[caption id="attachment_363823" align="aligncenter" width="560" caption="3 Oktober, hari persatuan Jerman barat dan timur"][/caption]
Jumat, 3 Oktober 2014. Hari libur nasional Jerman. Beberapa festival digelar, Kirbe di Neuhausen Museum misalnya.
Kami mengunjungi paman dan bibi sembari Kaffe trinken (minum kopi/teh disambi camilan kuweh buatan sendiri, plum dari kebun belakang) dan bermain di taman sebuah kota.
“Idih, ini hari kok sepi, ya pak, kayak kuburan.“ Saya cemberut. Saya tak senang dengan suasana dingin dan tanpa lalu lalang orang seperti nostalgia di kampung halaman. Saya kangen sekali dengan kehangatan Indonesia. Hawanya, orangnya, makanannya ... tobaaat.
“Jerman sudah kehilangan nasionalisme ....“ Sembari menyetir, lelaki saya bercerita.
“Bukan saya yang bilang lho yaaaa ... “ Tawa saya meledak. Bukan untuk meledek pria yang saya cintai ini, tapi karena ia justru yang menegaskan pada saya tentang hal ini sebelum saya mengucapkannya. Padahal tadinya ingin jaga perasaan.
“Coba tanya ... anak-anak kita pasti nggak tahu, mengapa hari ini libur ...“ Suami saya ngetes.
“Eh, jangan salaaaaah ... siapa dulu dong, ibunya.“ Segera saya tanya anak perempuan kedua kami. Cerita tentang tanggal 3 Oktober sudah saya kupas beberapa hari yang lalu. Habisnya gemes, di sekolah kok tidak diberi tahu ... saya kasih saja tempe.
“Ya, hari ini ulang tahun Jerman karena telah bersatu.“ Anak yang bersuara serak-serak kering itu dengan mantab menjawab pertanyaan kami. Suami saya mengkeret. Ia salah sangka. Tidak semua anak Jerman tidak tahu tentang isu nasional negeri sosis pimpinan Dr. Angela Merkel ini.
Ohhh ....
Ada yang menggelitik saya sebagai warga asing. Saya terlalu berharap bahwa peringatan hari penting Jerman, yakni hari persatuan Jerman barat dan timur menjadi satu, Jerman bersatu alias Deutsche Einheit semeriah atau seramai tujuhbelasan kita.
Selama jalan cepat 3 km keliling kampung dengan suami setelah makan malam tadi, saya mengamati. Dari kampung kami, hanya rumah kami satu-satunya yang mengibarkan bendera Jerman. Biasanya, kami pasang bendera Indonesia di tiang yang ada di rumah belakang. Eeee ... dikira saya dari Polandiaaaaa ... Aduduuuuhhh .... bukannya warna putih merah bukan merah putih? Memang agak-agak mirip dengan Monaco dan Singapura, ya bendera kita. Nah, bendera Jerman hanya terlihat marak saat timnasnya main di level dunia (World cup atau Europa cup). Geleng kepala ....
Saya terdiam. Saya bangga menjadi bangsa Indonesia. Meski banyak berita buruk yang terdengar sampai luar negeri tentang tanah kelahiran saya ini, peringatan hari lahir negeri Indonesia 17 Agustus, selalu meriah dan disambut dengan semangat yang datang dari hati dari anak-anak sampai lansia. Bukan dingin dan seperti angin lalu, tak ubahnya di sini. Saya juga sedikit memahami bagaimana luka lama rakyat Jerman pada masa Nazi dengan kericuhan di Jerman barat dan Jerman timur. Tak mudah untuk sembuh.
Sama-sama luka, Indonesia dijajah Belanda 350 tahun, Jepang 3 tahun. Luka memang bisa sembuh tapi ingatan tentangnya tak pernah hilang. Luar biasa, cara bagaimana rakyat kita merayakan kemerdekaan. Coba. Masih ingat acara tujuhbelasan ada lomba apa? Umbul-umbul atau bendera merah putih yang berkibar di mana-mana? Tumpeng yang unik dan lezat itu. Lomba ini itu. Ada upacara penaikan bendera ... dan ahhhh entah apalagi pernak-pernik yang selalu begitu membuncah menyambut hari penting negara kesatuan Republik Indonesia ini. Grengnya tetap terasa.
Ah, sudahlah ...
Selamat hari persatuan Jerman barat dan Jerman timur, Jerman! Semoga generasi mudamu tetap menjunjung tinggi jasa pendahulu dan memiliki nasionalisme yang tinggi. Selamat malam. (G76)