[caption id="attachment_356638" align="aligncenter" width="525" caption="Burung kakaktua dikenal cerewet."][/caption]
Jaman dahulu, secara turun temurun, orang Jawa percaya bahwa seorang kesatria serasa lengkap jika telah memiliki wisma (rumah), wanodya (wanita), turangga (kuda), kukila (burung) dan curiga (keris).
Perlambang orang tua itu pastinya banyak maknanya. Kelima unsur itu haru didapatkan dalam hidup. Pada jaman modern, barangkali bentuk masing-masing unsurnya berbeda.
Sosok legendaris jaman modern; James Bond yang seperti ’hero’ itu tak akan lepas dengan cerita tentang wanita. Kalau tidak, pastilah seperti sup kurang bumbu. Begitu pula dengan Batman, Superman dan tokoh kayal lainnya. Setidaknya ada penampakan wanitanya (wanodya), senjata (curiga) dan rumah (wisma). Kalau tokoh Zorro, ada turangga (kuda).
Kukila atau burung, masih dipelihara beberapa lelaki Indonesia khususnya di Jawa. Saya ingat sekali, seorang pria dari Solo yang mengaku ditinggal pacarnya menikah dengan pria lain (karena ia tak tahan dengan kegemaran memelihara burung pacar terdahulu). Pria itu dikatakan sang gadis terlalu menomorsatukan burung dan mengabaikan calon istri masa depannya. Kerjaannya tiap hari mengelus burung saja. Dan kini? Si burung (entah jenis apa) tetap dibelai-belai si pria. Setia.
Tetangga sebelah rumah orang tua saya pelihara burung perkutut (yang banyak disenangi orang Jawa, katanya). Saya ingat waktu saya SD, mendengar nyanyian burung setiap pagi, bunyinya nyaring ... nggadher. Namun, tidak ada tetangga yang komplen. Sampai saya pulang tahun 2013, masih ada, meski ibu pemilik rumah sudah meninggal. Ini berarti, burung perkutut itu dianggap tidak menimbulkan polusi suara.
Salah satu om saya, sejak saya kecil sampai saya punya anak kecil, tetap memelihara burung. Barangkali jumlahnya berkurang seiring bertambahnya usia karena tak kuat mengurusnya. Saya pandang, hidup om saya itu tak akan sedap tanpa adanya burung peliharaan. Burung-burung si om yang cicit cuit itu sepertinya tak membuat masalah dengan tetangga ....
***
Itu kalau di Indonesia. Bagaimana dengan di Jerman? Pasti tidak sama.Jerman lebih terkenal dengan anjing dan kucing sebagai hewan peliharaan. Ada sih dua tetangga yang memiliki burung; seorang lelaki umur 70 yang mengaku cowboy-nya kampung kami, pemilik peternakan hewan (anjing, kucing, kelinci, kambing, ayam, serigala, kuda dan ... burung) serta seorang pemilik toko bahan makanan kering untuk hewan (anjing, kucing dan burung). Hampir semua orang hanya memiliki anjing dan atau kucing bukan burung. Dikatakan juga anjing adalah sahabat manusia Jerman atau kadang malah seperti anak sendiri. Apalagi yang Shepherd, penjaga yang tingginya kalau berdiri hampir sepintu rumah.
Bagaimana dengan kisah pengalaman seorang kawan dalam memelihara burung dan membuat masalah di Jerman?
Ribut. Pasti ribut pakai banget.
Seorang kawan baru saja kami kunjungi. Dari perjalanan Köln ke rumah kami, kami penggal dengan mampir di Darmstadt. Itu kota si Frankenstein, monster bermuka seram, berbadan tinggi, dengan banyak jahitan di mukanya. Waktu itu, purinya sedang direnovasi, jalannya. Sayang ....
Sebelum minum dan makan kue, kami melihat-lihat kebun mungil kawan. Di sana ada sebuah kandang burung dari kawat dan sebuah Garten Haus (rumah-rumahan kecil yang biasa untuk menyimpan alat-alat kebun dan sejenisnya). Burung-burung di sana menarik perhatian kami. Jumlahnya banyak, beterbangan ke sana-ke mari. Kawan saya menerangkan memang tadinya hanya tiga (dua jenis perempuan dan satu jenis lelaki), beranak-pinak menjadi lebih dari sepuluh ... Rajin banget.
Masalah timbul karena burung yang bulunya putih, dari salah satu marga Kakaktua tapi bentuknya mini itu suka membuat keributan. Suaranya nyaring dan keras, barangkali seperti kakaktua Maluku (?). Sayang, sudah saya foto, kartunya rusak, gambar dikorupsi.
Gambarannya; rumah teman saya itu di lantai paling bawah kiri, sedangkan penghuni di lantai yang sama, bagian kanan tidak merasa terganggu dengan suara burung mereka. Mungkin karena agak jauh dari kandang. Hanya saja penghuni lantai dua yang balkonnya menghadap kandang, merasa terganggu. Ia memang tinggal sendirian dan ingin menikmati kesendiriannya dengan kesunyian. Lagi enak-enak duduk di balkon, burung bikin konsert tanpa jadwal. Kalau sedang sakit gigi, tambah parah pastinya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Si tetangga terus mengeluh kepada keluarga teman saya. Mana burung kakaktua hidupnya rata-rata bisa 30-80 tahunan. Mana tahan??? Makanya, setiap pulang kantor, suami teman saya diceramahi si tetangga di depan pintu. Pusing rasanya. Burung oh burung. Teman saya merasa ini biasa dan meneruskan kegemaran memelihara burung jenis kakaktua itu. Karena tidak digubris, si tetangga jengkel dan menempuh jalur hukum. Pengacaranya mengirim surat ke alamat teman saya itu. Di dalam surat disebutkan bahwa jika burung itu tidak dilepas atau disingkirkan, akan ada denda yang akan dikenakan mereka atas pasal mengganggu ketertiban dan kenyamanan bertetangga. Untuk membayarnya tentu saja, teman saya tidak mau. Jumlahnya termasuk banyak, ujarnya. "Meminta bantuan seorang pengacara saja paling tidak sudah keluar 500€, " akunya.
Ya, sudah. Bingung burung mau dikasih sama siapa? Burung harus dilepas tapi sayang karena lumayan harganya kalau dijual sementara batas waktunya sempit. Akhirnya, dilepaslah di udara. Bebaaas. Ya burungnya, ya ketegangan dengan tetangga ... ya, dendanya.
***
Begitulah uniknya seni bertetangga di Jerman. Hanya gara-gara pelihara burung saja bisa bersitegang dengan tetangga bahkan bisa diancam dihukum atau didenda.
Kompasianer memelihara burung yang suaranya kenceng dan suka ribut tapi anggota keluarga atau tetangga masih mengingat butir-butir toleransi? Berbahagialah. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H