Sebagai orang Jawa, saya terbiasa melihat ibunda memirik (memijat dan atau mengerik) ayah. Meskipun tak pernah saya lihat ayah memirik ibu sebelumnya, saya usul kepada suami untuk membudayakan tradisi ini dalam keluarga saat pindah ke Jerman. Buntutnya, kami terbiasa memirik satu sama lain; saya kadang mengerok suami dan sering ia memirik saya demi mengeluarkan angin yang masuk, mengusir rasa tidak enak badan atau kelelahan. Gosong-gosooooonggggg …
***
Suatu malam, saya pirik belahan jiwa saya. Kemudian kata suami saya itu, ia merasa agak enakan. Namun untuk rehat dari kerja kantor, ia membutuhkan Krankmeldung (red: surat keterangan dokter yang menyatakan ia berhak untuk istirahat barang beberapa hari). Dimana Arbeitgeber akan mengklaim pengurangan gaji, dan biasanya penggantian uang tersebut oleh asuransi kesehatan kepada arbeiter (red: pekerjanya).
Paginya, pergilah pria saya itu ke klinik kampung di bawah sana. Begitu membuka baju saat diperiksa, dokter terperanjat banyak tanda merah di punggungnya. Suami sayapun menjelaskan bahwa ia baru saja saya kerik. Bu dokter geleng-geleng kepala …
„Bitte, nicht in Deutschland … „ Perempuan berambut minimalis umuran 40-an itu menyarankan untuk tidak melakukan kerok/pirik di Jerman, apalagi kepada anak-anak. Ujarnya, ini bisa fatal jika orang menuding saya melakukan penganiayaan atau tindakan kekerasan fisik kepada suami/anak-anak dengan bukti tanda merah di punggung. Bisa-bisa dilaporkan polisi dan dikurung jeruji besi. Hiksss.
***
Ternyata cerita ini juga terjadi di Amerika. Entah itu cerita nyata atau khayalan, yang jelas film yang kami tonton itu menggambarkan betapa negeri adikuasa yang telah banyak dihuni orang China-pun masih belum bisa memahami tradisi kerok/pirik yang dikenal jutaan masyarakat China dan tanah air kita tercinta.
Cerita berawal dari sebuah keluarga muda yang memiliki seorang anak lelaki. Suatu hari, si orang tua tidak berada di rumah, anak diasuh sang kakek. Karena sakit, lelaki keriput berambut putih itu mengerok si anak hingga merah kegosongan. Si anak tak kunjung sembuh, orang tua merujuk ke dokter. Disini mulai terjadi kronik. Pihak rumah sakit melaporkan keluarga kepada polisi. Pemeriksaan maraton yang melelahkan terjadi. Hingga membuat sang kakek naik ke singgasana meja hijau. Cerita makin ruwet karena memang di Amerika, ini belum bisa diterjemahkan secara ilmiah. Korelasi antara kerok/pirik dengan penyembuhan penyakit dari masuk angin, tidak enak badan hingga capek mungkin belum banyak diteliti sedemikian rupa oleh para researcher.
Glek. Melihat film itu, selama beberapa detik nafas kami terasa sesak. Wah, kalau tempo hari peristiwanya bisa segawat di Amerika itu … saya mungkin sudah dikurung di penjara setempat selama masa investigasi (seperti yang diceritakan si dokter kampung tempo hari). Saya tak bisa ngompasiana lagi dong … heeeee, masyaallah ngeri ah.
Beberapa menit kemudian, saya dan suami tertawa sekeras-kerasnya dan perang bantalpun terjadi. Ternyata oh ternyata … masalah sepele isa dadi gawe (red: masalah kecil bisa menjadi besar).
***
Saya tidak tahu bagaimana menjuluki peristiwa kerok di Jerman dan USA ini; tragedi, aneh tapi nyata, aneh bin ajaib, lucu-lucu batok atau … (ada saran???).
Waduh … bulan-bulan ini masih bersalju, angin kencang, suhu dingin/rendah dan rawan penyakit … sigh … kerok, Mas … bitte …
Begitulah, negara mawa tata, desa mawa cara (red: setiap daerah memiliki aturan sendiri). Semoga dengan cerita ini, kompasianer tidak sembarangan main kerok/pirik di Jerman atau di negara lain yang dikunjungi lantaran masyarakat sekitar dan pemerintahannya mungkin belum banyak mengenal budaya pirik/kerok ini.
Ahh, sudahlah … sayapun mulai hati-hati mengerok suami dan sedikit sembunyi-sembunyi. Sampai hari ini, belum kami mulai acara kerok/pirik kepada ketiga anak kami karena belum tiba saatnya.
Yah maklum, negeri tempat saya ngenger notabene adalah masyarakat yang modern dengan teknologi kedokteran dan peralatan yang serba canggih. Kalau dijelaskan asal muasal pengobatan alternatif kerok/pirik pasti semuanya bengong dot com. Semoga menjadikan periksa, hati-hati, waspadalah …. vorsicht!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H