Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hiks: Enggan Menginap di Rumah Sakit Jerman

25 Juli 2011   06:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13115959661665084262

[caption id="attachment_124968" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Banyak segi positif dari teknologi dan profesionalisme rumah sakit di negeri Angela Merkel. Satu hal yang saya senangi adalah Baby Insel (red: box bayi) yang diletakkan disebelah ibunya setelah dilahirkan hingga meninggalkan rumah sakit lima hari kemudian, ditambah kampanye mereka terhadap program UNICEF ; 6 bulan air susu ibu eksklusif, bitte! Tak ada ruangan khusus bayi seperti di RS atau RSB di Indonesia, kecuali bagi bayi yang sakit atau tidak normal dan butuh perawatan khusus nan intensif dari pihak RS. Sebagai gambaran bagi warga kampung Kompasiana, berikut berbagai pengalaman saya mencermati kebudayaan rakyat Jerman di daerah selatan, termasuk pengalaman pribadi selama ini bersinggungan dengan rumah sakit. Seorang tante yang amat dekat dengan kami terbaring di sebuah rumah sakit kota T yang cukup terkenal. Sudah 4 kali perutnya dibuka tutup jahitan. Katanya, pertama untuk mengambil rahimnya. Disusul operasi di bagian yang sama untuk mengambil benang yang tertinggal. Ketiga adalah saat jahitannya mengalami infeksi dan harus ditinjau kembali. Yang terakhir jahitannya ternyata terbuka, bisa jadi salah makan atau terlalu banyak makan. (hiyyyy ...). Halah-halahhhhhhh lha wong Jerman yang teknologinya tinggi, peralatannya canggih, pabrik peralatan kedokterannya besar dan banyak, dokternya hebat-hebat, asuransi kesehatan terjamin, disiplin yang tinggi, etos kerja yang bagus masih kecolongan ... apalagi Indonesia? Mal praktek? Dudududuhhhh ... buntutnya, wanita keturunan Amerika itu harus gigit jari lantaran perutnya dhedhel dhuwel (red: tidak karuan). Ketika menjenguk, tak tega nian melihatnya pamer perut. Puh ...ternyata penderitaannya tak hanya itu, ia bercerita bahwa sepuluh tahun sebelumnya, ia tertipu seorang dokter kandungan. Ia berencana untuk tak memiliki anak, sehingga meminta saran kepada Dr.M di kota T. Dokter yang memiliki klinik mewah bertingkat 5 itu, salah mendiagnosa bahwa tante yang tawanya menggelegar itu tak perlu memakai spiral untuk mencegah kehamilan. Perkiraan dokter asal Rusia itu adalah bahwa tante berkacamata ini memiliki rahim yang alami tak akan mendapatkan keturunan. Selang beberapa bulan, ia hamil. Ia mencak-mencak bukan karena tidak ada yang menjenguk, tetapi karena ia harus terbaring di ranjang klinik demi menggugurkan kandungannya. Ujarnya, untung dokter itu sekarang pensiun. Heeee ... Korban berikutnya adalah seorang kakek berusia 70 tahunan. Ia adalah ayah dari suami saya. Hiyyy, mertua lelaki saya itu selalu langganan rumah sakit. Setidaknya sekali dalam setahun harus menginap di rumah sakit, belum termasuk check up bulanan dan dalam keadaan genting lainnya. Istrinya amat bersyukur ada asuransi. Tapi siapa sangka jika pihak rumah sakit melalaikan pelayanan pasien langganan itu? Ya ampun, sebuah jarum masih menancap di dalam daging seusai operasi, itu hasil diagnose rontgen dari dokter. Tak heran jika si opa sering mengeluh kesakitan. Haaaaah??? Tambahnya, ia jadi makin alergi untuk dekat-dekat dengan rumah sakit apalagi sampai opname. Mana yang bezoek hanya keluarga kami saja. Yang berikutnya adalah saat saya sekeluarga besuk seorang saudara di rumah sakit. Karena si pasien mengidap sebuah penyakit komplikasi, ia didakwa bisa menyebarkan MRSA pada penjenguk. Virus ini amat berbahaya bagi ibu hamil. Saya yang saat itu sedang berperut besar, amat panik, menyimpan kertas peringatan soal MRSA itu dan tak pernah menjenguknya lagi. Untungnya saya melahirkan bayi yang sehat dan cantik pula. Prima! Menurut pengakuan beberapa orang terdekat, saat saya tanya mengapa malas atau jarang menjenguk siapapun di rumah sakit, mereka mengatakan bahwa rumah sakit=rumah banyak penyakit, patut dijauhi. Hmm ... Seorang teman asal Thailand menikah dengan seorang pengusaha di Jerman. Karena duda yang dinikahinya beruang banyak, ia meminta satu ruangan berisi tiga Bett (red: dipan) itu untuk dirinya saja. Weleh, kemaruk tenan (red: tak mau berbagi). Satu hari sebelum bayinya lahir Caesar 4 kg, ia amat ketakutan untuk berada di ruangan yang kosong tanpa penghuni selain dirinya. Hiyyyyy ... dia-pun memohon perawat untuk mencarikan pasien lain sebagai teman di sebelahnya. Memang benar adanya bahwa kebiasaan menunggu pasien di ruangan yang sama atau di rumah sakit (koridor, dibawah lantai tempat tidur atau di depan kamar seperti terlihat di rumah sakit umum beberapa kota Indonesia) tidak menjadi budaya masyarakat Jerman. Halah-halah boro-boro ditunggu, lha wong ditiliki wae orak (red: Jangankan ditunggu, dijenguk saja tidak sama sekali). Memang dalam hal ini saya melihat positifnya adalah bahwa kenyamanan pasien amat terjaga, jauh dari kebisingan. Tapi terbunuh sepi sekali kalau lama-lama di RS sana ya? Tiada batang hidung seorang manusiapun selain perawat dan dokter. Kalau bisa enggak ah, no body cares. Hari Senin, saya masuk klub ibu dan anak. Hari Selasa, saya ikut Gymnastik (red: senam dan aerobik). Hari Rabunya menemani anak-anak türnen (red: berolahraga) di aula kota sembari membantu instrukturnya mengatur 25 anak. Suatu ketika, salah seorang anggota Gymnastik masuk Reha (red: pusat rehabilitasi, karena stress). Sang ketua klub berambut cepak nan blonde mengumpulkan iuran untuk membeli bunga, kartu dan buku „Dienstagsfrauen" (red: perempuan-perempuan hari Selasa). Saya sudah semangat untuk menjenguk di kota lain tempat teman saya opname. Ternyata jawaban dari teman-teman lain dan ketua adalah, „We brauchen ihr nicht besuchen, schicken eine Karte und die andere Geschenke zu ihr Mann. Das ist genug" (red: kami tidak perlu berkunjung, memberikan kartu dan hadiah saja sudah cukup. Saya melongo, kirain ... Itulah ... menginap dirumah sakit di Jerman sempat membuat saya enggan, karena selain pelayanan pihak rumah sakit berbeda dengan keramahan rumah sakit di Indonesia, ternyata keramahan orang terdekat, kenalan, tetangga atau saudara tidaklah seperti yang saya harapkan. Sebagai contoh, melahirkan disana selama 5 hari hanya ada 12 orang yang menjenguk dan memberikan rangkaian bunga, sebagai tradisi masyarakat Jerman (bukan buah atau blek biskuit seperti di Indonesia). Orang-orang itu adalah suami dan anak-anak, mertua perempuan, tetangga depan rumah, satu keluarga tetangga dari ujung gang, teman terdekat saya bersama suami dan sepasang teman terdekat suami di kantor. Ya sudahlah, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali, atau lebih baik sedikit daripada banyak tapi tak ikhlas hati. Ngarep dot com. Oh, ya ... bayi yang saya lahirkan dicatat dalam web site rumah sakit, buletin mingguan kota dan koran kota. Itu kebiasaan dari pemerintah dalam mencatatkan warganya yang bertambah, bercerai atau berkurang alias meninggal. Misalnya, dalam keterangannya disebutkan bahwa bayi bersama SPS lahir pada tanggal sekian dari orang tua G dan B yang tinggal di kota SO. Bahkan dalam web site, foto ibu dan bayi bisa narsis sebentar. Satu minggu hingga satu bulan setelah melahirkan, teman-teman kenalan, dari klub atau tetangga yang bertemu saya mengucapkan kebahagiaan yang tidak terhingga dan tidak menyinggung mengapa tidak menjenguk. Bisa jadi mereka repot, karena keperluan keluarga, tak ada pembantu dan sibuk bekerja. Sayapun enggan untuk bertanya. Only God knows why. Jika dibandingkan ketika saya melahirkan di Indonesia tentu keeratan dan rasa simpati yang diterima amat berbeda. Mulai dari ibu PKK kampung, sanak famili terdekat, keenam saudara saya berikut keluarganya, teman sekolah, teman kuliah, tetangga, teman kantor saya, teman kantor suami, rekan-rekan LSM, teman dari ayah dan ibu saya dan lainnya membanjiri kamar saya tak henti-henti selama 3 hari di RSB. Rasa lelah dan sakit pasca melahirkan jadi punah. Ah, apalagi kalau sakitnya lama di rumah sakit, pasti terhibur ada yang menjenguk dan diajak berbagi serta berbicang. Meskipun banyak yang menjenguk, semoga kita tetap sehat wal-afiat tak kurang suatu apa. Kesimpulannya, gara-gara sudah termanja dengan toleransi masyarakat yang membudaya saat berada di rumah sakit Indonesia, saya jadi enggan untuk menginap di rumah sakit Jerman. Jadi pada dasarnya harus otot kawat balung wesi, kesehatan dijaga semaksimal mungkin meski pihak asuransi akan selalu peduli. So, makan- minum, tidur/istirahat, olahraga dan tentu saja ngeblog di kompasiana secara teratur sebagai obat anti stress. Hahahahaha ...Hey, I don't want to be a desperate house wife ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun