-sayang (seperti pesan saya) dengan mengelus badannya. Ia pun terlelap sampai pagi.
Hari kedua, sebelum tidur, saya bacakan sebuah buku, belajar bersama (karena ia murid Vorschule, pra SD) lalu berdoa. Sembari saya sayang-sayang, saya ingatkan lagi bahwa ia harus menjalani training sapih ini. Malu apa kata orang dan ini melatih kemandiriannya. Saya peringatkan ia untuk tidak menangis kalau mau menyusul mamanya. Selain Ia mengganggu anggota keluarga lainnya, juga mata bisa sembab, jelek tambah pilek lagi sentlap-sentlup. Dan ia menurut, ketika terbangun dan menyusul, ia tidak menangis. Hanya mengusung dua bantal jimatnya, mengenakan sandal, mematikan lampu meja, menutup pintu dan menuju kami di kamar lalu tidur lagi di sebelah saya. Rekor hari itu sampai pukul 02.00, lebih lama dari hari pertama.
Hari-hari berikutnya, ia berkata bahwa ia tetap takut tidur sendiri. Saya tegaskan lagi, harus dan ia tetap boleh menyusul kami jam berapapun ia bangun. Suami sudah bilang, “Haha, pasti mama tidak tega. Hatinya langsung remuk dan anaknya tidur langsung di kamar kita.“ Saya menggeleng. Tidak, dia harus ikut training ini. Dia bangun lebih lama lagi. Pukul 04.00 dan seterusnya ....
Hari ini, 12 Oktober 2014. Saya bangga, saya senang. Anak itu bangun pukul 06.30. Setelah saya keloni pukul 22.00, mumpung malam minggu agak larut dari menonton TV yang menjadi jadwal akhir pekan saja. Oh. Berarti ia tidur nyenyak. Saya rasa ia sudah nyaman tidur sendiri di kamarnya sendiri. Horeee ... Wis pomah. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H